IMPIAN MELISA | Cerpen Rosni Lim |
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 4 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi media Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu) kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.comBeri subjek SASTRA SETIAP HARI. Program ini juga memberi ruang bagi sahabat pemula dalam dunia sastra agar tetap semangat berkarya (Belum berhonor)Redaksi berhak menyunting naskah yang masuk tanpa mengurangi maksud dan isi dari tulisan.
Melisa terduduk lemas di kursi sofa yang ada di ruang tamu. Pertengkaran hebat baru saja terjadi di depannya. Pertengkaran yang hanya bisa disaksikannya seperti menyaksikan sebuah tontonan televisi atau sinetron, tanpa dia bisa ikut campur, masuk, atau berperan serta di dalamnya.
“Keluar kalian! Keluar kalian dari rumah ini! Keluaaar…!” begitulah Melisa melihat dan mendengar adik perempuannya, Anisa menunjuk-nunjuk suami dan ketiga anak Melisa yang sedang berdiri berhadapan dengan mereka. Adik perempuannya yang terkenal galak itu berteriak dengan suara keras sampai membahanakan seisi ruangan di sore mendung yang sepi di rumah Melisa.
“Apa hakmu mengusir kami keluar dari rumah kami sendiri?!” suami Melisa menggemeratukkan gigi, menahan geram karena iparnya itu suka sekali ikut campur urusan rumah tangga mereka.
“Apa hakku? Hakku adalah membela kakak perempuanku yang diinjak-injak oleh kalian! Hakku untuk melindunginya dari tindak-tanduk kalian yang semena-mena sampai membuatnya hampir gila!” teriak Anisa keras dengan kedua mata melotot.
Melisa, yang sejak sejam lalu melihat pertengkaran antara Anisa dengan anggota keluarganya, cuma bisa diam sambil menahan tangis. Bagaimana tidak? Memang betul yang dikatakan Anisa, suami dan anak-anaknya kurang menghargainya selama ini, padahal Melisa sudah berusaha keras menjadi istri dan ibu yang baik bagi ketiga anaknya.
Melisa bukan perempuan yang bodoh atau malas. Dia pintar mencari duit dengan membuka usaha di depan rumahnya yang berjalan lancar dan mulus. Banyak pelanggan yang membeli barang dagangannya yang dijual secara grosiran hingga Melisa pun untung banyak. Selain berbisnis, Melisa juga mengurus rumah, memasak, menyiapkan keperluan suami dan anak-anaknya setiap hari. Namun, mereka seolah kurang menghargai hasil jerih payahnya.
Suami Melisa walaupun memiliki usaha sendiri di samping usaha istrinya, namun dia masih suka mengambil uang dari laci istrinya. Sedangkan anak-anak Anisa pun bukan anak yang patuh dan suka mengabaikan nasihat ibunya.
Arifin mendengus kesal. Matanya berapi-api menahan gejolak amarah di dadanya. Bukan main kesal hatinya karena istrinya yang selama ini patuh padanya, sekarang tak mengeluarkan suara sedikit pun melihat suami dan anak-anaknya diusir dari rumah mereka sendiri oleh Anisa.
“Kau kok diam saja?!” Arifin menatap istrinya dengan tatapan marah dan jengkel. Tak ada pembelaan sedikit pun dari mulut istrinya itu untuk dirinya dan anak-anaknya. Istrinya itu hanya diam saja. Apakah berarti dia setuju membiarkan adik perempuannya itu mengusir suami dan anak-anaknya?
Melisa menunduk. Sejujurnya, dia tak tahu lagi bagaimana caranya membuat suami dan anak-anaknya sadar akan besarnya pengorbanannya selama ini. Sadar akan betapa besarnya perhatian dan kasih sayangnya pada mereka. Melisa rela dan ikhlas melakukan semua tugasnya tanpa mengeluh sedikit pun asalkan orang-orang yang disayanginya itu menghargainya sedikit saja. Dia ingin suaminya menyayanginya dan mempedulikan sedikit banyak biaya rumah tangga, dia ingin anak-anaknya patuh dan mendengar nasihatnya. Tapi semua balasan itu tak didapatkannya dari semua jerih payahnya selama ini. Jadi, apa salah jika sekarang adik perempuannya yang datang dari luar kota ikut campur tangan urusan rumah tangganya?
Orang bilang, semakin lemah akan semakin diinjak. Walaupun kelembutan dan kebaikan bisa mengalahkan kekerasan dan kejahatan, namun adakalanya harus menunjukkan gigi taring supaya jangan dianggap remeh oleh orang-orang yang menganggap orang yang lembut dan baik hati itu tak punya emosi alias tak bisa marah.
“Keluar sekarang! Tunggu apa lagi?” teriak Anisa mengulangi ucapannya yang tegas. Walaupun dia seorang perempuan, tapi dia sama sekali tak takut pada siapa pun, apalagi pada Arfiin atau keponakan-keponakannya yang mulai beranjak remaja. “Keluar dan renungkan kembali apa yang telah kalian lakukan untuk membalas kebaikan kakak perempuanku pada kalian selama ini! Air susu dibalas dengan air tuba! Kalian pantas mendapatkannya!” geram suara Anisa.
Arifin mengepalkan kedua tangannya di samping badan. Dia melihat berganti-ganti pada istrinya yang duduk di depannya dan ipar perempuannya itu yang berdiri sambil berkacak pinggang. Melihat istrinya sama sekali tak bersuara membelanya, Arifin pun semakin kesal sampai emosinya naik ke ubun-ubun. Kalau saja Anisa itu seorang laki-laki, Arifin pasti akan berkelahi dengannya sampai babak belur saking geramnya. Namun sayangnya Anisa itu seorang perempuan yang jurus lidahnya bahkan lebih ampuh daripada jurus silat.
“Keluar ya keluar! Siapa takut?!” Arifin pun hilang kesabaran. Dengan menahan gengsi, dia menyuruh ketiga anaknya mengemasi barang-barang mereka untuk ikut pergi bersamanya, pulang ke rumah nenek mereka alias ke rumah ibunya Arifin.
Emosi Anisa agak mereda setelah melihat Arifin dan anak-anak Melisa berkemas untuk bersiap-siap keluar dari rumah. Satu jam kemudian mereka pun keluar dari kamar masing-masing dengan membawa masing-masing satu koper pakaian dan satu tas sekolah berisi buku pelajaran.
Tanpa pamit sepatah kata pun pada Melisa, suami dan anak-anaknya keluar dari rumah dengan menyeret koper dan tas sekolah mereka. Hati Melisa bukan main sedihnya melihat orang-orang yang dikasihinya itu berjalan pergi meninggalkan rumah. Tangis Melisa pun pecah menggema saat keempat sosok itu menghilang di balik pintu. Melisa tak sanggup lagi menahan gejolak di dadanya dan dia pun jatuh pingsan.
* * *
Dua bulan setelah itu…
Hp Melisa berdering saat dia sedang sibuk melayani para pembeli barang dagangannya dibantu tiga orang pegawainya. Anisa sudah pulang ke rumahnya sendiri di luar kota. Adik perempuannya itu tak pernah lagi menginjakkan kaki ke rumahnya semenjak pertengkaran dengan suami Melisa. Melisa pun membiasakan diri sendiri melewati hari-harinya bersama pegawai-pegawainya.
“Halo?” jawab Melisa cepat setelah melihat nomor panggilan di hp-nya itu adalah nomor hp anak bungsunya.
“Mama… Mama sedang ngapain? Kata Papa, kami mau pulang kembali ke rumah Mama, bolehkah?” tanya anak bungsunya itu melalui ponsel.
“Anakku, bagaimana kabar kalian?” tak sanggup Melisa mengalirkan airmata menahan kerinduan di hatinya. Dia berusaha mengeraskan hati selama ini untuk tak menghubungi suami dan anak-anaknya duluan karena kata Anisa, beri mereka waktu merenungkan kembali dan bila mereka sadar, mereka pasti akan menghubungi Melisa duluan. Kalau Melisa yang menghubungi duluan, seolah-olah Melisa yang bersalah dan mereka akan semakin pongah sampai tak punya waktu instropeksi diri.
“Kalian baik-baik sajakah selama ini?” tanya Melisa dengan airmata mengucur deras, melepas sesak di dadanya.
“Baik-baik saja, Ma,” jawab anak bungsunya. “Papa mengantar kami ke sekolah tiap pagi, Nenek yang memasak makan siang dan makan malam kami setiap hari. Kami belajar membeli sarapan sendiri, belajar membereskan pekerjaan rumah tangga di rumah Nenek. Kalau habis makan, kami akan melap meja dan mencuci piring sendiri, tidak lagi seperti dulu membiarkannya berantakan di atas meja. Ohiya, kami juga mengerjakan semua PR dengan rajin dan ujian mendapat nilai bagus,” cerita anak bungsunya itu.
“Anakku…,” Melisa tak mampu menahan keharuan di hatinya. Ternyata cara yang digunakan Anisa ampuh, memberi mereka waktu berpikir, merenung, dan instropeksi diri, lalu bertobat. Ini adalah impian Melisa selama mejadi istri Arifin dan ibu dari ketiga buah hatinya itu.
“Anakku, kapan saja kalian boleh kembali ke rumah kalau kalian sudah berubah. Pintu rumah kita akan selalu terbuka untuk kalian. Tidak ada rumah Mama, yang ada adalah rumah kita bersama.”
“Tapi kami takut sama Tante Anisa, Ma,” kata anak bungsunya.
“Tidak, Nak. Tante Anisa sudah pulang ke rumahnya sendiri dan tak pernah datang lagi. Kalian pulanglah,. jangan biarkan Mama sendiri, iya, Nak?” Melisa memelas.
“Terima kasih, Ma…,” jawab anak bungsunya itu. “Kami akan pulang ke rumah besok dan tak akan pergi-pergi lagi.”
“Iya, Nak, Mama tunggu kepulangan kalian bersama Papa,” kata Melisa. “Asalkan kalian sudah berubah dan bertobat, Mama akan menerima kalian dengan lapang dada.”
“Iya, Ma,” jawab anak bungsunya lalu mereka memutuskan pembicaraan.
Melisa menutup ponselnya dan mendekapkannya di dada. Dia mengucap syukur berkali-kali dan melafalkan kata terima kasih karena impiannya selama ini telah dikabulkan oleh-Nya.
* * *
Tentang Penulis:
Rosni Lim. Menulis cerpen, artikel, dll di beberapa media cetak/online
Tidak ada komentar