HEADLINE

CITA CITA NURI_Cerpen Ariani Rosa Lesmana

Menyebalkan! Itu saja kata atau kalimat yang tepat untuk menggambarkan suasana saat ini. Aku tumpukan kedua telapak tanganku di atas lemari dan memandang jauh keluar. Napasku agak tersengal menahan emosi yang memuncak. Sementara Nuri hanya memandang dengan penuh rasa bersalah. Ia takut. Takut aku bakal marah besar dengan kejadian itu.

Ini adalah untuk kesekian kalinya ia membuat kesalahan. Setelah hampir mencelakai Romi, anak keduaku yang berumur dua tahun karena kelalaiannya mengisikan air panas dalam bak mandi anakku, kini giliran baju yang akan kupakai dalam acara pernikahan adikku habis mengkerut oleh setrikaan yang lupa ia angkat dari atas kain itu. Praktis saja baju itu bolong karena mutung dan tidak mungkin lagi untuk dipakai. Diperbaiki pun sudah tak mungkin.

“Ibu, maaf.” Kata Nuri sambil mendekat padaku.

“Ya, ada apa Nuri?” Jawabku singkat.

“Ini bu, baju ibu buat acara besok mutung kena setrikaan.” Nuri menjelaskan penuh kegugupan.
Aku tidak menjawab, hanya diam beberapa saat sebelum akhirnya kukatakan, “Ya sudah tidak apa-apa.”

Nuri segera berlalu dan keluar dari ruang kerjaku sore itu. Aku menutup muka dengan kedua telapak tanganku dan berusaha menahan kata umpatan yang siap meluncur menghujani Nuri dengan nyelekit dan sakit. 

“Astaghfirullohal’azim.” Berkali-kali aku beristighfar demi menenangkan hati, menghilangkan amarah. Dalam hati betapa kecewanya aku. Seragam keluarga yang dibuat untuk acara istimewa itu ternyata telah rusak. Aku pasti tak bisa memakainya di hari bahagia adikku. 

Terbayang olehku, tampil berbeda kostum dengan anggota keluarga yang lain. Buat lagi? Sudah tak ada waktu. Tidak ada penjahit yang siap untuk membuatkan satu stel baju pesta dalam waktu enam jam. Ya, enam jam lagi kami harus berangkat ke Malang untuk menikahkan adik laki-lakiku. Tak mungkin baju itu dibuat dalam perjalanan. Namun, sekuat tenaga kutahan marahku. Aku ingat apa yang dikatakan bapakku, “Jangan memaki orang semarah apapun kita.” Apalagi Nuri adalah gadis hampir dewasa yang harus kubantu dan kulindungi. Seharusnya aku mendidiknya supaya cerdas dan paham.

Perlahan suamiku masuk dan bertanya, “Ada apa, Bu?”

Aku tak menjawab. Aku hanya menunjukkan baju yang baru saja kuambil dari penjahitnya itu. Baju yang kini koyak dan tak karuan bentuk lagi. 

“Lalu sekarang, bagaimana?” Tanya suamiku.

“Tak ada jalan lain, aku terpaksa tidak memakai seragam keluarga.” Jawabku kesal.

“Ya, sudah. Ikhlaskan saja. Pasti ada hikmahnya.” Kata suamiku.

Aku mulai berpikir tentang sesuatu. Kasihan Nuri jika harus hidup seperti ini sampai nanti. Bagaimana masa depannya, bagaimana anak-anaknya. Jika ia tetap seperti ini, maka tak ada orang yang akan mempekerjakan dia. Lalu bagaimana kehidupannya nanti? 
Dalam hatiku mulai bergejolak antara tanggung jawab, peduli, dan tidak peduli. Di satu sisi jiwa sosialku terpanggil, maka akan kusekolahkan dia. Namun, di sisi lain amarahku muncul, terserahlah, buat apa kupedulikan dia. 

Dalam kebimbangan itu aku teringat pendidikan kesetaraan Paket C. Ya, hatiku mulai tergerak dan yakin. Nuri harus kudidik agar menjadi cerdas dan paham. Bukankah di sini banyak anak dan orang dewasa yang mengikuti pendidikan kesetaraan mulai dari Paket A, Paket B, dan juga Paket C. Nuri telah menamatkan sekolah formal sampai SMP. Karena keterbatasa orang tuanya maka Nuri terpaksa tidak melanjutkan ke SMA. Segera saja kutanyakan kesediaannya.

“Nuri, Kau mau sekolah?” Tanyaku.

Mendengar pertanyaanku Nuri tiba-tiba murung. Tidak ada sedikitpun semangat yang ia tunjukkan. Ia menunduk hampir menangis. Sangat jelas tergambar kesedihan hatinya, seolah aku telah membangkitkan hal-hal menyakitkan dengan tawaran itu.

“Ada apa, Nuri?” Aku kembali bertanya. Namun kali ini bukan tawaran yang kuucapkan melainkan sebuah rasa penasaran dan keingintahuan tentang sesuatu. 

Nuri tak bisa menahan tangisnya. Ia menangis sejadi-jadinya, ia tutupi mukanya dan ia memukul-mukul lantai dengan tangan kanannya yang terkepal itu. Aku melihat betapa ia menahan emosi tersebut dalam waktu lama. Kini emosinya keluar seperti muntahan lava yang berasal dari endapan magma di dalam perut bumi yang didorong keluar oleh gas bertekanan tinggi. Aku yakin ada sebuah tragedi di balik pendidikan Nuri.

“Bu, setiap bicara tentang sekolah, saya sedih. Ibu dan bapak saya sangat ingin saya sekolah yang tinggi.” Nuri mulai bercerita. “Karena itu ibu dan bapak bekerja keras agar saya dan adik saya bisa sekolah.” Tangisnya kembali pecah, dan akupun ikut meneteskan air mata. “Hari itu hujan dari pagi, tapi ibu dan bapak tetap pergi ke sawah pak Dulah untuk memperbaiki pematang sawahnya yang rusak. Seharusnya hari itu ibu dan bapak tidak bekerja mengingat cuaca yang tidak baik. Tapi demi mendapatkan bayaran secepatnya dari pak Dulah, mereka berangkat juga hari itu. ibu tahu untuk apa bayaran itu?” tanya Nuri padaku.

Aku menggeleng. “Bayaran itu adalah untuk biaya sekolah kami, Bu. Biaya sekolahku dan adikku.” Kata Nuri. “Dan ketika itu tebing di belakang pondok sawah itu longsor, Bu. Longsor menimpa pondok yang di dalamnya ibu dan bapak saya sedang beristirahat. Mereka tertimbun longsor, tidak terselamatkan.”

Aku menangis. Betapa aku tidak memahami siapa orang yang mengikutiku sejak beberapa tahun ini. Ternyata ia adalah seorang yatim piatu dengan seorang adiknya yang kini masih kelas 6 SD. Adiknya sekarang diasuh oleh pamannya yang juga tak bisa dianggap sejahtera. Dalam hati aku bertekad, Nuri harus kujadikan keluarga, harus kudidik supaya cerdas hingga ia mandiri di kemudian hari. 
Adiknya juga begitu. Aku minta supaya adiknya ikut tinggal bersama kami, menjadi bagian dari keluarga kami, dan insyaallah akan kusekolahkan sampai batas kemampuanku menyekolahkan mereka. 

“Baiklah Nuri, Kau jangan khawatir. Kami adalah keluargamu, Kau boleh tinggal bersama kami sampai kapanpun.” Kataku meyakinkan dia. “Dan Kau harus sekolah agar masa depanmu mudah, agar Kau mampu mengatasi kesulitanmu nanti.”

“Ya, Bu. Saya mau sekali. Saya pasti akan belajar dengan giat, Bu.” Katanya bersemangat. 

“Dan satu hal lagi, ajak adikmu tinggal bersama kita agar tidak membebani pamanmu.” 
Nuri mengangguk, ia tak sabar menjemput adiknya.

*******

Lelah menggelayut di tubuhku. Perjalanan panjang Lampung-Malang sangat menyita energi. Apalagi membawa kedua anakku Rizki dan Romi yang masih butuh perhatian lebih dan belum mandiri, makan pun masih harus disuapi. Alhamdulillah, akhirnya tahap ini dilalui juga. Semoga berkah apa yang telah kulakukan.

Lain halnya dengan Nuri. Ia yang ditugasi untuk tinggal di rumah bersama adiknya terlihat segar dan bersemangat. Ketika selesai sarapan ia langsung tanpa sungkan menghampiriku dan bertanya kelanjutan rencana ia akan masuk paket C. Melihat dia begitu semangat, aku semakin yakin.

“Ya, Nuri, saya akan segera mendaftarkan kamu pada pengelolanya.” Kataku padanya. “Mudah-mudahan satu bulan lagi kamu bisa langsung ikut belajar. Kebetulan ini adalah tahun ajaran baru.” Aku berusaha menjelaskan. “Adikmu juga akan masuk MTs, mudah-mudahan Allah memudahkan jalan kalian berdua.”

“Ya, Bu. Terima kasih. Saya akan rajin belajar.” Jawabnya dengan mata berbinar.

Tidak ada komentar