HEADLINE

Puisi Puisi Fais Nuzula_PENYAIR PUTUS ASA

Sulitnya menemukan ruang siar, terutama bagi sobat pendatang baru di kancah kesusastraan tanah air, mendorong SIMALABA untuk menyediakan lembar khusus bagi sobat Simalaba agar tak putus asa serta tetap semangat berkarya. Kirimkan karya sobat ke e-mail: majalahsimalaba@gmail.com beri subjek SASTRA HARIAN (Mohon maaf, laman ini tidak berhonor)




Penyair Putus Asa

Terlalu jauh kelana
Tapi Cuma suaramu yang sanggup ku singgahi sebagai puisi
Selebihnya omongan tak penting, hanya pil penambah pening!

Sebab dalam matamu, aku dimabuk kata
Sambil terlupa pada nganga luka,
Kutuliskan persinggahan terteduhku sepanjang kelana

Hanya bisa memahatmu sebagai satu-satunya bagian diriku yang sanggup bertahta abadi dalam puisi

Pura-pura Berumah Langit
Tak mampu lagi untuk bersetia
Pada langit tempat berteduh pada luka
Menjadikanya ranjang sepanjang kelana

Benar kata waktu,
Tak mungkin aku terus-terusan sok tegar melulu
Berpura-pura merasa baik-baik saja sambil bernyanyi sendu

Setiap pengembara membutuhkan rumah
Pelabuhan terakhir untuknya istirahat dan meratap
Tempat lahirnya Bermacam-macam kerinduan dan harapan

Dan berpura-pura menjadikan langit sebagai rumah
Tak pernah bertahan lama
Sebab sebenarnya kita ini orang biasa saja
Yang sok tegar dan merasa punya hati setegar penyair sungguhan

Sebaiknya lekas mencari rumah baru
Tempat dimana pemberian dapat diberikan
Dan segala dapat dimulai
Karena sebenarnya hanya ada satu kata: pulang!



Orasi Kepintaran

Orang-orang bodoh, kasihanilah kami
Berhenti memperolok-olok dengan memanggil kami orang pintar
Cuma berguna kalau ada ujian, sambil diam dan terlepas dari lingkungan kehidupan
Seolah-olah hasil belajar hanya bernilai sebegitu hina
Kami malu pada ilmu-ilmu kami
Kami malu pada guru-guru yang memuji kami

Orang-orang pintar, mungkin inilah tragedi kita
Kita terus-terusan membaca dan membaca
Hingga kita lupa membaca untuk apa
Kita anggap membaca novel dan ensiklopedia sama saja
Kita persempit membaca buku hanya sekedar hiburan
Lalu mengutip kalimat menarik pada sosial media
Biar kepintaran kita tidak sia-sia

Kalau begini caranya, kita tak ada bedanya dengan yang dipanggil dungu
Kecuali kalau sadar kita lebih berpotensi mampu,
Membuat keberhargaan baru



Bersama Puisi

Sepi punya teman namanya aku
Dan mengenalmu berarti bersiap-siap mengenal rindu

Sahabat baik rindu namanya kopi
Dan musuh bebuyutan kopi adalah sepi
Saat aku-aku bersama
Dan dengan telatenya kau ajari aku cinta,
Rindu dan kopi berkonspirasi
Biar kau tak ketularan menjadi teman sepi

Aku-kau berbeda
Temanku sepi dan kami sering sendiri
Sedang temanmu rindu, yang menjanjikan senyumanmu

Tapi kita punya sahabat baik sama,
Namanya puisi
Ia juga sahabat baik bagi rindu, sepi, dan kopi



Rumah

Tidak ada harapan disini
Saya selalu ingin cepat-cepat keluar
Setiap waktu memaksa saya masuk

Ini kamar untuk memeras keringat,
Bukan tempat untuk beristirahat

Sungguh ini tempat terasing
Saya selalu datang sebagai orang lain

Setiap masuk, saya selalu kuatkan diri sendiri
Baru ketika keluarlah, saya merasa punya rumah


Juhdul Bala'i

Barangkali hidup tanpa pedoman itu
Ketika pagi terisi dengan kecemasan
Dan senja melulu soal kekecewaan
Lalu tidur sebagai orang kelelahan
Tapi dengan hasil yang seperti tak pernah berbuat apa-apa

Bangun tidur tersadar ada yang salah
Tapi hanya berhenti pada resah
Sebab esoknya selalu kembali terbangun dengan keadaan sama

Barangkali hidup tanpa pedoman itu
Hidup terlelap dalam sepi
Yang sesekali dibangunkan oleh sahabat, kopi, atau tagihan hutang

Selepas mandi punya bahan untuk buat puisi
Kadang tak selesai karena terlalu larut dalam rindu
Kalaupun selesai dibiarkan tersimpan rapi dalam buku harian dan kesepian

Ingin sekali bangun dari hidup yang begini
Dengan pikiran kemana-mana tapi tak pernah merubah apa-apa
Atau dengan menguras tenaga, tapi tak pernah menghasilkan apa-apa



Tong Kosong

Salah satu yang membuat  sebal saat saya kesepian,
Adalah ketika tak ada yang bisa dilakukan selain membaca catatan saya sendiri
Membaca puisi-puisi yang pernah saya tulis

Ada perasaan malu dan sedih
Sudah berapa jauh saya berkelana di rimba kata,
Tapi dengan puisi pertama saya tak ada bedanya

Dan saya tertawa-tawa dalam hati
Mengingat dulu setiap jadi,
Saya baca berulang-ulang
Membanggakanya kemana-mana, dengan bodohnya

Mungkin seperti itulah
Gambaran saya memandang hidup ke belakang
Disaat saya tua nanti

Tidak ada komentar