UMBERTO ECO DALAM PERSPEKTIF SEJARAH_Oleh Alfi Huda
Umberto Eco novelis kontemporer dan filosof ahli semiotika-sains. Sementara, The Name of the Rose adalah novel legendaris dan best seller terbitan 1983 di Italia. Maka, hampir semua kritik mengakui bahwa novelnya yang paling terkenal sekaligus enak dinikmati, apa sebab yang bisa kita tampili?
Semiotika
Umberto Eco, yang dahulu pernah menggunakan nama alias Dedalus. Nama keluarga Umberto, yaitu Eco, merupakan akronim dari ex caelis oblatus, bahasa latin yang artinya “bingkisan dari surga.” Sebenarnya, dia lebih tertarik pada filsafat dan sastra daripada pengacara. Versi Situs themodernword.com.
Mari kita kenal (Almarhum) Umberto Eco. Dia lahir di Piedmont, yang beribu kota di Turin, Italia (markas klub sepakbola legendaris Juventus), 5/01/1932. Saat Abad Pertengahan, 1327. Dia berhasil memadukan unsur sejarah, agama dan sastra sebagai teka-teki berisiko tinggi.
Riwayat pendidikannya mengesankan. Pendidikan dasar di bidang Pendidikan dari Ordo Salesian (didirikan oleh Santo Francis de Sales pada 1845). Dia kuliah di jurusan Filsafat Abad Pertengahan dan Sastra Universitas Turin sampai menjadi doktor, 1954.
Penulis, novelis dan filosof yang pernah menerima lebih dari 30 gelar doktor honoris causa (HC) ini mempunyai jejak prestasi yang membanggakan. Umberto Eco pernah menjadi Presiden Scuola Superiore di Studi Umanistici, Universitas Bologna. Pernah bekerja di radio pemerintah, RAI (Radiotelevisione Italiana) sebagai editor program budaya, dosen di Universitas Turin. Juga, pernah berkawan dengan Gruppo 63 dimana Gruppo tersebut berpengaruh penting dalam karir kepenulisan Umberto Eco.
Buku-buku yang dituliskan Umberto Eco mengalir deras. Berikut ini sekedar menyebut sebagian di antaranya: How to Write a Thesis, 1977, dalam bahasa Italia, sejak itu, buku itu sudah dicetak ulang setidaknya 23 kali dan diterjemahkan ke 17 bahasa, 11 Problema Estetico di San Tommaso, 1956, Sviluppo Dell’Estetica Medieval, 1959, A Theory of Semiotics, 1976, Travels in Hyperreality, 1986, Semiotics and the Philosophy of Language, 1984, berhubungan dengan perbedaan antara struktur kamus dan ensiklopedia, In Cosa Crede Chi Non Crede?, 1996, dan Storia Della Bruttezza, sebuah kajian estetika mengenai keburukan.
Lalu, apa yang diberi sumbangkan Umberto Eco pada semiotika? Setidaknya, dapat dicatat beberapa hal penting. Secara bergurau dia memelesetkan semiotika sebagai “ilmu berbohong”. Semiotika ialah studi tentang segala yang biasa diambil secara signifikan sebagai pengganti (tanda) untuk sesuatu yang lain. Yang lain ini tidak perlu ada atau benar-benar di suatu tempat persis ketika sebuah tanda menggantinya. Maka pada prinsipnya semiotika merupakan disiplin untuk memperlajari segala sesuatu yang bisa digunakan untuk berbohong. Jika sesuatu gagal digunakan untuk menceritakan kebohongan, sebaliknya ia gagal digunakan untuk menceritakan kebenaran bahkan tentu mustahil ia bisa digunakan untuk bercerita apa pun. Tulis Umberto Eco.
Alhasil, bagi Umberto Eco, definisi semiotika itu harusnya ditempuh sebagai program yang cukup komprehensif bagi semiotika secara umum. Sebab tanda dan simbol merupakan sesuatu yang kompleks dan sulit. Juga yang mungkin merupakan sumbangan Umberto Eco terbesar pada semiotika adalah upayanya dalam menunjukkan bahwa bahasa itu mirip dengan ensiklopedia, seperti yang ditemukan oleh Philosophes abad kedelapan belas.
Fiksi
Novel sebagai salah satu aspek budaya merupakan salah satu bagian dari situs hegemoni; merupakan salah satu bagian upaya dalam mengukuhkan atau mengkonter hegemoni. Seringkali posisi novel sederajat dengan sejarah seperti yang dilakukan oleh kajian new historisme.
Sejarah yang tidak sekedar dimaknai sebagai peristiwa yang terjadi pada masa lampau tetapi juga terus berlangsung sampai kini dan nanti. Sejarah adalah serupa tetumbuhan makna, dan pembaca ditantang untuk merawatnya agar kehidupan tak lantas menjadi pasak-pasak dengan sarat beban sehingga kita tergopoh memikulnya.
Hal lain yang tak kalah menarik, yaitu ketika dia telah menulis lima novel yang semua merupakan pergulatan mental dan pemikiran yang disampaikan dalam fiktif dan imajinatif, namun dengan telak mempertanyakan agama, sejarah, analisis teks alkitab, dan penafsiran tentang kebenaran.
Tentang novel The Name of the Rose, Umberto Eco berkisah tentang misteri pemb*****n di sebuah biara Benediktin. Biara yang biasanya digambarkan dengan situasi tenang dan damai berubah menjadi biara yang gaduh karena serangkaian kem4ti4n misterius. Dengan kisah itu, novel The Name of the Rose pernah terjual lima puluh juta ekslemplar di seluruh dunia dan diangkat di layar lebar dan dibintangi aktor Skotlandia Sean Connery. Bahkan dia di dalam novelnya juga menghadirkan kehidupan biara yang puritan lengkap dengan tradisi pemikiran Gereja Abad Pertengahan.
Novel itu adalah kedua, Foucault’s Pendulum, 1988, disebut Jane Sullivan sebagai “Da Vinci Code milik orang cerdas”, membahas adanya konspirasi kelompok jahat rahasia berkedok agama yang hendak menguasai dunia dan terkait sisa-sisa peninggalan bersejarah Knights Templar—sebuah ordo militer Kristen di zaman perang salib 1.
Novel terakhir adalah La misteriosa fiamma della regina loana, 2004. Dia bahkan masih sempat menulis cerita anak dan kritik sastra, bekerja sama dengan illustrator Eugenio Carmi, seperti I tre cosmonauti (Tiga Astronot) dan Glignomi di Gnu.
Umberto Eco guru besar, dikenal sebagai penulis berderajat universal. Dia dikenal publik dunia yang karyanya tak lekang tersaput kala. Yang novelnya The Name of the Rose. Dia wafat pada Jumat malam di kediamannya pada usia 84 tahun.
Tesis
Suka membaca buku harus kita budayakan. Bukan mahasiswa yang menulis tesis. Mari sekilas kita kenal tesis. “Tesis bukan tes. Ia bukan dimaksdukan untuk menguji apakah standar kompetensi seorang mahasiswa setelah lulus dari jurusan yang ia ambil. Ia bertujuan mendorong mahasiswa untuk dapat membuat sesuatu dari edukasi yang ia dapat. Tesis adalah perkara proses,” kata Umberto Eco.
Topik adalah urusan sekunder. Dengan demikian, perjalanan menulis tesis itu lebih penting daripada tujuan. Topik tesis tidaklah lebih penting daripada bagaimana kamu menuliskannya. “Topik adalah hal sekunder dibanding metode riset dan pengalaman aktual menulis tesis itu sendiri,” katanya.
Jangan memilih topik yang menyusahkan dirimu sendiri. Topik yang kamu pilih, misalnya, akan jauh lebih memudahkan jika ia mencerminkan studi dan pengalaman kamu selama ini, sehingga kamu tidak perlu membangun pemahaman dari nol. Lalu, pertimbangakn akses atau sumber-sumber yang dibutuhkan. Lebih dari itu, kamu mesti berpengalaman dengan kerangka metodologi yang akan kamu gunakan.
Monograf versus survei? Monograf. Salah satu godaan terbesar dalam menulis tesis adalah keinginan membuat survei yang luas. Misalnya: “Analisis Pengaruh Perkembangan Teknologi Digital di Abad ke-21”. Lebih baik, menulis topik yang spesifik pada datu atau dua tokoh atau pada jangka waktu tertentu. Historis dan teoritis? Historis. Umberto Eco mengingatkan akan sulitnya menggembangkan pemikiran-pemikiran teoritis tanpa menjadikan pemikiran orang lain sebagai pijakan awal, kecuali kamu jenius tingkat dewa. Maka berangkat dari studi historis, kepada studi teoritis, misalnya, “Asal-usul Kehendak Manusia berdasarkan Pemikiran Immanuel Kant,” akan menologmu karena ia memberikan pijakan awal sambil memungkinkan kamu mengembangkan spekulasi-spekulasi teoritis di bab-bab lanjutan dan tanpa mengurangi bobot utama tesis itu sendiri. Lama versus kontemporer? Lama. “lama” bukan sebagai “jadul” atau “antik”, melainkan bahwa topik tersebut telah banyak dikaji oleh studi-studi lain. “Tesis tentang hal-hal kontemporer akan selalu lebih sulit dibanding topik lama yang kajiannya sudah solid, oleh sebab daftar bibliografi yang lebih tipis dan sumber data dan bacaan yang lebih sulit dicari,” menurut Umberto Eco. Tapi, sungguh tidak akan masalah, karena kamu cinta bekerja keras atau ekstra untuk mengumpulkan data dan membangun pemikiranmu.
Dari Umberto Eco kita banyak mendapat pelajaran. Sementara, dari How to Write a Thesis yang mencerahkan, kita juga sudah menerima banyak kiat.
Baca, Baca!
Sungguh, bagi masyarakat luas dan terutama untuk kalangan akademisi yang belajar di berbagai universitas (Indonesia), membaca biografi filosof dan pemikirannya sangat dianjurkan. Lewat aktivitas itu kita bisa meraup banyak pelajaran dan kesemanggatan. Bahkan tak hanya dalam hal belajar, tetapi bagaimana Umberto Eco yang tak pernah berhenti merangkai kata. Bahkan dia pernah menyatakan aktivitas menulis sebagai “kewajiban politisnya”. (*)
Tentang Penulis:
Alfi Huda. Pecinta Filsafat Islam dan aktivis Lembaga Dakwah Kampus UNIDA Gontor pada 2018.
Tidak ada komentar