HEADLINE

HIKAYAT KUPU KUPU _Cerpen Remang Bintang


"Pulanglah, bapak begitu merindukanmu, Mira!"

Pesan itu dibacanya kembali. Lagi. Dan, lagi. Hingga sebutir air tergelincir di pipinya, terjun ke layar ponsel. Menggenang serupa danau tempat perahu perahu letih berbaring. Dan, kerinduan yang selalu saja runcing.

Tetapi ia tak boleh terlihat sedih. Ia perempuan yang bertahun tahun telah dididik oleh kota ini dengan segala latarbelakangnya  yang tegar agar senantiasa tersenyum senantiasa memelihara wajahnya, rambutnya, jarijemarinya, sepasang bola matanya dan tentu saja tubuhnya agar selalu terlihat smart. Ya, ia harus selalu smart dan cantik sebab ia adalah kupu kupu.

Ia, memahami pikiran bapak, kurun waktu lima tahun pergi membuat lelaki peladang itu kering dalam penantian panjang. Kerinduan pada anak gadis semata wayang merantau ke sebuah kota yang disesaki rencana rencana ganjil dari para penguhinya yang juga sebagian besar berpikiran ganjil. Keputusan keputusan ganjil. Pola hidup ganjil dan cinta yang telah begitu lama merupa sesuatu yang teramat ganjil. Cinta, di kota ini, adalah romansa pertemuan sekaligus perpisahan yang begitu singkat. Sebuah pengelanaan dari tubuh ke tubuh, dari jasad ke jasad, dari hotel ke hotel dari kampret yang satu ke kampret yang lainnya. Tak ada kedinamisan hidup di kota ini. Yang ada hanya langkah yang buru buru. Buru buru bertemu, buru buru pergi, buru buru mengambil keputusan dan buru buru pula memaknai kemungkinan tetapi bapak di kampung tak boleh mengetahui semua ini. Bapak tidak akan kesepian di sana. Bapak ditemani cangkul dan skope memiliki lahan dan bibit bibit palawija yang dengan sepenuh jiwa disemai atau diolahnya hingga musim petik silih berganti menimpali musim paceklik mengganti bayang bayang emak yang juga telah berangkat dengan pria lain, hidup dan berpilin di dunia yang lain.

Tetapi, jujur, ia juga kangen sama bapak. Lelaki yang tak pernah sama sekali merasakan bangku sekolah itu ibarat matahari dipunggung gunung. Setiap kali ia mengingat wajah bapak setiap itu pula tubuhnya rasa terbakar hebat. Tersengat rasa bersalah yang berpijaran di sekujur ruh memukul tulang tulang dada, "Bapak, maafin Mira, Mira tak berani pulang sebab tak sanggup bertemu sama bapak..!" Air matanya kemudian meledak.

*****

Di hari baik, hujan tak ada. Kota berdegub dengan aneka suara klakson membahana musik musik di belakang kemudi ribuan pemudik mulai menyesaki jalan ke pelabuhan. Dan, kemacetan telah menggenang di mana mana. Pos pos pemantau arus orang pulang kampung telah menjamur di sana sini, ia menyaksikan semua itu, malam ini. Dari balik kaca sebuah taxi online yang baru saja menjemputnya, meluncur ke sebuah tempat yang sudah begitu dikenalnya. Sama seperti dirinya mengenali atau dikenali oleh kota ini.

"Taman Buaran Satu, wilyah Klender, ya, mbak?"

Ia mengangguk, pengemudi grab di sampingnya tancap gas. Tak berani banyak cakap. Tetapi ia paham benar bila lelaki paruh baya di belakang kemudi ini tidak begitu fokus ke depan. Lehernye beberapa kali melintir ke bagian bawah jersienya yang dibiarkan sedikit terangkat. Tak peduli. Sebab, sekali lagi, ia telah lama mengenali kota ini.

Taman Buaran, seorang lelaki telah menunggu. Sebuah rumah yang tak masuk kategori kalangan elite, tetapi Bos Jaro, bukan ini tempat aslinya. Lelaki itu punya beberapa villa di ujung pulau dan setiap villa telah ada pelayannya. Pelayan Bos Jaro, pastinya perempuan cantik.

"Mira, saya tidak melihat dirimu seratus persen malam ini!"

"Emm..masa, sih, Bos?" Sedikit gugup.

"Ada apa? Apa kurang sortir, gitu?"

"Oh, nggak, nggak, Bos. Semua berjalan baik tak ada job yang ribound."

"Tetapi saya melihat mendung itu, di wajahmu."

"Hai, dari mana Bos bisa membedakan, ada mendung atau tidak di wajah Mira?"

"Dari senyummu. Kau kangen bapakmu lagi, ya?"

Ia diam. Lelaki keparat ini seperti telah membaca jalan pikirannya. Dasar mafia, emang susah sembunyi darinya.

"Kau punya tugas malam ini, adik manis. Semua tiket penerbangan pulang pergi ke luar kota sudah diboking. Tinggal duduk slow di sini, beberapa menit lagi perjalananmu ke Bandara telah siap. Setelah lending di Juanda, secepatnya aktifkan ponsel, seseorang akan menelpon lalu membawamu ke suatu tempat di wilayah Sidoarjo. Sekitar seminggu kau akan tinggal dan bersenang senang di sana. Ia adalah salah seorang relasi saya, pengusaha properti di Lamongan."

"Hah, Sidoarjo..!"

"Kau pernah ke Sidoarjo?"

"Oh, tidak!"

"Lah, kok, kaget mendengar nama Sidoarjo?"

"Nggak, nggak.. Kok jauh sekali, ya, Bos?"

"Ahai, ada apa dengan dirimu, Mira? Sidoarjo kau bilang jauh, bukankah kau pernah ke Pekan Baru, Samarinda dan Makasar menemui relasi relasi saya di sana."

"Iya, benar Bos, maksudnya saya belum pernah ke kota itu. Sedikit asing mendengar namanya."

"Oks, semua kolektif komisimu akan meleleh ke rekeningmu, yang penting laksanakan tugas dengan sempurna. Selamat bersenang senang, wahai, bidadari muda.."

Bos bengal di depannya ini memang tidak pernah paham bila sebenarnya dirinya berasal dari Kabupaten Sidoarjo, beberapa jam saja dari Surabaya. Dari Sidoarjo sekitar satu setengah jam menuju arah barat, tepatnya di Kampung Alas Ranji, Kecamatan Kutantil itu adalah kampung halaman Mira. "Ah, bapak, akhirnya aku bisa menginjakkan kakiku ke sebuah kota kecil di Jawa Timur tempat dulu bapak ketemu emak saat sama sama jadi karyawan di pabrik konveksi."

Mira senang bukan main. Sepanjang perjalanan menuju Bandara Soekarno-Hatta ia senyum senyum sendiri. Sungguh aneh hidup ini berkeliling pada labirin yang tak mungkin dapat diramal setiap sudutnya. Rasa kangen pada seseorang yang senantiasa terjawab dengan segala sesuatu yang ganjil. Seganjil perjalanan hidup dan segala lekuk yang menghuni kota ini seganjil keputusan yang kadangkala menemuinya meski belum sedikitpun ia memutuskannya. Ia, tiba tiba merasakan tenang di sepanjang perjalanan terbang, setenang para pemudik yang hendak pulang meski kepulangannya adalah untuk menemui seorang yang telah menunggunya di Bandara Juanda, bukan bapak. Tetapi seseorang yang sama sekali belum pernah dikenalnya. Seseorang yang memiliki misi sama dengan orang orang di Jakarta, yakni kepuasan dan petualangan di setiap lekuk sendi perempuan, orang orang yang kadangkala membuatnya muak. Tetapi telah memberikan kehidupan baginya dalam jaringan prostitusi online kelas kakap ini.

*****

Di sibaknya kain gorden. Bola mata menembus kaca jendela lantai tiga sebuah hotel, pagi hari. Seorang lelaki masih tertidur pulas di ranjang. Si kepala botak berbadan tambun itu rupanya ngantuk berat.

Ke barat, meski samar oleh jarak, ditangkapnya warna biru tua. Bila saja ia bisa terbang, semakin dekat maka warna biru tua itu akan berubah hijau pepucuk pohon jati. Kira kira di sanalah Kampung Alas Ranji dan bapak bersemayam. Dan, bayangan masa kecilnya, berkelebat menginjak jalan jalan bersetapak di dukuh itu. Masa dimana hidup ini begitu dinamis dan sejuk, sesejuk cinta bapak dan emak ketika masih bersemi menaunginya sebelum seorang kuli pasar (selingkuhan emak) menghancurkan segalanya. Emak membodohi bapak yang polos itu dengan berpura pura jadi bakul ikan asin keliling dukuh agar bisa leluasa ketemu bajingan kuli pasar di belakang sekolahan madrasah. Ia bisa merasakan betapa nganga luka di hati bapak ketika itu setelah mengetahui berita emak dan kekasih gelapnya digerebek warga kampung sebelah karena kepergok indehoi magrib magrib. Hai, bapak kalap, diasahnya parang yang panjang hingga tiga hari tiga malam untuk menebas si kuli pasar dan emak sekalian sebelum (kata bapak bergumam) bapak juga akan menebas lehernya sendiri. Ia menarik baju bapak agar tak jadi berangkat untuk memusnahkan kedua manusia terkutuk itu. Ia tak ingin kehilangan bapak yang berarti kehilangan segalanya.

Meski luka tetapi wajah bapak tetap teduh. Lelaki itu mengobati hidupnya yang hancur dengan air wudhu. Sujud. Dan mengembalikan segala urusan pada yang berhak. Bapak mengalihkan rasa cintanya yang terenggut kepada anak gadis semata wayang juga pada ladang tempat dirinya berhari hari menyibukan. Ya, bapak ke ladang hampir setiap hari, mengubur perasaannya yang gundah bahkan pernah terbelah. Dengan berat hati bapak memberi izin kepada Mira untuk merantau ke Jakarta, lima tahun lalu. Kata bapak; sambil menunggumu pulang merantau membawa kesuksesan, bapak ingin menikmati kesendiriannya lebih hikmat.

Ke barat, matanya berkaca kaca. "Maafkan anakmu, bapak. Aku tak sanggup untuk menemuimu dengan membawa jasadku yang kupu kupu ini. Biar saya memandang Alas Ranji dari ke jauhan sini, semoga bapak sehat di sana."

Sudut Bumi, 09062018

Tentang Penulis
Nama: Remang Bintang.
Menyukai seni dan tengah belajar memaknainya.

Tidak ada komentar