HEADLINE

NEGERINYA PARA PEMANCING | oleh: Riduan Hamsyah |

Saya sudah mengukur kedalaman lautmu. Menyelam. Dan, tak mendapatkan apa apa. Selain arus yang retak, gelombang yang bimbang diijak kaki kaki ikan. Masih dalam kurun waktu yang sama di sebuah negeri tak kunjung selesai, kita adalah tikai, tetapi bukan alamat sebuah peperangan. Cuma alih alih warna laut kadang hijau, biru, kadang juga kelabu. Saya ingin melarung umpan ke mulut ikan menggulung banyak harapan hingga di permukaan kita bertemu untuk saling memandang mempelajari raut masing masing, sungguh, di ujung biasan semua telah terjawab dalam sekejap. Meski sebenarnya pengelanaan kita bukan sebentar.


Di negeri laut, negerinya para pemancing, saya merasakan kedamain itu. Lebih banyak belajar pada ombak tentang retak yang tak pernah diam menghadapi derasnya hidup, juga lambung perahu mengisahkan pada saya bila dunia ini begitu sempit. Begitu dekat jarak antara kita dan pecundang. Cuma sedepa pandang.


Biasanya waktu yang kita suka adalah menjelang terang, kita terbiasa menyebutnya "fajaran" saat ini langit berwarna orange dan muka saya memerah, terengah menahan payah, sebab arus di bawah mesti saya hadapi dengan tenang tak boleh sedikit saja bimbang meski wilayah tempat bertahan dari segala rasa cemas ini lebarnya tak sampai sedepa. Di laut kita jaya. Lepas memandang ke pulau-pulau. Melambai pada lalu lalang kemudi tak henti menyusuri kemungkinan kemungkinan baru, di mana gadis gadis kerapu sembunyi di antara bebunga terumbu, hai di kedalaman sana adalah jagad gemerlap tempat miliyaran pasang mata bersitatap saling mencintai dengan kadar perasaan masing masing. Liuk tarian terumbu adalah wilayah kasmaran paling bengal sehingga kecupan cumi cumi mengelana ke jasad udang. Saya selalu terdiam. Begitu merasakan sensasi hidup yang sebenarnya. Saya telah mengukur kedalaman lautmu, dan kau, tak mungkin lagi mengikutiku.


Pada langit yang kemudian membakar layar saya tak ingin sembunyi, biar kita sama sama terpanggang dan legam tubuh kita hanyir garam tak terbilang ditempeleng angin. Reel yang menjerit dalam persenggamaan liar merobek arus barat hingga nafas kemudi tersengal menahan gelinjang sisik sisik yang mengait pepucuk air. Saya begitu menikmati ini. Sekali lagi saya dapat banyak belajar tentang hidup. Saya tak ingin melulu berpikir tentang martabat hidup itu sendiri, sementara tubuh belum merasakan terapung di atas gelombang, katir katir jukung gemeretak dengan irama romantisme tentang hakikat pelayaran. Ya, saya sering juga merasakan gagal, mengendalikan 'rod' yang terguncang membelah arus deras perlawanan 'gerong' mengikhlaskan penantian kili kili.


Di negeri tak henti berguncang ini anehnya saya tak pernah sedikit saja mengenang rasa cinta pada perempuan perempuan di daratan sana sebab kalimat cinta begitu basi di sini, saya tak ingin mengucapkannya hanya ingin melempar timah ke ranah paling dalam menyentuh dasar dan merasakan romansa cinta yang sebetulnya. Ring guide begitu saya perhatikan sebab ia paling menanggung beban atas pencarian kita di labirin remang teka teki. Saya hanya akan pulang dengan tubuh yang hanyir usai menghentak perlawanan kakap khilap menggelinjang senar perasaan bertaut di pangkal hingga ujung joran. Sesekali saya menatap ke daratan yang penuh kotoran manusia. Mengingat jasad jasad pongah, padahal mereka belum jauh mengelana, ingin benar saya mengajak banyak orang ke sini, ke lambung perahu merasakan bila kejayaan sesungguhnya berawal dari jerit yang sakit dari pencarian yang rumit dan sulit.


Menjelang ke pelabuhan, saya ingin mengatakan pada jangkar "saya adalah penduduk negeri pemancing, pecinta irama laut dan ombak yang runcing.."


Banten, 21 Oktober 2020

(Penulis: Riduan Hamsyah, penyuka video grafis. Saat ini mengisi kolom khusus di media www.simalaba.net)

Tidak ada komentar