HEADLINE

IZINKAN SAYA MENJADI REMANG BINTANG


IZINKAN SAYA MENJADI REMANG BINTANG


Ini tengah malam, saya baru pulang melaut, menghitung detak ombak memeriksa gigi gigi barakuda. Seperti juga letih yang selalu menyelinap rapi ke balik tulang, tualang kita semakin rindang, ada bayang bayang laut, ada liuk angin, ada cahya pudar di langit dan firasat beku di udara maka izinkan saya menjadi remang, remang seperti bintang.


Di pulau pulau terpencil malam hari, perahu ini bersandar mengisi harapan agar letih esok hari tetap tegar berlayar menerabas kemungkinan kemungkinan tersulit melepas belenggu pada tiang-tiang kemerdekaan yang masih disebut mimpi sebagian kita di negeri ini. Mimpi yang lancang. Mimpi tak lazim, bahkan.


Entah kenapa saya begitu mencintai laut? padahal saya berasal dari rahim perimba, tak ada firasat garam sejak semula bersarang di kerlip bola mata ayah, atau ibu yang nyaris tak bisa berenang. Ai, saya ini memang selalu remang, sekujur jasad saya meremang, isi dada saya remang, rumah saya remang, perempuan yang mencoba menemani saya malam ini juga remang. Ya, remang. Seperti bintang.


Lebih celakanya lagi, saya selalu lancang menulis sajak, tentang biji biji angin tentang dingin yang selalu gagal engkau kuburkan ke balik temaram hidup. Tempat sepasang cicak bercinta di tembok sepi, jam jam dinding telah lama mati meninggalkan detak tersesat tak lagi jadi penanda kita saat rebah di pembaringan yang sama tetapi jarang saling menyapa. Sebab saya adalah hening sementara dirimu hakikat diam.


Usai memahami kepak camar camar lapar, gelombak siang tadi mengajarkan saya cara bermukim di balik layar, menahan pijar matahari membakar melarung jangkar senyap jauh ke lipatan air berayun sepanjang waktu tak pernah diam bahkan terengah hingga ke tengah. Arah mata angin yang selalu jadi tempat menitipkan pesan pesan karam, catatan perjalanan yang ganjil sementara denyut petualangan menjadi bias di antara kecipak air, suara suara gemeretak di katir jukung atau kemudi yang terkungkung pada semacam dunia sistem. Saya perlahan meninggalkannya. Warna punggung saya memudar atas ini karena sejak mengelana ke sekujur urat urat dada kita tak pernah menemukan kedinamisan meski cuma reinkarnasi dari sebuah titik kesedihan. Semua hambar. Sehambar kalimat 'cinta' pada perempuan yang hingga kapan pun tak pernah saya ucapkan.


Saya telah menguburkan kesedihan ke dasar samudera. Ini sebab perahu-perahu di dermaga bergetar dalam tarian tak henti. Berayun. Mengakrab pada badai dan gelombang berdentang, saya ingin dirimu turut serta atas pilihan yang rumit ini hidup yang ajaib ini. Hingga cahaya berkedap pada dada kekunang yang terbang. Entah kenapa saya begitu mencintai laut? Mencintai senyap yang akut. Lalu, izinkanlah saya menjadi remang, remang seperti bintang.


Di dada malam yang bidang, saya belum juga menghentikan pengelanaan ini. Meski berkali kali dirimu mengirim isyarat agar saya istirahat. Melupakan cahya siang yang rindang.


Maka pada kamar yang penuh boneka, tempat galuh dan aisyah merayu dengan kalimat lembut, "agar ayah tak benar benar jadi pelaut" atau meneruskan petualangan yang kusut. Mereka berbisik agar saya menghabiskan banyak waktu di sini, menjadi pencerita, menjadi warna, berkedip seperti bintang. Tetapi saya adalah sisik sisik air. Kecipak di lambung perahu. Pada ujung tanjung dan tiang-tiang dermaga bambu hidup mesti ditabuh agar kian bersautan.


(Banten, 10 Oktober 2020)


Tentang Penulis

Riduan Hamsyah, penyuka video grafis, menulis puisi dan Cerpen telah dipublikasikan di sejumlah media massa. Kini ia lebih memilih untuk menulis di sejumlah situs pribadi yang didesainnya sendiri dan tak lagi bergantung pada media siar konvensional.



Tidak ada komentar