SASTRA DAN PERJALANAN SEJARAH BANGSA | Esai Hafis Azhari |
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 4 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi media Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu) kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.comBeri subjek SASTRA SETIAP HARI. Program ini juga memberi ruang bagi sahabat pemula dalam dunia sastra agar tetap semangat berkarya (Belum berhonor) Redaksi berhak menyunting naskah yang masuk tanpa mengurangi maksud dan isi dari tulisan.
Dalam opini yang ditulis K.H. Chudori Sukra, “Membangun Akal Sehat” (Kompas, 24 April 2018) secara implisit kita memahami situasi dan kondisi bangsa yang tak pandai membaca diri. Kita terlampau sibuk pada aksesoris bangunan-bangunan infrastruktur, tanpa memedulikan pondasi kebudayaan yang keropos. Ketika beberapa cendikiawan dan politisi menyoal validitas data dan fakta sejarah pada novel Pikiran Orang Indonesia (POI), saya menyatakan bahwa novel tersebut bukanlah ajang retorika politis. Saya pun mempersilakan mereka untuk mengadakan penelitian atau kroscek di lapangan.
Dalam novel tersebut, saya hanya menampilkan sejarah perjalanan tokoh bernama Haris yang terlahir pasca tahun 1965 berikut lika-liku kehidupan yang dialaminya. Dan saya tidak punya tendensi apa-apa selain berusaha untuk mengungkap kebenaran, dan demi kebenaran semata.
Saya mencoba menuangkan apa-apa yang selama ini dialami seorang warganegara Indonesia, yang dalam bahasa akademisnya bisa dikatakan psiko-histori dari perjalanan bangsa selama beberapa dekade ini. Saya tidak berpatokan pada analisis pakar sejarah tertentu, tapi dari hasil analisis jurnalisme Indonesia di mana kejadian-kejadian yang ditampilkan tak lepas dari perjuangan dan jerih-payah para wartawan dan jurnalis yang menghimpun data tak kenal lelah siang dan malam. Pemaparan narasi dalam novel tersebut tak lepas dari langgam jurnalistik, karena itu saya pun menaruh hormat pada apresiasi jurnalis dan wartawan terhadap novel tersebut.
Secara pribadi saya tidak punya kapasitas untuk bicara dalam tataran bangsa yang miskin apresiasi seni ini. Konon, menurut pengamatan Ketua Mufakat Budaya Indonesia (MBI), Radhar Panca Dahana, bangsa ini bukan hanya layak dikatakan sebagai bangsa bukan pembaca tapi juga bangsa bukan penulis. “Kita bukan bangsa dengan budaya tulis-baca, dan karenanya kita lazimnya hidup di zaman prasejarah,” ujarnya.
Dalam penulisan novel POI saya berusaha menyandarkan diri pada catatan-catatan anak negeri sendiri. Bagi saya, sudah terlalu banyak catatan sejarah maupun karya sastra yang mengacu dari pakar-pakar yang dianggap kompeten dari negeri-negeri asing. Novel tersebut berangkat dari hasil riset dan analisis para wartawan kita, yang tentu bersandar pada ideologinya masing-masing, agar kita tidak keliru dalam membaca diri, agar kita tidak menjadi bangsa-bangsa palsu yang terasing di negeri sendiri.
Banyak hal-hal yang berkaitan dengan sejarah, telah dicatat bangsa lain mengenai diri kita. Karena itu, novel POI berangkat dari pertanyaan mendasar, mengapa kita tidak mampu mencatat hal-hal fundamental mengenai psikohistori dari bangsa sendiri? Tema sentral inilah yang digagas dalam novel tersebut. Saya tak ingin adanya kekaburan fakta yang menyesatkan tentang hakikat manusia Indonesia, khususnya mengenai fenomena keindonesiaan dalam kurun di saat saya ditakdirkan untuk lahir, hidup, dan mengada di dalamnya.
Penyulapan fakta sejarah tentang tragedi G30S/1965 bersama Supersemar-nya, banyak mengilhami saya agar tidak mengulangi sejarah kepalsuan yang sama mengenai tragedi Trisakti hingga Salemba, di saat saya menjadi aktivis sebagai mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, di era tahun 1996 hingga 1998.
Karya-karya esai dan sastra yang ditulis Y.B. Mangunwijaya dan Pramoedya Ananta Toer, banyak membantu saya selama proses penghimpunan naskah hingga penyelesaiannya. Ketika saya bertandang di kediaman Romo Mangun di Jogyakarta sekitar tahun 1997-an, beliau menganjurkan saya agar menghimpun tulisan-tulisan hasil riset dan analisis wartawan yang tertuang dalam harian dan tabloid independen yang semakin marak di sekitar tahun-tahun kekisruhan politik itu.
Ada tokoh-tokoh yang secara eksplisit saya sebutkan dalam novel tersebut, meski sebagian saya tulis secara implisit saja. Memang tidak ada kebenaran tunggal dalam penulisan sejarah, selalu saja ada dualisme yang menyangkut keberpihakan kepada kepentingan penguasa tertentu. Tapi paling tidak, secara moral saya ingin melibatkan diri serta bertanggungjawab menuliskan hakikat kebenaran yang saya ketahui apa adanya, tanpa adanya kepentingan berat sebelah dari pihak manapun.
Novel POI mencoba untuk menampilkan apa adanya dari kebenaran sejarah Indonesia, di mana saya tumbuh dan berkembang di dalamnya. Pada prinsipnya, saya tidak ingin disebut sebagai ‘bangsa primitif’. Dengan perangkat novel tersebut, paling tidak saya akan berani menyatakan kepada bangsa-bangsa lain, bahwa kami punya sejarahnya sendiri. Bolehlah kalian menulis tentang kami, baik secara sastrais, sosiologis maupun antropologis, tapi kami punya kebenaran yang kami tuliskan menurut versi kami, suatu kebenaran yang apa adanya tentang kami, dan bukan atas dasar kepentingan dari pihak penguasa tertentu, berdasarkan sistem demokrasi kapitalistik tertentu.
Motif utama dari hasrat dan obsesi saya tak lain agar bangsa ini tidak tersesat. Agar bangsa ini mau menghormati orang yang layak diberi penghormatan. Saya tidak punya kapasitas untuk meng-counter berbagai sejarah palsu yang direkayasa tentang hakikat keindonesiaan demi kepentingan politik tertentu. Saya hanya menyuguhkan kepada bangsa ini bahwa saya telah berbuat. Saya telah berikhtiar untuk mengungkap apa adanya tentang hakikat sejarah, melalui gubahan karya sastra yang mungkin saja memunculkan gugatan dan kritikan yang berseliweran selama ini.
Selama berabad-abad hingga era milenial ini, memang diniscayakan membangun opini publik bagi kepentingan politik dan kekuasaan tertentu. Sejak zaman Heliodorus di masa Imperium Romawi, hingga Mpu Tan Akung yang melegitimasi kekuasaan Ken Arok, kemudian merambah ke era Orde Baru, penulisan sejarah dan karya sastra (roman) sangat berperan untuk membangun dan membentuk imajinasi publik.
Gambar-gambar yang dapat memancing rasa kebencian, untuk menyudutkan (bahkan memfitnah) pihak musuh sebagai penitisan kebejatan. Gambar-gambar yang dengan cara apapun disebarkan kepada publik, untuk mengelabui dan membodohi masyarakat awam, bahwa memandang seorang figur cukuplah melalui foto-foto yang dipotong atau diedit. Juga dalam membaca sosok musuh cukuplah melalui foto-foto yang disiasati sedemikian rupa. Masyarakat yang dibodohi dan dininabobokan seperti ini, tidak pernah punya kemauan untuk menilai seseorang bagaikan gambar film yang ditampilkan mencapai klimaks dan endingnya.
Untuk penulisan POI, saya hanya menampilkan karya sastra berdasarkan sejarah material yang sah dan valid dalam persepsi saya sebagai penulis. Saya mempersilakan gugatan dan caci-maki dari pihak manapun, selama sikap dan perlakuan itu masih dalam tataran perang ide dan pemikiran. Tidak ada kepentingan politis bagi saya untuk memanipulasi atau merekayasa data sejarah sampai karya
tersebut diluncurkan, kemudian beberapa lembaga kebudayaan dan institusi pendidikan dan pesantren, masih terus mengundang saya sebagai pembicara hingga saat ini.
Pada saat memulai karya tersebut, memang saya menyandarkan diri pada pesan sederhana dari sastrawan Y.B. Mangunwijaya, yang suatu kali menyatakan bahwa apa-apa yang kita tuliskan kelak akan menimbulkan efek positif atau negatif bagi peradaban bangsa ini. “Karena itu, putuskan pilihan Anda pada hal-hal yang akan menciptakan efek positif bagi pembangunan dan pemekaran kesadaran bangsa ini,” demikian tegas Mangunwijaya.
***
Tentang Penulis:
Hafis Azhari. Penulis novel Pikitan Orang Indonesia dan Perasaan Orang Banten.
Tidak ada komentar