HEADLINE

SAJAK PENGHABISAN | Puisi Puisi Fahrus Refendi |

SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU : EDISI 7 (2020)
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi minimal 5 judul untuk dipublikasikan setiap malam minggu
kirim karyamu ke e-mail: majalahsimalaba@gmail.com
subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU.
Apabila dalam 1 bulan naskah tidak dimuat maka dipersilakan mengirimnya ke media lain.
(karya yang dimuat diberikan honorarium)

SAJAK PENGHABISAN

Dengan menyebut namamu
namaku menjelma api
yang meruwat serak piyama yang kugadaikan dulu
kupakai tuk melipat waktu di suatu sore bersamamu

Memanggil aku dan namamu agar sampai pada apa yang kita tuju
haruskah kujelma kubur biar lebur
sanggupkah kutahan gerah panas tungku
bila manis madumu tak bisa kusesapi

Cangkang lonceng gereja berlalu kian retak
mata air menjelma bara yang mengalir
kemudian kering
lalu nyaring

Kupandang sekitar tetap gelap
tiba-tiba ingatanku mulai sadar
bahwa lentera yang kau nyalakan dahulu
tetap menjadi kilau di tepian pelupuk mataku.

AREK LANCOR

Lampu berjejer di malam hening
terbesit seuntai nama: Pamellingan.
Kokoh celurit saling melirik
berpangku pada sebidang tanah
di mana bekas nanah perjuangan masih segar
yang tidak melulu soal angan
melainkan angin yang ingin sekokoh ranting beringin.

Di atas kaki dian
teronggok setandan pengharapan akan bumi Pamellingan.
Keris pejuang jadi tumpul
darah telah padam
dan kuputuskan tuk berucap di malam yang salah ini.

“Pejuang Pamellingan, maafkan maksud yang tak sesuai dengan anganmu ini.
Menodai kesucian kerismu dengan janji-janji kosong”.

DI MATA JANJI

Mata waktu bergulir
ke curuk palung matamu

Di kedalaman hatimu kuyakini ada aku
yang saban waktu ingin selalu jadi seikat mawar dan melati

Langkah kaki ternaungi Rahim ibu
lantunan sajak kuhisap pada ringkih tubuh bapak

Kemarilah, masuki pintu itu
Pintu-pintu di mana nama lama telah menunggu.

MASIH TENTANGMU

Kulukai namamu di puisi pagi itu
untuk melerai gaduh di kepala
hingga lupa bahwa cinta adalah pertapa hampa

Kubajak sajak tentangmu
akan kepulan asap waktu
di mana namamu lupa kupancang sepanjang ingatan

Kuberdiri di pematang, melihat apa yang terbang,
Ternyata yang terbang adalah siluet tembang malang kenangmu
Yang tak sampai padaku
melerai ikut arus angin
di hilir ombak berbutir buih-buih pengharapan.

KOPI IBU PERTIWI

Kusesap kopi milik ibu pertiwi
rasanya pahit bercampur manis
ibu pertiwi bilang, “Jangan kau gadaikan tanah kopi ini dengan sinar yang redup”

Warnanya hitam pekat
sepekat rindu yang gagal keluar pintu
lantaran tau rekahmu itu melodi ragu yang lupa dicumbu

Kopi tau perihal kehilangan adalah
bentuk kematian
lalu, kubuka lembar halaman
agar sampai pada kecupan. 

SAJAK DERMAGA

Sepadan dengan sampan
perahu-perahu lekat dengan karang
angin rusuh melerai kata yang ingin disumpahi eros.
Meneroka biru jejeran ikan berubah larut tembang gaharu
semeru di pagi itu meruncing di ruas langit.
Jaring-jaring ditebar
sampah berkelakar
dilebatnya tirta membelah anjungan sampan.

MENGHADAP LANGIT
   : untuk alm. Damiri Mahmud

Daun-daun jendela beku tatkala pagi membawa ma*t mendekati harap. Harapan moksa bersama kata-kata. Mesin ketik meguarkan bau mesiu. Air kembang disapu pagi lantaran mata hati tak lagi mampu kutangisi akan pembaringan terakhirmu disini.

Bahasa minta dibenahi
akan tetapi
jalan terus saja pergi

Diksi hilang tuan penyapihnya
tuk
tidur selamanya

Langit dari kulit berubah gelap dari kuning langsat
berapa pun harga kata tak kuasa akan Tuhannya berkata,

“Letakkan kata-kata itu, mari bersanding dengan-Ku”

Sesaat kemudian, tanah disakiti, rumput-rumput dicabuti.
orang yang kenyang bahasa ibu berkemas, naik kendaraan
lalu pergi dengan suara hati bilang hati-hati.

Ada suara gaduh berasal dari orang-orang yang berkumpul,
“Tunggu-tunggu mau dibawa tuanku, aku harap turut dibawanya.”

Orang-orang memandanginya dan tak mengizinkan ikut pergi.
“Jika kau ikut tuanmu ini, dengan apakah ia akan dikenang. Dengan malangnya karena telah nyawa hilang?”
 Kata-kata yang pernah dibuatnya berlalu-lalang
Ilalang-ilalang kemarau panjang mulai mengantuk
Hingga hilang bentuk, tak berbentuk.

Pamekasan, 08 Februari 2020

Tentang Penulis:
Fahrus Refendi, lahir pada 07 Juni 1998 dan merupakan mahasiswa Universitas Madura Prodi Bahasa & Sastra Indonesia. Suka baca buku-buku puisi dan kumcer. Sekarang tinggal di Pamekasan Madura.
  

Tidak ada komentar