HEADLINE

PERSAHABATAN | Cerpen Rosni Lim |

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 4 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi media Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu) kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.comBeri subjek SASTRA SETIAP HARI. Program ini juga memberi ruang bagi sahabat pemula dalam dunia sastra agar tetap semangat berkarya (Belum berhonor) Redaksi berhak menyunting naskah yang masuk tanpa mengurangi maksud dan isi dari tulisan.


     Hari Senin telah tiba. Hari yang kutunggu setiap waktu semenjak 1,5 tahun lalu. Saat aku dapat betemu 2 sahabat baikku di sekolah—Erwin dan Wito—setelah sehari libur. Persahabatanku dengan Erwin dan Wito dimulai saat kami naik kelas VII, sekarang kami kelas VIII. Kami bertiga harus naik kelas nanti supaya bisa tetap bersama. 

     Persahabatan yang kami bangun sejak 1,5 tahun lalu itu sangatlah kokoh, banyak teman yang iri. Tak heran, bila teman sekelas lain sering berganti-ganti teman sepanjang waktu, tapi kami bertiga tetap bersama.

     Erwin yang lebih tua 2 tahun dariku memilihku menjadi sahabat baiknya karena aku termasuk teman yang tidak pernah mem-bully-nya. Entah kenapa, mereka suka mempermainkan Erwin, seperti: menyembunyikan botol air minumnya, memukuli pundaknya keras-keras yang mereka anggap sebagai candaan, memerintahnya membelikan makanan atau minuman sewaktu lonceng istirahat, atau menakut-nakuti Erwin sambil tertawa. Erwin Cuma diam—atau kalau tidak—menuruti suruhan mereka sambil menahan sedih di hati. Kasihan, tapi aku tak bisa apa-apa.

     Suatu kali, Jhonson bertanya padaku, “Jeriko, kenapa kamu mau berteman dengan Erwin? Nggak usah selalu dekat-dekat dialah. Dia kan bukan siswa yang beken di sekolah?” dengan penasaran, Jhonson merangkul pundakku dan mengikuti langkahku ke dalam kelas. 

    Aku cuma tersenyum. Iya, Erwin memang bukan siswa yang beken di sekolah, yang beken itu kan yang suka  bikin onar atau gangguin teman, bisik hatiku. Erwin beken sebagai anak yang sering dibully. Kadang aku sangat kasihan melihatnya sering dikerjain teman yang lain. Setiap ada waktu—pada saat lonceng istirahat atau sepulang sekolah—dia selalu mendekatiku dan mengajakku bicara. Biasanya, aku cuma diam mendengarkan—atau kalau tidak—menanggapinya sambil tersenyum kecil. Menurutku, dia teman yang baik dan perhatian. Pertemanan kami yang erat selama 1,5 tahun ini sudah bisa dimasukkan ke level sahabat baik.

     Mengenai Wito yang seumuran denganku, dia siswa pindahan dari sekolah lain. Mulanya, Wito sangat suka bersama Erwin sewaktu kelas VII. Karena Erwin suka mendekatiku, akhirnya Wito pun ikut mendekat dan menguntit ke mana saja langkahku.

     Heran juga, saat diajak bicara atau ditatap oleh teman-teman lain, Wito sangat jarang  membalas atau balik menatap. Tapi kalau berhadapan denganku, dia yang selalu duluan mengajakku bicara. Sambil bicara, biasanya dia tersenyum atau bahkan tertawa. Dia suka memberiku sentuhan-sentuhan ringan seperti menggelitikku hingga aku pun ikut tertawa bersamanya. Di kelas, di kantin, di lapangan, di lab, bahkan sampai di rumah, Wito selalu bersamaku

     Tak terasa, persahabatanku dengan Erwin dan Wito telah terjalin begitu erat. Hidupku yang semula sepi tanpa sahabat, sekarang penuh warna. Mereka memberiku kehangatan dan canda-tawa di hari-hariku yang ceria. Semenjak adanya mereka, aku selalu semangat menyongsong tibanya pagi dan melewati hari-hari.

     Persahabatan kami yang erat ini bukannya tanpa cobaan. Suatu ketika, entah kenapa Wito menjauhiku. Aku ingat, hari itu adalah hari Darwin tidak masuk sekolah karena sakit. Wito mencuekkanku saat lonceng istirahat. Saat itu, entah kenapa hatiku terasa  sakit. Aku sedih melihatnya menjauh dariku dan merangkul pundak Vaness sambil tertawa. Sewaktu di lab, aku sengaja duduk di sampingnya tapi dia cuma tersenyum dan tidak menyapaku. Dadaku sangat sesak tapi aku tak berani bertanya apa alasannya.

     Kutanya Mama dan Mama menjawab, “Mungkin kamu kurang memperhatikan dia. Saat dia datang ke rumah dan memperlihatkan game di tabletnya kepadamu, kamu selalu cuek dan sibuk memperhatikan game-mu sendiri. Sedangkan dia sepanjang waktu terus berusaha menghiburmu dan memperhatikan game-mu. Sekali-sekali, kamu juga harus membalasanya.”

     Aku merasa, kata-kata Mama ada benarnya. “Tapi game-nya Wito tidak menarik, Ma!” kataku.

     “Walaupun game-nya tidak menarik, tapi orangnya menarik kan?” balas Mama sambil tersenyum. “Buktinya, dia mampu menghiburmu setiap waktu, membuat wajahmu selalu tampak ceria, tersenyum dan tertawa. Saat Wito tak di dekatmu, kamu terlihat lesu.”

     Untunglah sikap lain Wito itu cuma ditunjukkannya 2 hari, yaitu saat Erwin tidak masuk sekolah. Hari berikutnya, kelas kami ada tugas kelompok. Erwin, Wito, Melda, dan Grisel datang ke rumah untuk sama-sama mengerjakan tugas tersebut. Persahabatan kami pun kembali terjalin.

     Wito selalu “menjagaku” ke mana pun aku pergi, sampai-sampai tidak ada teman lain yang berani mendekatiku di sekolah. Ketika kuceritakan hal ini pada Mama, beliau berkata, “Nggak apa-apalah, teman yang lain itu hanya bisa menjadi sebatas teman bagimu. Mereka bisa datang dan pergi kapan saja mereka mau. Teman mereka selalu berubah-ubah. Tapi Wito dan Erwin akan tetap menjadi sahabat baikmu, sampai kapanpun.”

     Erwin dan Wito sering main ke rumah. Saat Aldo dan Charles juga datang ke rumah, Wito terlihat gerah dan mencari cara supaya Charles lekas pulang.

     “Horeee…! Aku sudah berhasil memancingnya pergi!” begitu sorak Wito sambil berlari masuk ke dalam rumah setelah Charles berhasil dipancingnya keluar dari rumahku.

     Aldo yang berkali-kali datang ke rumah, membuat Wito bertanya diam-diam, “Kamu yang suruh dia datang ya, Jeriko?” .

     “Nggak,” jawabku. “Dia sendiri yang mau datang.”

     Saat Aldo datang ke rumah dan duduk di samping kananku, Wito pun dengan cepat berpindah tempat duduk di samping kiriku. Erwin juga terlihat gelisah bila  ada teman lain yang masuk ke dalam persahabatan kami. Bagiku, tak maslah ada atau tidaknya teman lain yang masuk, karena hari-hariku sudah terasa bahagia dengan adanya mereka berdua. Di sisi lain, menambah teman lagi juga bukan hal yang buruk.

     Godaan yang mungkin merusak persahabatanku dengan Erwin juga muncul. Kemarin, aku menerima inbox fb dari Clarin, siswa kelas VII yang sering diusilin Erwin. Barangkali, Erwin menyukainya.

     Clarin bilang dia sebal diusilin Erwin. Dia memintaku untuk pura-pura  menjadi pacarnya supaya Erwin menjauh darinya. Wah, belum tahu dia kalau Erwin itu sahabat baikku!

     “Please lah, Jeriko. Tolong aku,” tulis Clarin di inbox.

     “Nggak boleh, kasihan Erwin,” balasku.

     “Masa kamu tega lihat aku diusilin Erwin terus?”

     “Sori, aku nggak mau. Suruh orang lain saja!” ketusku. 

     Enak saja, permintaan Clarin ini bisa merusak persahabatanku dengan Erwin.

     Kata Mama, “Persahabatan itu seringkali menggoreskan luka. Karena semakin dekat sahabat itu denganmu, dia akan semakin gampang melukaimu. Bahkan musuh besar saja tidak mampu melukai hati kita sehebat sahabat baik.”

     “Berarti, suatu hari nanti Wito bisa melukaiku juga, Ma? Aku sangat sayang Wito, Ma. Aku tidak bisa kehilangan dia,” kataku sedih.

     “Iya, Wito bisa melukaimu, kamu juga bisa melukainya karena rasa persahabatan kalian sudah begitu dalam. Kamu harus siap untuk itu, Jeriko. Bila suatu hari nanti kamu terpaksa melukainya, misalnya kamu punya sahabat lain atau kalian mencintai gadis yang sama, lebih baik kamu merelakannya untuk Wito, karena sahabat sesetia Wito itu sangat susah dicari. Persahabatan kalian lebih berharga daripada cinta kepada seorang gadis.”

     “Kalau Erwin?” tanyaku penasaran.

     “Kalau Erwin, walaupun terpaksa kamu jangan sampai melukainya, karena dia bukan 
tipe yang bisa dilukai. Hatinya sangat rapuh, tidak seperti Wito.”

     Oh, untunglah aku tidak menerima usul aneh Clarin kemarin—kalau tidak—bisa saja aku sudah melukai hati Erwin hari ini. Wito dan Erwin adalah 2 sahabat terbaikku selama ini, aku akan menjaga persahabatan kami dengan sebaik mungkin.
     
Terima kasih Tuhan, telah mengirimkan mereka berdua ke dalam kehidupanku.

* * *

Tentang Penulis:
Rosni Lim.


   


Tidak ada komentar