HEADLINE

CALON SUAMI UNTUK MINA_Cerpen Ariani Rosa Lesmana (Sastra Pinggir Kota)


Hampir satu jam aku mematuk di samping jendela. Jauh kulepaskan pandangan hingga menggapai kaki langit sore ini. Langit sore yang begitu damai dengan biru keputihan sisa hujan barusan, tapi tiada pelangi terlihat di sana. Hatiku mulai teriris menahan sakitnya rindu yang luar biasa menggebu. "Apa yang Kau pikirkan, Mina?" suara Danang cukup membuat darahku bergelombang hebat. Aku terkejut dan gugup. Rupanya dia telah berdiri tepat di sampingku dan seakan tahu apa yang berkecamuk di benakku.

"Owh, tidak.... Aku.... Tidak apa-apa. Sebentar ya, pengen ke belakang ni. "Tanpa menunggu jawaban Danang aku berlari ke belakang demi menutupi rasa gugup dan menyembunyikan perasaan yang sedang mengobrak-abrik hatiku. Hampir saja aku tak bisa menguasai keadaan. Duhai jiwa.... Aku hampir tak sanggup menjagamu.

Kini apa yang harus kulakukan. Danang bukan pilihanku, tapi ayahku telah menerima pinangan dari keluarganya. Ah.... Mengapa begitu susah. Diriku seolah tak berhak menentukan pilihan. Rudi, seandainya kau ada di sini.

Air mataku mulai mengalir melukis sebentuk sungai di kedua pipiku. Kutumpahkan segala kepedihan yang menggenangi relung hati. Kubiarkan kepedihan itu hanyut bersama derasnya aliran sungai dari kedua mata ini. Lirih aku berbisik dalam hati "di mana Kau Rudi? Berkali kali kutelepon, ku sms, tapi nomor handphonemu tak lagi aktif. Apa yang terjadi? "

Tempat ini menggambarkan peristiwa-peristiwa lama. Beragam kisah kebersamaan kita terekam dengan jelas di memori ingatan tentangmu. Sorot matamu masih kurasa hingga menusuk jantung. Suaramu masih kudengar hingga menggetarkan gendang telinga. Tak terasa dua tahun sudah kita terpisah, Kau pergi dan menghilang bak ditelan bumi. Sedangkan janjimu jelas, takkan lama kau pasti kembali untukku.

"Rudi, tiada yang lebih menyesakkan dada saat bibir terbata bermunajat untukmu. Tiada kesedihan melebihi sedihnya hati menanggung rindu berbilang hari bulan dan tahun. Dan aku.... Aku menanggung semuanya. Aku menjaga hati ini hanya untukmu. Namun,  apa jadinya kini. Kita tak ubahnya seperti bulan dan matahari yang tak mungkin bertemu. Kita seperti siang dan malam yang tak mungkin bersama. Pinangan yang diterima ayahku tak mungkin bisa kuputus hanya karena rasa. Dengan apa aku harus menjelaskan padamu."

"Mina, ibu tahu perasaanmu, nak. Dan ibu merasakan juga hal itu." Aku menoleh seakan memohon pertolongan pada ibu. Tapi, belum sempat aku bicara ibu telah mendahului "ibu tidak bisa berbuat apa-apa. kita sama, Mina. Keputusan ayahmu tak bisa ibu campuri." Aku dan ibu sama-sama menangis, menangisi nasib perempuan yang harus mengikuti setiap keputusan meski tidak ia sukai sekalipun.

Aku tak bisa membayangkan menikah dengan seseorang yang jauh dari hatiku. Bagaimana aku akan menerimanya. "Mina, kau tak bisa lagi membuat keputusan lain. Jika itu kau lakukan maka keluarga besar kita ikut menanggung malu. Ibu tahu, setiap waktumu selalu memikirkan Rudi. Tapi, buktinya telah dua tahun dia pergi tanpa kabar sama sekali." Aku mendengarkan ibu bicara panjang lebar dari tadi. Tak sedikit pun aku bicara, hanya tangisku yang menjawab semuanya.

Danang tak pernah absen hadir di depanku setiap harinya. Seperti takut kehilangan ia membuntuti ke mana pun aku pergi. Kikuk rasanya selalu diikuti dan dicereweti. Bentuk perhatian maksudnya, tapi aku tak suka.

"Aku memang bukan orang yang kau harapkan, Mina. Aku paham itu. Tapi rasa cinta dan sayangku padamu melebihi apa pun di dunia ini. Aku coba memulai hari bersamamu dengan harapan kau bisa membuka hatimu untukku. Mungkin kesedihanmu bisa berkurang suatu saat dengan kebersamaan kita. Atau, beban rindumu suatu saat berkurang dengan adanya aku." Dalam hati aku bergumam "pede amat ni orang". Cinta.... Sayang.... Memang kamu sendiri yang punya rasa itu. Seenaknya aja bicara.

“Apakah karena cinta itu kau rela menghianati sahabatmu sendiri, Danang. Rudi itu sahabatmu, dan kau tau hubungan kami. Mengapa kau datang meminangku pada ayah tanpa bertanya kesediaanku. Kau licik!!!! "Mina.... Mina.... Aku bisa jelaskan semua ini. Aku tidak licik."  “Alah.... Sudahlah!  Apa lagi yang harus kau jelaskan? Semua telah jelas, kita tak perlu lagi bicara.”

Aku lari dan segera berlalu dari hadapan Danang. Kubanting pintu kamar, kukunci, dan kuhempaskan tubuhku di atas springbed. Tak lama kudengar Danang pamit pada ibuku. Hari ini telah kutumpahkan kemarahanku pada Danang. Semoga saja ia menyadari semuanya.

Aku mendapat kabar Heri pulang dari Kalimantan. Hatiku seperti mendapat angin segar. Sedikit saja aku memiliki keyakinan tentang Rudi. Kejelasan itu harus kudapatkan. Mereka berangkat bersama dua tahun yang lalu dengan tujuan yang sama pula. Mengapa kini hanya Heri yang kembali. Ke mana Rudi? Aku sangat yakin Heri pasti tahu jawaban dari segala misteri tentang Rudi selama ini.

Aku melaju dengan mio sporty yang biasa mengantarku ke segala arah. Agak sedikit tergesa dan buru-buru karena aku sangat menginginkan jawaban secepatnya tentang Rudi.

Melihat kedatanganku Heri terkejut dan aku tahu dia menyimpan sebuah rahasia. Dia pun pastinya tahu tujuanku menemuinya saat itu. Namun, emosiku tak tertahankan. Aku menangis sebelum sempat bicara pada Heri. Mengapa Heri pulang seorang diri. "Ke mana Rudi?"

"Mina, tenang Mina." "Bagaimana aku bisa tenang, kalian pergi dan tiada kabar. Sekarang kau pulang seorang diri. Ke mana Rudi? Katakan heriiii!!!!" "Baiklah! Aku akan jelaskan semua, tapi kamu tenang dulu, Mina. Akan kuceritakan segalanya tentang Rudi."

Aku menyeka air mataku. Kureguk air putih yang diberikan ibunya Heri. "Nak Mina, yang sabar ya. Biar Heri menjelaskan semua masalah tentang Rudi." Ibu Heri memelukku erat. Pelukan hangat yang membuat hatiku tenang. Dan Heri mulai bicara pelan dan perlahan.

"Kau jangan ragu, Mina. Rudi sangat mencintai dan menyayangimu. Tak perlu kau tanyakan kejelasan itu. Hari-hari kami selalu ia penuhi dengan cerita tentangmu. Kalian begitu serasi, saling menyayangi, dan rasanya tidak ada pasangan melebihi mesranya kalian. Namun.... "Namun apa Heri?" Namun, kau harus tabah Mina. Rudi telah pergi untuk selamanya. "Apa? .... Apa maksudmu Heri?" Ya, Rudi.... Rudi sakit. Dia terkena kanker nasofaring stadium empat dan jiwanya tak tertolong. Ia meninggal dua bulan setelah kami berada di Kalimantan. "Tidaaaakkkk...." Hatiku remuk, semua sendiku telah hancur dan terpisah dari tubuhku. Pupuslah semua harapan hidup bahagia bersama Rudi, surga yang kuimpikan. Seketika dunia menjadi gelap gulita dan aku tak tahu lagi apa yang terjadi.

Aku tersadar. Kulihat di sekelilingku ada ibu dan ayah, ada Danang dan orang tuanya, juga ada Heri. Semua khawatir dengan keadaanku. "Nak, syukurlah kau sudah sadar. Kami mengkhawatirkanmu. Semalaman kau pingsan, tak sadarkan diri." "Ya, bu. Rasanya aku tak mampu menghadapi semua ini." "Sstt.... Nggak boleh bicara begitu. Ingat, Allah tak akan membebani hamba-Nya di luar kemampuan hamba itu sendiri." Dan satu lagi Mina, ayahku mulai bicara: "sebelum meninggal, Rudi minta kepada orang tuanya dan juga Heri, agar tidak memberitahukan keadaannya padamu. Dia juga minta agar Danang meminangmu. Dia sangat yakin menyerahkanmu pada Danang karena dia tahu persis Danang sangat mencintaimu." Aku tak mampu lagi untuk bicara. Untuk kesekian kalinya hanya tangis yang menjawab.

Tak ada lagi pertanyaan di hatiku. Suka atau tidak, aku harus bisa menerima keadaan dan tentunya menerima Danang, calon suamiku. Sungguh pun perasaan ini tak sama, tapi Rudi yang memilihnya untukku.

Tentang Penulis:
Ariani Rosa Lesmana, Sehari hari berprofesi sebagai guru di Lampung Barat. Ia juga aktif dalam Gerakan Literasi Daerah (GLD) Lampung Barat.

Tidak ada komentar