HEADLINE

SURAT CINTA UNTUK ISTRI ORANG_Cerpen Muhtadi Chasbien(Semarak Sastra Malam Minggu)

SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU : EDISI 35

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), cerpen,cernak dan artikel (minimal 5 halaman A4) untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam. kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. Apabila dalam 2 bulan naskah tidak dimuat maka dipersilakan mengirimnya ke media lain.
(Bagi karya yang dimuat malam minggu diberikan honorarium sepantasnya)


“Empat surat yang kukirim sebelumnya, hanya surat ketiga yang dia balas. Surat ini akan kuberikan melalui suaminya,” katanya. Surat itu telah dibungkus dengan amplop warna merah jambu yang diletakkan di atas meja di depan kami. Di amplop itu, menempel gambar hati warna merah membara, juga gambar bibir merekah.

“Kenapa tidak langsung diberikan padanya, Tok?” tanyaku.

“Perempuan itu menyuruhku memberikannya pada suaminya.”

“Tapi kamu bisa babak belur kalau suaminya tahu bahwa itu surat cinta.”

Ia mengernyitkan dahi sebelum kembali bicara. “Hatiku berdebar saat menerima surat balasan darinya, meski hanya berisi surat ketiga yang telah disilang menggunakan spidol permanen.”

“Itu pertanda dia menolakmu, Tok. Aku rasa, banyak perawan yang mau padamu. Kamu sudah punya pekerjaan tetap, sebagai Reporter di salah satu koran lokal. Tampangmu juga masuk katagori ganteng, meski ada beberapa bintik hitam bekas jerawat. Aku yakin, andai kamu ingin beristri tiga sekaligus, itu bukan perkara sulit dan aku sangat setuju daripada mengejar-ngejar istri orang,” kataku dengan suara pelan.

Es teh di hadapannya ia teguk sekali hingga tandas. Hari ini cuaca memang sangat panas. Kipas angin yang berputar di tembok kanan atas tak mampu menghilangkan gerah. Tiba-tiba ia berdiri. “Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan cintanya,” katanya lalu pergi meninggalkanku di rumah makan tanpa pamit.


***

Malam itu, aku bersama istriku duduk di teras rumah. Itu cara kami menunggu waktu sholat isyak, duduk berdua ditemani secangkir teh hangat. Teh akan ditinggalkan bila kami mendengar azan isyak. Dan kami akan menghampirinya selesai shalat.

Istriku, Yuly, tertawa saat kuceritakan pertemuanku dengan Totok beberapa hari yang lalu. Katanya, penyakit lamanya kambuh lagi. Aku disarankan agar tidak dekat-dekat dengannya. “Kamu bisa ketularan gilanya bila dekat-dekat Totok terus,” katanya. Istriku pasti bercanda. Jika benar Totok gila dan gila bisa menular, dia pasti akan mengusir Totok saat mengunjungi rumah kami, bukan malah bergabung di ruang tamu dan menjadi perempuan satu-satunya yang tertawa terbahak-bahak.

Totok sahabatku juga sahabat istriku. Kami satu kelas mulai SD sampai SMA. Di perguruan tinggi, kami satu kampus, tapi beda jurusan. Aku dan istriku masuk jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, sedangkan Totok jurusan Pendidikan Matematika. Kedekatan kami telah terjalin lebih dari 17 tahun.

Sekitar 10 tahun yang lalu waktu kami masih berseragam abu-abu, ia pernah mencoba mengakhiri hidup gara-gara cintanya ditolak Yuly. Untung saja Yuly mau menerimanya setelah kubujuk ringan meski hubungan mereka terjalin tak sampai dua bulan. Belakangan (setelah Yuly jadi istriku), dia cerita. Katanya kalau bukan karena bujukanku dia tak akan mau jadi pacar Totok.

Handphone istriku berdering. Sekilas dia melihat layar handphonenya. “Dari si gila,” kata istriku sambil tersenyum. Aku mengangguk, memberi isyarat agar dia menerima panggilan dari Totok.

Istriku memberikan handponenya padaku. Katanya Totok mau bicara. Di seberang sana, suara Totok mulai memenuhi gendang telingaku. Awalnya pelan, lambat laun mulai kasar (beberapa kali nama-nama binatang buas meluncur dari mulutnya), lalu pelan lagi, pelan sekali, dan selanjutnya aku ingin muntah saat mendengar isak tangisnya. “Lebih baik aku m4t1 saja, Bro,” ujarnya yang justru membuatku tertawa, bukan iba. Ah... Kau laki-laki macam apa Tok. Cemeng sekali. Saat itu adegan Totok dan seorang perempuan cantik yang sudah bersuami muncul dalam pikiranku. Perempuan itu merobek surat cinta dari Totok hingga kecil-kecil lalu melemparkannya ke mukanya. Beberapa detik berikutnya, air bening keluar dari sudut matanya, membasahi kedua pipinya. Seiring semakin menjauhnya perempuan itu, tubuh Totok lunglai dan tak bisa menghindari dari jatuh. 

“Ada apa, Tok? Apakah suaminya sudah tahu akan kelakuanmu?” tanyaku di sela-sela sesunggukannya.

Tanyaku tak dijawab. Ia malah melontarkan pertanyaan dengan suara yang tak begitu jelas. “Apakah kamu mau membantuku, Bro?” Tentu saja tanya itu kujawab iya. Lalu ia mengajakku bertemu di rumah makan Kedai HK besok malam. Aku dilarang membawa istriku. Cukup aku dan ia saja.

***

Saat kakiku menginjak lantai Kedai HK, pandanganku kuarahkan pada meja nomor delapan, di pojokan, dekat jendela. Benar saja, ia sudah berada di sana. Tatapannya memandang serius layar handponenya. Entah dengan siapa ia chattingan, atau mungkin sedang membuat status di akun WA-nya agar dibaca perempuan yang dicintainya. Di depannya tergeletak amplop merah jambu. Aku menerka, pasti di dalamnya berisi surat cinta. Nanti ia akan minta tolong padaku agar memberikan surat cintanya kepada istri orang, perempuan yang ia cintai.

“Surat yang ketujuh ya?” tanyaku. Ia hanya tersenyum. Senyum yang tampak dipaksakan.

Dua minuman warna orange dan merah  tersaji di depan kami. Sejak SD ia tahu kalau aku suka es jeruk, dan hal lain yang terasa kecut. “Ini untukku ‘kan?” tanyaku lalu kuteguk tanpa menunggu jawabannya, dan ia memang tak menjawab. Kuperhatikan ia diam-diam. Tatapannya masih pada layar handponenya. “Ya sudah, aku pulang saja kalau kamu masih asik chattingan,” kataku.

Totok meletakkan handponenya di atas meja di depan kami. “Ya iya, aku off,” katanya cemberut. Aku tertawa melihat tingkah laku Totok. Seperti anak kecil.

“Kamu sebenarnya mau bicara apa, Tok? Aku tak banyak waktu. Istriku menungguku di rumah,” kataku.

Ia menarik napas dalam-dalam. “Surat ini berikan padanya ya!” kata Totok sambil mengangkat surat yang ia pegang.

“Aku tidak kenal dengan perempuan itu.”

“Kamu berikan saja ke istrimu. Biar dia yang memberikannya.” Dasar manusia aneh. Di zaman yang sudah canggih ini, masih menggunakan surat cinta. Padahal sudah ada WA, BBM, dan media lain yang lebih wow.

“Bagaimana, mau tidak?”

“Aku istikharah dulu ya.”

“Aku serius, Bro. Ayolah bantu aku, kali ini saja.”

“Kenapa tidak kamu kirimkan sendiri?”

“Aku sedang marah padanya.”

“Baiklah. Aku akan memberikannya pada Yuly dan menyuruhnya memberikannya pada perempuan pujaannya.”

Di rumah, istriku marah-marah saat kuberikan surat dari Totok. Katanya, aku sama gilanya dengan Totok. Tentu saja aku tak paham dengan perkataan istriku.

“Kamu sebenarnya masih cinta tidak sama aku?” tanya istriku.

“Kok pertanyaanmu begitu, Yang? Masih lah.”

“Kalau kamu masih cinta, kenapa kamu bantu Totok meluluhkan hatiku.”

“Maksudmu?”

“Perempuan yang dicintai Totok, yang selalu dikirimi surat, yang katanya istri orang, perempuan itu aku, Mas. Istrimu.” Yuly lalu membuka laci dan memberikannya beberapa surat cinta dari Totok. 

***

Tentang Penulis:

Muhtadi Chasbien. Lahir di Sumenep tepatnya di desa Rombiya Timur kecamatan Ganding 28 tahun yang lalu. Setelah lulus dari UBI Banyuwangi, mantan aktifis LPM Retorika itu kini mengabdi di SMK Sumber Mas, SMPI Mambaul Ulum dan MA Al-Maarif sebagai guru mata pelajaran Matematika.








Tidak ada komentar