HEADLINE

SURAT UNTUK BAPAK_Puisi Puisi Zhee Lalune(Sastra Harian)

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 5 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi majalah Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu) kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SASTRA SETIAP HARI.
(Belum berhonor)


SURAT PERTAMA

"Pa"
"Tidurlah lagi"
"Mau kemana?"
"Cari uang"
Sementara malam masih hadir..
Si bocah terusik, kemudian kembali tidur..
Dalam tidurnya ia bermimpi bahwa bapak tak perlu bekerja lagi.
Dia hanya akan duduk sembari menunggunya pulang di depan pintu..
Menatap anak sulungnya dengan seragam dan lencana.
"Pa"
"Masuklah nak"
"Aku rindu"


SURAT KEDUA

Ayah aku pulang..mebawa berita tentang negeri seberang.
Disana ada benih keajaiban yang tumbuh di tanah gersang.
Awan berwarna jingga... Tak segelap tempat ayah tidur sekarang.
Juga tak seterang ketika ayah minum kopi di teras rumah.
Ada sukma seseorang yang melindungiku dari marabahaya.
Kata angin itu doa ayah...


SURAT KETIGA

Ayah aku datang.
Kembali dari rantau membawa amarahmu dan kebanggaanku.
Menenteng impianku yang bukan impianmu.
Pintu rumah masih tertutup.
Ayah aku datang.
Pintu kayu jati yang diambil dari ladang kakek menyimpan sunyi yang kudekap dalam rasa takut.
Ayah aku pulang...
Samar-samar kulihat kain jemuran yang biasa digantung ibu.
Ibu menatapku dengan sendu...
Kata ibu ayah mencintaiku..
Kata ibu aku tak pernah salah...
Kata ibu aku tak perlu meminta maaf.
Karena ayah pergi sebelum aku kembali...
Cerita ibu..ayah selalu membuka pintu
Cerita ibu ayah rindu aku.


SURAT KE EMPAT

Yah, hari ini ibu menyapa dinding
Tapi tak melihatku
Hanya berdiri dan sesekali melihat tumpukan piring kotor yang ditumpuk di seberang dapur.
Yah, ibu sakit. Karena sering diteriaki.
Dia juga pernah disapa oleh kaki yang kau cintai.
Kaki yang katamu membeli tebu di pinggir jalan dekat rumah.
Aku duduk sambil memakan talas yang dikira ibu daging. Memakan jagung yang ibu bilang nasi.
Yah...ibu sudah tuli.
Kini ia damai tanpa perlu mendengar semua sampah yang kau buang tapi tak kena sasaran.
Mereka pikir ibu tak perduli
Coba saja ketuk pintu. Ibu tak dengar lagi.
Ibu tak membukanya lagi.
Yah...ibu tersenyum.
Apa ayah tahu? Dia mencintaimu dengan hati yang sudah dibalut luk4.
Tapi ayah kemana???
Karena ibu sendiri...


SURAT KELIMA


"Sepanjang penggaris"
Dan ketika gerimis menyambut di halaman rumah.
Aku menatap bapak yang duduk dengan penggaris.
Mengukur mimpi yang tak sampai sepuluh centi.
"nyalimu kemana??"
Dan kaki-kaki melangkah. Membentuk ribuan langkah untuk pergi dari rumah.
Menenggelamkan diri dalam lautan bintang.
Tak pernah berbalik menatap bapak yang berdiri mematung.
Memanggilku untuk pulang
Dan aku enggan kembali
"aku enggak hidup dari mimpi. Aku mimpi maka hidup"
Pak... Aku belum sampai rumah.
Bukan salah jalan...
Namun belum ingin pulang...


SURAT KE ENAM (SERATUS RIBU)

Kata Widuri, bapak rindu aku..
Surat-surat terdahulu menghampirimu,
Kutitip pada sajak-sajak kawan lama
“Bapak sudah baca”
Aku yang tak pernah pulang
Meleleh dalam pelukan yang sudah lama kurindu
Selembar uang berwarna merah runtuhkan air mata yang sudah lama kusimpan rapi di kotak-kotak sepatu.
Pak…aku masih sama…memelukmu dengan tangan yang menerima
Karena langit yang kau minta tak akan pernah bisa kuberikan.

Dua puluh tujuh tahun sudah.
Maafkan aku pak


17 juli 1991-16 july 2018


MATAHARI

"kata matahari"
Ketika jalanan begitu sepi..dedaunan terbang mengantar keluh yang tak dapat didengar manusia
Kata matahari bahwa kami sama.
"manusia selalu mengutuk bahkan ketika kantuk, peluh ialah salahku, karena terikku seperti ner4k4. Setelah aku enggan datang. Banjir penuhi ladang itu pun salahku"
Air mata kering oleh terikmu. Hanya pilu yang tak berbekas kini penuhi dagu.

2018



Tentang Penulis:


Zhee Lalune, wanita yang menyukai puisi, dan penulis novel times. Hoby traveling dan mengoleksi buku, tinggal di Medan..

Tidak ada komentar