HEADLINE

KETIKA JEJAK MENJELMA NAZAR_Cerpen Q Alsungkawa(Sastra Harian)

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 5 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi majalah Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu) kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SASTRA SETIAP HARI.
(Belum berhonor)



Waktu tidak menunggu siapapun. Biarkan kenangan berada di sana, tempat yang nyaman ketika mata terpejam. Setelah suatu hari kepergian Isnaini, menjauh dari kata-kata, tempat paling sunyi dari persembunyian dan untuk memahami kesederhanaan, terkadang kepergian yang jarang disadari, karena kerap melukai kalimat pulang. 

“Isna..., Suoh, tanah kelahiranmu, sekarang sudah dikunjungi mobil.”

Pesan terakhir yang dikirim kakak sepupu melalui ponsel bututnya beberapa bulan lalu, berulang-ulang menyengat benak Isnaini, menetaskan hasrat kerinduan. Tiba-tiba gadis cantik berambut pirang asal pedalaman Lampung Barat itu ingin pulang. Tetapi hasratnya tertahan sebuah janji. Janji yang pernah terlontar di tepi Danau Asam, ketika ia membasuh kedua betisnya setelah terperosok dalam kubangan lumpur saat hendak berangkat ke kota.

“Haram kaki ini berpijak lagi ke tanah ini, jika aku belum kembali membawa mobil sendiri.”

Sedahsyat apapun kerinduan tentang keindahan alam Suoh, gadis yang terlanjur menanam sumpah di tanah kelahirannya sendiri tidak mungkin menjilat ludah yang terkapar menjadi lumpur dan debu. Sebab janji itulah, Isnaini tak pernah membalas pesan singkat dari sepupunya, ada api di balik dada yang menyala ketika ingatannya kembali memotret langit Suoh. Namun kebenaran lain yang sulit diakui Isnaini, nuraninya tetap penasaran dengan keadaan keluarganya di kampung, penasaran tentang objek wisata di kampung, penasaran dengan jalan dan jembatan menuju ke kampungnya. Diam-diam Isnaini membuat akun facebook dan akun instagram dengan nama yang disamarkan. Dari dua akun medsos ia mengintip perkembangan seputar Suoh, tak terkecuali pembangunan jalan dan jembatan, dengan menerobos ke akun-akun medsos sanak saudara dan teman-teman di kampung. Isnaini tetap menutupi jati dirinya, ia tak pernah memposting foto-foto yang mengenalkan jati dirinya. Isnaini terkagum-kagum melihat postingan sepupu dan teman-temannya. Ia selalu mencuri foto-foto tentang keelokan Wisata Suoh yang eksotis. Sungguh dadanya dibuat berdegub kelebat kenangan bermunculan. Akses menuju Suoh jauh berubah, jalan telah ditanami aspal, jembatan kokoh berdiri, ada detak kebahagiaan menyelinap ke balik lipatan hati, tetapi kebahagiaan itu sunyi, hanya mengendap menjadi genangan air yang hangat melintasi kelopak, sebab jauh di lubuk hati paling sunyi, sebuah janji tetap menyala, tidak untuk dipadamkan karena bila padamnya janji itu sama halnya membunuh harga diri.

Belasan tahun, bukan waktu yang sedikit yang Isnaini korbankan. Bermodalkan ijazah SMA tak banyak pilihan berpihak. Ia mengadukan nasibnya dari mulai asisten rumah tangga, pedagang kopi keliling, pengamen jalanan hingga jadi pedagang sayur-mayur di pasar-pasar. Keuletan  Isnaini menemukan jalan nasibnya sendiri, ia mengubah kantung perekonomian, dari pedagang sayur di pasar hingga menjadi juragan sayur-mayur, bahkan mencakup hasil bumi lainnya seperti beras, kopi, cengkeh, lada, kayu manis dan lain sebagainya. Pundi-pundi rupiah pun deras mengalir ke kantung Isnaini. Para pekerjanya di sebar ke seluruh Lampung, di mana ada pasar di situlah mitra-mitra Isnaini berjualan.

***

Isnaini mengerutkan dahinya, ia paham betul dengan rasa nasi yang ia kunyah. Secepat kilat menyambar benda pintar cantik di atas meja.

“Halo Mbak Isna, ada apa?”

“Ardi, 10 menit lagi temui saya.”

“Baik Mbak.”

Selang 10 menit pintu diketuk. Terlihat raut cemas yang dibawa Ardi ke hadapan Isnaini, sang juragan sayur itu.

“Ardi, beras kemarin itu kamu dapat dari mana?”

“O, itu, hmmm, anu..., anu..., ampun deh lupa namanya, pokoknya dari daerah pedalaman tapi masih wilayah Lampung Barat, Mbak.”

“Daerah Suoh, mungkin?”

“Nah...! Iya, iya mbak, Suoh, nama daerahnya.”

“Sudah kuduga.”

“Ko Mbak bisa tau?”

“Saya lebih tau daerah itu.”

“Apa ada sesuatu yang salah Mbak?”

“Tidak ada Ardi, saya cuma ingin memastikan itu.”

Ardi masih saja garuk-garuk kepala sambil menggerutu di dalam hatinya, kemudian berlalu. Sementara Isnaini kembali termenung, kelebat raut kampung halamannya kembali merasuki ingatan, kerinduannya kembali memuncak. Perlahan ia membuka akun facebook, tanpa disadari kelopaknya berlinang, ada penyesalan menusuk hingga ke ulu hati.  Bertahun-tahun ia habiskan dengan menumpuk pundi-pundi rupiah, yang ternyata kebahagiaan tidak semata-mata tercipta dari menumpuk kekayaan saja. Belasan tahun kebahagiaan itu lepas dari tangannya. Isnaini telah membuat retak hubungan atas tanah kelahiran dengan seuntai kalimat yang spontan ia ucapkan ketika ia kesal, hingga ucapan itu memaksanya bertarung dengan kerasnya hidup di kota.

“Apa sebenarnya yang kubanggakan dalam hidup ini?” sebuah bisikan nurani Isnaini yang hanya menguasai wilayah sunyi.

Isnaini memanggil seluruh mitra kerjanya, ia mengutarakan tentang niatnya untuk pulang ke kampung halamannya. Tentu orang-orang kepercayaan Isnaini terkaget-kaget, selama ini mereka bahkan tidak tahu asal daerah si bos cantik itu. Akhirnya mereka sibuk mempersiapkan segala bentuk kebutuhan juragannya, dari mulai memborong kain tapis, hingga batik batik daerah tertentu yang sudah eksis hingga ke mancanegara. Isnaini juga mengundang para sesepuh adat Lampung, dan seorang ustadz, untuk dimintakan pencerahan, solusi dari masalah batin yang ia hadapi.

***

Serupa pejabat daerah yang hendak berkunjung atau terjun langsung ke masyarakat. Iring-iringan Isnaini menelusuri rute Suoh, dan di setiap jembatan atau jalan-jalan yang dahulu tanah merah yang kini sudah tegak kokoh jembatan juga tanjakan yang sudah ditanami aspal atau coran, Isnaini menghentikan mobilnya lalu keluar dari mobil, memandang ke sekitarnya, meyakinkan antara iya dan tidak, bahwa selama ia pergi meninggalkan kampung halamannya begitu banyak perubahan, utamanya dari segi pembangunan cukup pesat. Ucap syukur ke Illahi Robbi yang dipanjatkan Isnaini, walau pun hanya diucapkan di dalam hati.

Di sisi lain, di pedalaman Suoh, ramai-ramai sanak-saudara Isnaini, mempersiapkan segala keperluan untuk menyambut kedatangan Isnaini, mereka menjalankan apa yang ditulis oleh Isnalini melalui pesan singkatnya. Misiah, kakak sepupu dari Isnaini, yang begitu semangat menyiapkan penyambutan dengan tradisi Nemui-Nyimah (Penyambutan Tamu Istimewa, dalam Silaturahmi, dan Memberi) dan ada yang lebih menarik dari semua itu Misiah, mengundang anak-anak yatim-piatu sebanyak 40 orang yang sudah menggunakan seragam adat lengkap dengan selendang sulaman tapis, mereka berbaris persis di tempat yang belasan tahun lalu kaki Isnaini sempat terperosok di kubangan lumpur yang merupakan cikal-bakal sumpah itu menetas.

Persiapan penyambutan itu dirancang sesuai adat-istiadat atau budaya lokal, dan penantian lumayan panjang. Dari jauh iring-iringan Isnaini mulai nampak, serentak panitia yang menangani penyambutan itu menggelar karpet merah yang di sisi kanan-kirinya berjejer anak-anak yatim-piatu dengan seragam yang elok, pakaian khas adat lampung, dengan nampan di tangan yang berisikan bunga-bunga yang indah. Isnaini keluar dari mobilnya, melangkah di atas karpet merah dengan perasaan yang tak menentu dengan setumpuk amplop di tangannya yang ia bagikan ke seluruh anak yatim-piatu yang sedang menyambutnya dengan taburan bunga warna-warni, dengan cara melakukan Nemui-Nyimah Isnaini berharap bisa melunasi sumpah yang pernah ia ucapkan. Di tengah karpet merah terbentang permadani berukuran kecil, di situlah Isnaini melakukan sujud syukur, dan sujud pertaubatan yang diteruskan dengan membaca doa bersama yang dipimpin seorang ustadz.

Setelah ritual demi ritual itu dituntaskan. Perjalanan menuju rumah begitu mempesona, seakan beban mental yang selama belasan tahun mengitari langit ingatan Isnaini kembali cerah, kabut kabut yang menutupi ruang sepi yang selalu memicu pertikaian ketika rindu melanda atas kampung halamannya telah terbebaskan.

Sungguh suasana hati Isnaini diliputi warna-warni kebahagiaan, sulit untuk dituliskan dengan kata-kata. Dari sanak-saudara dan teman-teman sebayanya semua berbondong-bondong mendatangi kediaman Isnaini, mereka begitu antusias,  mereka mengagumi kecantikannya dan menyatakan kesalutan, angkat topi atas keteguhan prinsip yang Isnaini yakini. Namun tak sedikit celotehan dari teman-temannya yang merenggut mood Isnaini hingga redup di saat pertanyaan itu mengarah ke soal jodoh.

“Isna..., dimana pangeranmu?”

Kalimat sederhana dari seorang teman itu, meluncur, menghujam dada Isnaini, betapa tidak, selama ini Isnaini hanya larut dalam misinya sendiri dan menumpuk pundi-pundi kekayaan tidak ada celah untuk seorang pria mengajukan keberaniannya, sekedar mengajak makan malam, atau mengajak ia kencan, selama ini hubungan yang ada hanya sebatas mitra kerja dengan siapapun itu.

***
Senja yang kerap dirindukan Isnaini, kini hadir kembali bersama pesona Suoh nan asri. Ia ingin mengulang kenangan itu, ketika usia belasan tahun lalu.

“Apa yang kau rasakan ketika mengulang senja di tepi danau ini?” nada lirih dari pertanyaan Misiah, sepupu Isnaini.

“Entahlah..., aku sedang kembali ke masa lalu.”

Mereka diam, hanyut ke dalam pikiran masing-masing. Semenjak Isnaini kembali ke kampung halamannya, ia sedikit menutup diri. Isnaini yang dulu begitu periang telah menjelma sosok yang sulit dipahami teman-temannya.

“Isna..., apa lagi yang kau cari dalam hidup ini?” sedikit ragu Misiah bertanya pada sepupunya. 

“Maksudnya apa?” Isnaini menjawab dengan heran.

“Semuanya udah kau dapatkan, kecuali pendamping hidupmu Isna.”

“Aku ingin kuliah.”

“Untuk apa kuliah Isna, lebih baik cari calon suami?”

“Biar pinter, untuk mengembangkan usahaku, itu butuh ilmu.”

“O, tapi jangan terlena dong, sambil kuliah kamu cari calon suami.”

“Tapi aku butuh bantuanmu, untuk menggantikan posisiku jika aku sedang kuliah.”

“Kamu serius Isna, aku kan nggak bisa mengelola usahamu?”

“Kamu itu aneh, kan bisa belajar dan nanti aku ajarin.”

“Hmmm..., aku, terserah kamu saja Isna.”

Selama satu bulan, Isnaini menghabiskan kerinduan atas kampung halamannya, ia juga telah membeli beberapa lahan perumahan, sengaja Isnaini memilih lahan yang sangat strategis, ia memiliki rencana yang besar karena melihat potensi Wisata Suoh yang telah dijamah pembangunan. Isnaini melirik peluang usaha yang cukup menjanjikan, ia ingin membuka rumah makan dan villa atau hotel di area Wisata Suoh.

Isak tangis keluarga Isnaini mengiringi kepergiannya, tetapi tangisan itu adalah kebahagiaan karena keberangkatan Isnaini dan Misiah kali ini dengan membawa misi baru, demi mewujudkan segala rencana yang telah disusun Isnaini. Rangkaian peristiwa yang Isnaini lalui telah mengajarkan banyak hal, sejatinya hidup itu telah ditetapkan oleh sang pemilik waktu, bahwa hidup akan terus dan terus berdampingan dengan peristiwa, karena peristiwa dalam hidup adalah jiwa dari sepasang kekasih. 

SELESAI

Lampung Barat 21 Juli 2018.


Tentang Penulis:

Q Alsungkawa, lahir di Tasikmalaya dan besar di Lampung Barat. Tulisannya berupa puisi dan cerpen pernah dimuat di sejumlah media, tergabung juga dalam buku MY HOPE 2017, EMBUN EMBUN PUISI, MAZHAB RINDU, EMBUN PAGI LERENG PESAGI, ANTOLOGI LANGIT SENJA JATI GEDE (Sumedang)  dan yang terbaru EPITAF KOTA HUJAN (Temu Penyair Asia Tenggara di Padang Panjang) SENYUMAN LEMBAH IJEN (Kemah Sastra Banyuwangi) ANTOLOGI ANGGRAINIM, TUGU DAN RINDU (tugu Sastra Pematangsiantar) ANTOLOGI PUISI SOEKARNO CINTA & SASTRA. (Bengkulu) ANTOLOGI SEPASANG CAMAR dll. Saat ini aktif sebagai pengurus di Komunitas Sastra (KOMSAS SIMALABA) Lampung Barat.



Tidak ada komentar