HEADLINE

PUISI PUISI MUNADI EMBING (Peserta Belajar Menulis Simalaba Angkatan 3)


AMSAL LIAR

Di pesawahan-pesawahan
tanah-tanah adat
kincir angin berkuasa
memaksa jelata memikul:
padi, palawija, rempah-rempah
dijadikan persembahan yang sakral.

Di terungku-terungku tradisi
tergeletak cita-cita kaum hawa
terbang sejenak, lalu kembali ke sangkar
sebab mereka tahu, garis hidup hanya berada:
ditungku-tungku, asap-asap yang beterbangan,
hilang di ranjang-ranjang, budak libid0 lelaki.

Dan dunia itu tak abadi
selepas gelap terbitlah terang
cahaya keluar dari pikiran seorang Kartini
memangku adat-istiadat
mendongak pada ketidakadilan.

Dalam hatinya: jaman, perempuan mesti berubah
menyuluh, membagi nyala
tertelur di lembaran surat-suratnya
kaum perempuan mesti
memakan buku-buku
meminum tinta-tinta
tak sekadar tidur lelap di garis hidup
yang ditulis negeri yang berlayar ke tanah kita.

Kaum perempuan mesti berterimakasih
menikmati buah, yang dulu dianggap sebatas angan-angan
emansipasi, cahaya bagi gelap kaum perempuan.

Kini, Kartini telah lama mati
SK Trimurti tak lagi diamini
bablasnya sisi emansipasi
mahasiswa tak melirik lagi petani.

Arus jaman terus bergerak
penjajahan tak lagi kokang senjata
namun berwujud kosmetika
dan pengebirian norma dan etika.

Banten, 2018


MENERTAWAKAN KEHIDUPAN

Badut-badut bertingkah pongah, lucu
riasan tawa memugar isi gedung.

Di bangku penonton
sebagian orang berjingkrak. Tertawa
begitukah seharusnya kehidupan?
menertawakan cerita hidup.

Kemudian di sudut gedung
lelaki muda, memangku dagu
ekspresinya datar
angka nol tampak jelas dari tatapnya.

Sebelum riuh tepuk tangan bergemuruh, pikirannya berlari
menjerit...
lalu hidup itu sendiri menertawakannya.

Banten, 2018


JALAN KESUNYIAN

Aku telah belajar dari derap malam. Puntung-puntung meredam gejolak ambisi. Mengeram kesunyian di antara hewan-hewan malam sedang menikmati tarian dedaunan di ujung malam sepi.

Aku melihat gelap begitu tabah mendamba pijar. Pada malam di bentang antara terang dan gelap.

Kesunyian baginya adalah panggilan dari-Nya; kasih-Nya. Menenggelamkan diri dari kebisingan dunia pada lantunan kalam penuntun langkah.

Dan aku telah belajar banyak darinya. Meniadakan dalam keberadaan. Perihal menjadi sumbu di antara rotasi. Bercinta dengan desir angin, celoteh malam dan sabda alam lainnya.

Banten, 2018


MERINDUMU YANG DULU

Aku takkan berbicara basa-basi apalagi berbohong, untuk mengingkari jejak pagi yang tak riuh lagi. Sajak-sajak kita yang tak lagi selaras, lariknya kini menjadi ambigu bahkan nihilisme. Seolah memperlebar jarak antara harapan dan kenyataan.

Aku kehilangan sapa lembut senada tetesan embun di awal pagi, kala netra terbuka dan siap untuk menjiwai sengat siang. Kini aku merindui belai manis senyummu serupa warna jingga yang selalu setia menemani ketika lahirku telah selesai berjibaku dengan sang mentari.

Dan aku pun tak lagi merasakan peluk hangat, ketika dingin malam menyergap jiwaku. Tak ada lagi doa-doa tulus yang keluar dari bibir mungil itu, yang selalu menjadi penentram kalbu.

Walau kini, semua itu menghilang ditikam nyanyian keraguan pagi. Membias diterpa silap sorot tajam mentari. Memekat diatapi mendung langit sore, dan membiru dibungkam dinginnya malam. Aku ‘kan tetap merindumu sembari mencari diirmu yang dulu dengan keyakinan akan cahaya di ujung lorong pengharapan.

Banten, 2018


SEDIKIT ROMANTIS

Sayang, tinggalkan sejenak tumpukan baju kotor itu
mari kita berdansa seperti angin yang menggelayut manja
di rimbun pohon mangga
aku ingin desah kata cinta yang semalam tertelan tangis kanak tetangga.

Sayang, beri aku kalimat itu lagi
kalimat sederhana yang selalu kurindukan.

Jangan beri aku kusut wajahmu
aku telah bosan mendengar seribu janji
dunia dengan waktu adalah penipu ulung
benamkan kita ke dalam ke sia-siaan.

Sayang, mari kita sedikit romantis
Seperti nyanyian pagi menyambut hangat mentari.

Banten, 2018

Tentang penulis: Munadi Embing, lahirkan di Tangerang, Banten. Ia menyukai puisi dan aktif belajar di menulis online Simalaba.

Tidak ada komentar