HEADLINE

MENGIKHLASKANNYA_Cerpen Hasan ID (Semarak Sastra Malam Minggu)

SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU : EDISI 30

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), cerpen dan cernak (minimal 5 halaman A4) untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam. 
kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. Apabila dalam 2 bulan naskah tidak dimuat maka dipersilakan mengirimnya ke media lain.
(Bagi karya yang dimuat malam minggu diberikan honorarium sepantasnya)


Ketika Bagus terbangun di tengah tidurnya, dia tidak menemukan istrinya di sebelahnya. Malam masih gelap. Derang sebutir motor yang melesat puluhan meter di luar sana masih dapat dibedakan jelas dengan suara-suara lain. Artinya, ini masih malam senyap. Masih jauh dari subuh.

Sejak pernikahan mereka terikat, Bagus tidak terbiasa tidur sendirian. Harus ada Dinda di sampingnya. Sekalipun kini istrinya itu tengah mengandung anak mereka—seharusnya kini Dinda yang lebih membutuhkan Bagus—Bagus tak pernah berhenti merasa membutuhkan Dinda di sampingnya. Tak nyaman rasanya tidur sendirian. Segera dia menurunkan kaki ke lantai, melangkah perlahan membuka pintu, lalu menuruni anak tangga ke lantai satu.

Bagus merasa tahu ke mana Dinda pergi. Pasti bukan sekedar ke toilet mau pipis.

Rumah mereka tidak bisa disebut kecil. Ada cukup banyak ruang dan kamar dibanding jumlah penghuninya—hanya dua kepala. Di lantai bawah bagian depan ada ruang tamu dan garasi. Di belakangnya ruang tengah menyambung tanpa sekat dengan ruang makan dan dapur. Di samping ruang tengah dan ruang makan ada dua buah kamar identik yang bersebelahan. Di belakangnya lagi, bersisian dengan dapur, ada kamar mandi dan toilet. Kamar Bagus dan Dinda sendiri ada di lantai dua, cukup besar, dan punya kamar mandi dalam. Di sebelahnya ada kamar kosong yang saat ini dijadikan perpustakaan—atau sekedar ruang penyimpanan buku karena Bagus lebih suka membaca di meja kerjanya. Di atas ada pula tempat untuk biasanya Dinda mencuci dan menyetrika baju, meski tidak berada dalam ruangan khusus yang bersekat tembok.

Ketika masih menggarap sketsa, Bagus ngotot ingin memiliki kamar di lantai atas, yang akan sekalian jadi ruang kerjanya—dia penulis dan ilustrator lepas. Dia juga ngotot membangun taman kecil terbuka di sebelah kamarnya itu, yang akan dia tanami tanaman hias dan toga, dilengkapi kolam ikan dan kandang ayam serama. Taman dan kamarnya akan dihubungkan dengan jendela yang cukup lebar untuk dilompati. Lalu, meja kerjanya akan diletakkan di samping jendela itu, sedangkan tempat tidurnya bersama Dinda akan menempel pada dinding seberang. Dalam bayangannya, dengan begitu akan lengkap semua yang dia cintai berada pada satu jangkauan. Dinda, pekerjaannya, flora, fauna, dan langit cerah.

Kini dia sudah mewujudkannya. Namun, sejak Dinda hamil dia jadi waswas. Tidakkah keputusannya dulu sangat egois? Dia mulai merasa seperti anak kecil saja.

Bagus selalu khawatir memperhatikan Dinda naik-turun tangga untuk mencapai kamar. Dia mulai berharap bisa meralat keegoisannya dulu. Namun, kini malah Dinda yang bersikeras merasa tidak perlu pindah kamar gara-gara hal kecil itu.

“Ndak apa-apa. Kan Mas senang kerja di atas,” ucap Dinda setiap Bagus menyinggung hal itu.

“Biar ruang kerjaku tetap di atas. Kamar tidur kita pindah ke bawah,” Bagus menawar.

Namun Dinda tetap menolaknya. “Dua kamar di bawah kan sudah untuk Kakak dan Adik.”

Mungkin Bagus memang hanya terlalu khawatir. Kenyataannya, Dinda tidak pernah terselip kaki tiap naik-turun tangga. Adegan orang jatuh dari tangga sepertinya memang hanya sering terjadi di film-film lawas, bukan pada kenyataannya. Film-film baru pun sudah jarang menggunakan adegan serupa. Dinda pun sampai saat ini selalu bisa hati-hati. Seperti malam ini, ketika Bagus sampai di lantai bawah, dia bisa langsung mendengar samar suara senandung istrinya.

Dinda memang berada di sana.

Dua kamar bersisian di hadapannya itu, Dinda selalu menyebutnya kamar Kakak dan kamar Adik. Maksudnya dua anak mereka. Meskipun, untuk saat ini sebenarnya belum ada anak-anak di rumah mereka.

Bagus memasuki kamar yang kanan—kamar Kakak. Dinda tengah duduk di sana sambil meletakkan kepala di atas pagar boks bayi. Harusnya, itu adalah boks anak pertama mereka, kalau saja si Kakak tidak menutup mata saat kelahirannya.

Bagus meraih tubuh istrinya dari belakang, membuat istrinya terkejut hingga menghentikan senandung. Hanya sesaat. Sedetik kemudian Dinda sudah kembali bersenandung, kini sambil kepalanya menyandar ke perut suaminya.

Bagus memelorotkan tubuh, menyejajarkan rambut Dinda dengan rahangnya. Dia biarkan istrinya bersenandung sampai dia memutuskan berhenti sendiri.

“Kenapa kamu tidak tidur, Mas?” tanya Dinda dengan suara sangat perlahan setelah berhenti. Malam masih gelap dan sunyi senyap, sehingga suara kecil saja cukup untuk terdengar nyaring di telinga. Apalagi mereka hampir tidak berjarak.

“Kamu juga tidak,” sahut Bagus dengan suara kecil pula.

“Aku bangun sebentar untuk menenangkan anak-anak.”

Bagus terdiam memandang wajah istrinya dari atas. Meski gelap, kilatan mata Dinda dapat dia temukan.

“Kakak atau Adik?” tanyanya kemudian.

Dinda menenggelamkan wajah ke lapang dada suaminya. Dia tahu apa maksud pertanyaan itu. Dia memang masih enggan untuk membuang perlengkapan bayi yang dulu mereka rencanakan untuk anak pertama mereka. Bahkan ketika dia mengandung untuk kedua kali, dia memilih membeli perlengkapan baru untuk si Adik, karena barang-barang yang lama mutlak milik Kakak. Kamar Kakak pun masih tetap dipertahankan, bersisian dengan kamar Adik. Tapi, Dinda pun belum cukup gila untuk tidak memahami bahwa anak pertamanya telah tiada sejak hari kelahirannya.

“Keduanya ada di sini,” jawab Dinda sambil menjauhkan wajah dari tatapan suaminya. Kepalanya menengok ke arah boks kosong, tangannya membelai perut besarnya.

Bagus hanya bisa memeluknya dengan lebih erat. Setelah merasa cukup, pelan dia berbisik, “Ayo kembali ke kamar.”

Dinda tidak menjawab, hanya langsung berdiri mengikuti suaminya. Bagus menggandeng istrinya.

Ketika mereka menaiki tangga, Bagus kembali terngiang pada peristiwa buruk itu. Dia teringat penuturan Dokter tentang anak pertama mereka.

“Istri Bapak kelelahan, sehingga kandungannya melemah,” ucap Dokter yang menangani istrinya.

Harusnya, Dinda belum waktunya melahirkan waktu itu. Namun ketubannya pecah. Anak mereka terpaksa dipersalinkan prematur, tapi kemudian tidak bisa diselamatkan. Bagus selalu mengelak dari prasangka bahwa mungkin istrinya menjadi telalu capai karena dia meletakkan kamar mereka di atas. Harus menaiki tangga untuk sampai ke sana, dan harus menuruni tangga untuk menggapai pintu rumah. Namun sebagaimanapun Bagus berusaha membuang prasangka itu, selalu muncul kembali pikiran bahwa mungkin itulah alasannya.

Tapi Dinda lebih tahu. Bukan itu. Aktifitas kerjanyalah yang membuatnya kelelahan. Waktu itu dia masih bekerja sebagai guru SMA, ditambah mengajar bimbingan belajar pada sorenya. Dia berpikir memiliki anak pasti akan membutuhkan banyak biaya, sehingga memutuskan tidak mengambil cuti meski telah dianjurkan.

Lalu itu terjadi. Nasi telah menjadi bubur. Penyesalan selalu datang di akhir. Dia pula yang harus menanggung sakitnya kehilangan.

Belajar dari pengalaman itu, ketika Dinda tahu hamil lagi tujuh bulan yang lalu, dia segera mengurangi aktifitas. Bimbingan belajar dia tinggalkan. Memasuki kehamilan bulan keenam, dia melepas semua pekerjaan.

Pelajaran bisa dipetik. Namun penyesalan tidak dapat dihapus begitu saja. Meskipun dari luar dia tampak wajar, di dalam Dinda selalu dihantui rasa bersalah atas kepergian anak pertamanya.

“Seandainya waktu itu aku tidak egois, Kakak pasti senang sebentar lagi punya Adik,” ucapnya selalu, meski Bagus selalu mengatakan tidak mesti seperti itu.

Kepergian anak pertama mereka adalah takdir yang telah digariskan, yang harus bersama-sama mereka ikhlaskan. Dan kehamilan kedua Dinda ini, bagi Bagus adalah ganti dari kehilangan yang pernah mereka alami. Mereka hanya perlu menyiapkan diri menjadi orang tua dengan lebih baik dari sebelumnya.

Tapi yang seperti itu tidak berlaku bagi Dinda. Anak pertama adalah satu, anak kedua adalah satu yang lainnya. Kakak dan Adik itu berbeda. Tidak berlaku hukum subtitusi seperti pada penjumlahan aritmatika.

Sesampainya di kamar, mereka baring bersisian. Dinda miring ke kiri seperti yang dianjurkan untik wanita hamil. Dia memunggungi suaminya. Sedianya Bagus senang tidur menempel pada Dinda. Tapi kini dia berikan keleluasaan pada istrinya. Wanita hamil biasanya tidak nyaman tidur diam dalam satu posisi, butuh bergerak-gerak.

Mereka tidak benar-benar segera tertidur.

Bagus masih memikirkan peristiwa barusan. Malam ini bukan yang pertama dia menemukan Dinda melakukannya. Justru itu yang membuatnya khawatir. Tidakkah ini pertanda psikologis Dinda sedang terganggu? Bukan berarti dia mengganggap istrinya gila. Tapi, dia sangat tahu Dinda masih belum memaafkan dirinya sendiri. Yang paling Bagus takutkan, itu akan mengganggu kehamilannya yang sudah hampir delapan bulan. Dia takut peristiwa lama akan berulang.

“Din,” Bagus memulai pembicaraan karena tahu Dinda pun belum tertidur, 

“Mengenai kamar Kakak....”

“Aku sudah tahu,” Dinda menyela dengan sesenggukan.

Bagus baru sadar Dinda menangis. Entah. Mungkin karena hati wanita memang diciptakan rapuh, atau badan hamil Dinda yang penuh hormon membuatnya lebih emosional dari biasanya. Bagus jadi terdiam.

Dinda memindahkan posisi tidurnya, kini berhadap-hadapan dengan Bagus.

“Jangan dibuang dulu, Mas,” pintanya. “Jangan sekarang.”

“Bukan mau kubuang,” jawab Bagus. “Tika dan Mas Reno juga mau punya anak. Sepertinya mereka belum punya perlengkapan bayi. Kalau beberapa kita berikan, mungkin lebih berguna.”

“Tapi, Kakak...,” desah Dinda.

Bagus beringsut mencium rambut istrinya. Tidak wangi. Tapi dia sangat menyukainya. “Kakak...,” dia ingin mengatakan Kakak sudah tiada, tapi tidak kuasa menyakiti istrinya.

“Kakak sudah punya Adik, dia tidak butuh boks bayi dan kereta dorong lagi,” akhirnya itu yang terlontar dari mulutnya.

Dinda masih belum menjawab, hanya sejenak menghirup lengan suaminya, sebelum kemudian kembali berbalik badan, miring ke kiri, karena perutnya merasa tak nyaman. Dia kembali memunggungi suaminya.

“Kalau kamu setuju, besok aku akan bilang Mas Reno, biar dia mengambilnya,” terus Bagus.

Bagus tahu, tampaknya masih sulit bagi Dinda. Namun, sebagai suami kali ini dia harus berani bijaksana. Dia perlu membimbing Dinda untuk mengikhlaskannya.

Tamat


Tentang penulis:

Hasan ID,Penulis sekaligus guru SMA Muhammadiyah 1 Taman-Sidoarjo, aktif di komunitas Malam Puisi Sidoarjo

Tidak ada komentar