Esai Anton Suparyanta (Klaten, Jawa Tengah)_ KBBI, ELIMINASI KEPRIHATINAN BAHASA INDONESIA
/1/
“Kids jaman now,” jelas musuh lema KBBI.
Di Mojok.co Prima Sulistya kesuh. Nerocoslah gerundelan berjudul “Bikin KBBI Adalah Pekerjaan Paling Sia-Sia” (19/10). Siapa sih sampeyan? Ternyata Prima penjaga bahasa Mojok. Di Basabasi.co Edi AH Iyubenu nelangsa. Happy problems! Mbrebeslah racauan “Sejumlah Masalah Serius dalam KBBI” (11/9). Siapa sih Edi?
Sentilan Prima dan Edi yang nyinyir tentang KBBI pun PUEBI, selalu terngiang untuk setiap pelakon berbahasa Indonesia. Betapa tidak! Sebab celoteh Prima dan Edi adalah KBBI dan PUEBI itu macan ompong. Mentereng, tetapi pagar makan tanaman. Sak wudele dhewe ketika praksis berbahasa. Sampai-sampai si Edi ini menguar akan mendatangkan jagoan bahasa Ivan Lanin.
/2/
Bulan silam Riki Utomi dan Rafita Dewi, guru Bahasa Indonesia SMA di Tebingtinggi (Selatpanjang) dan Bengkalis, meracau. Dua-duanya geregetan dengan virus berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Jiwa muda dan semangat idealistis membara.
Riki khawatir (RiPos, 26/3/2017) telah terjadi ancaman. Sudah ada pengkhianatan terhadap bahasa nasional. Satu sodoran data mencolok bahwa rating tinggi untuk frasa “otw, btw, tot, to, iht, fyi” adalah akronim pengganggu. Lebih sarkartis lagi, ada kudeta (kosakata) bahasa. Seide Riki, Rafita Dewi gerah (RiPos, 27/8/2016). Rafita mempertanyakan martabat bahasa Indonesia di tengah gempuran penggunaan kosakata asing yang begitu informatif dan komunikatif. Prihatinkah?
Mereka pelaku tangguh berbahasa jika konsisten dan kontinu membenahi karut-marut berbahasa Indonesia. Tetapi menjadi pecundang berbahasa jika terseret semangat “sisipus”. Kita tunggu lentik gagasan lanjut. Seberapa garang mereka bertualang bahasa demi adab, entitas, dan identitas tegaknya bahasa Indonesia yang sah menyandang gelar Bahasa Nasional? Janganlah terbuai “sisipus berbahasa”.
/3/
Bahasa (Indonesia) menjadi cermin cara berpikir bangsa. Bahasa cermin bangsa. Warisan pikir ini menjadi konyol jika dibenturkan penggunaan bahasa Indonesia yang selalu dipagari frasa “yang baik dan yang benar”. Mengapa mereka harus mengeluh?
Keprihatinan berbahasa Indonesia yang dipaparkannya menjadi kurang bernas jika hanya mandeg sebatas paparan. Sekadar lempar handuk. Keprihatinan tersebut justru menggiring salah kaprah berbahasa. Benturkan dengan sanggahan ini: 1) tidak ada penggunaan bahasa Indonesia yang sekaligus merengkuh “yang baik dan yang benar”; 2) tidak boleh menghakimi penggunaan bahasa Indonesia yang dianggap salah di media jejaring sosial; 3) tidak perlu menggubris penggunaan bahasa gaya artis, presenter, master of ceremony, atau penyiar; 4) tidak perlu menggugat ragam bahasa iklan, baliho, atau nama-nama penyedia jasa transportasi; 5) lalu benarkah penggunaan adonan kosakata asing dalam bahasa kita akan mengacaukan gaya berbahasa dan membuat tidak jelas mental bangsa?; dan 6) bukankah setiap media tertentu sudah mamatok kebahasaannya dengan etiket selingkung?
Sanggahan tersebut menjadi sirna jika kita mau memilah dua kutub. Pertama, yang manakah dibenarkan secara lisan? Kedua, yang manakah dibakukan secara tulisan. Secara aturan, berbahasa secara lisan jelas berbeda dengan berbahasa secara tertulis. Bahasa Indonesia lisan tidak mengharuskan hukum atau kaidah kebakuan. Kelisanan justru membutuhkan unsur komunikatif. Penutur dan mitra tutur hanya memerlukan tahu sama tahu, sepaham. Lain halnya dengan keberaksaraan tertulis yang wajib ilmiah. Keilmiahan ini pun masih memerlukan aturan sistematika, hukum tata bahasa, dan gaya selingkung dunia tulis. Tentunya, ejaan bahasa Indonesia dan kosakata baku wajib dipenuhi.
Dua kutub berbahasa ini harus diartikan berbeda. Jika kita selalu memaksakan memadunya, akan selalu muncul keluhan klasik. Sesungguhnya penutur bahasa Indonesia sudah tergolong orang-orang yang peka berbahasa. Mereka sudah menyandang identitas intelek-bahasa. Tetapi gelar kepekaan berbahasa menjadi lumpuh disebabkan tiada kontinuitas praktik yang memadai. Laku lisan untuk ajang diskusi tidak dimaksimalkan berdiskusi. Diskusi digiring ke gojegan. Kapan kita bisa bertutur dengan baik? Demikian juga, ragam tulis tidak dimaksimalkan ke tulisan populer atau karya ilmiah.
Kelemahan ini memudahkan penutur menjadi beo dari sosok yang diluncurkan media massa, baik cetak maupun elektronik. Tahan berapa lama kids jaman now? Hancur sudah ekspresivitas frasa “sesuatu banget” Syahrini atau gaya main diksi Vicky Prasetyo yang heboh menjejerkan kata serapan, tetapi kontra-arti. Simak juga gaya sinetron seperti ucapan remaja: “itu hp aku” atau “ini pacar aku”. Cermati juga kebiasaan kita ketika memberdayakan sms, wa, twitter, fb, atau instagram. Bagaimanakah reaksi kita? Gaya butuh aktualisasi. Mereka perlu ajang dan wahana. Mereka memiliki era tersendiri. Hidup hanya pada periode singkat.
/4/
Cermin retak berbahasa Indonesia seperti beberapa suguhan tadi hanyalah serpih menggayakan bahasa sebatas emosionalitas temporer. Gaya tersebut hidup di dunianya dan hilang dengan sendirinya. Bukankah gejala berbahasa seperti ini ditampung dalam kajian sosiolinguistik yang mengindikasikan bahwa setiap penutur dalam setiap etnis di negara kita memiliki struktur bahasa (daerah) yang berbeda-beda? Salah besar jika kita memaksakan struktur setiap bahasa (daerah) disusupkan ke dalam satu kebakuan bahasa baru.
Pendidikan, pembelajaran, atau pengajaran bahasa Indonesia di sekolah memang bersifat formatif, berdasarkan tata bahasa, dan tidak menjadikan siswa tertarik untuk belajar dan mempraktikkannya dengan benar. Seolah-olah bahasa Indonesia stagnan, krisis, dan hilang pesona. Benarkah?
Kita harus menyadari, media memiliki selingkung. Fakta ini harus kita pupuk analisis sehingga rakitan bahasa mencerminkan cara berpikir bangsa itu terwujud. Ujung-ujungnya, tuntutan ini pas jika ditagih dengan berbahasa Indonesia yang baik dan yang benar secara ragam tulis. Biarlah menggelandang gado-gado kids jaman now itu! Eliminasilah keprihatinan berbahasa Indonesia!
*) Anton Suparyanta, esais dan editor senior di penerbit PT Intan Pariwara, Klaten, Jawa Tengah
Tentang Anton Suparyanta: Ia Alumni FIB UGM Yogyakarta. Sejak tahun 1998-2004 aktif sebagai esais pendidikan-seni-budaya-sastra di beberapa harian pagi dan menjadi dosen sastra di FKIP Universitas Widya Dharma, Klaten. Tahun 2005 hingga kini, ia aktif sebagai penyusun buku mapel Bahasa Indonesia (”kurikulum” KBK, KTSP, BSE, Kurikulum 2013) untuk jenjang SD, SMP, SMA, SMK dan menjadi staf di PT Intan Pariwara, Klaten.
Tidak ada komentar