Edisi Selasa, 26 September 2017_ Esai VITO PRASETYO (Malang, Jawa Tengah)_PENULIS DAN KESEMPURNAAN BAHASA
Tidak dapat dipungkiri bahwa seorang penulis harus betul-betul menguasai kaidah penggunaan bahasa baku yang harus sesuai dengan pedoman Ejaan Yang Disempurnakan(EYD). Terutama karena semakin banyaknya serapan kata-kata asing yang mengalami proses asimilasi atau naturalisasi dalam Bahasa Indonesia. Kita banyak menemukan kegagalan penulisan, tetapi selalu saja dapat dimaklumi mengingat proses pembelajaran program linguistik(yang berkenaan dengan bahasa) hanya didapatkan pada jenjang formal. Lalu bagaimana seorang penulis bisa mengekspresikan sebuah karya tulis atau naskah, agar bisa tersampaikan kepada pembaca secara benar dan terhindar kesalahan interpretasi(pemahaman)? Tentu ada beberapa hal yang membuat kita sulit menghindari dari kasus semacam ini.
Pada media cetak, peran editor dan kurator menjadi vital. Tetapi ini tentu bisa menjadi kendala bagi beberapa media cetak untuk meneliti secara seksama dalam proses edit dan kurasi, mengingat setiap hari puluhan hingga ratusan naskah yang masuk ke meja redaksi. Apalagi, tidak semua media cetak menyediakan tenaga untuk ini. Artinya, proses edit dikembalikan kepada penulis sebelum naskahnya dikirim ke media cetak. Tidak hanya media cetak, penerbit pun terkadang mengalami kendala yang sama. Tidak jarang kita temukan sebuah naskah yang telah diterbitkan oleh penerbit dalam bentuk buku, baik naskah ilmiah atau naskah fiksi yang susunan kalimatnya berantakan dan banyak kesalahan huruf. Bisa jadi, penerbit tidak melakukan edit atau kurasi kata dan kalimat, karena pertimbangan hak karya cipta yang harus dilindungi.
Beberapa hari yang lalu, saya membaca sebuah tulisan berupa naskah esai pada sebuah media cetak lokal. Dalam benak saya, tentu tulisan ini walaupun hanya sebuah catatan ringan, pasti sudah melalui proses edit, baik dari penulisnya maupun media cetak tersebut. Apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur! Ada banyak kata yang menjadi rancu, terutama beberapa huruf yang tidak sempurna dalam membentuk pemahaman makna kata, sehingga ketika dibaca dalam sebuah kalimat menjadi sebuah konotasi makna. Dalam bayangan saya, penulis naskah tersebut – yang notabene seorang kepala sekolah – tentu sangat didukung oleh kemampuan mereduksi kata-kata menjadi sebuah kalimat yang benar dan sempurna. Apalagi saat ini dunia pendidikan sangat ditunjang oleh perangkat teknologi yang sangat maju, yang mempunyai akses sangat luas dan cepat untuk memperoleh informasi akurat tentang bahasa.
Bagi seorang penulis, penguasaan literasi menjadi sebuah kebutuhan vital untuk meningkatkan karya-karya tulisnya. Bagaimana sebuah naskah menjadi menarik untuk dibaca dan terhindar dari kesalahan penggunaan kata ataupun typographical error(kesalahan cetak). Berbeda dengan karya-karya fiksi yang lebih berorientasi pada imajinasi pikiran penulis, sehingga bagi pembaca awam perlu pendalaman untuk memahami maksud penulis, tetapi tetap juga berlaku agar terhindar dari kesalahan cetak.
Dalam pengamatan saya, seorang penulis yang tidak ditunjang oleh kemajuan era teknologi, mungkin karena mengingat faktor usianya yang mulai tua, dan pada masanya masih ditunjang oleh peralatan manual serta tidak lagi banyak waktu untuk membaca referensi terbaru tentang perkembangan bahasa, sering merasa ragu dalam penggunaan bahasa baku yang sesuai standar EYD. Mungkin karena tidak lagi punya kesempatan dalam melakukan pengamatan mendalam untuk penggunaan kata/kalimat, minimal melakukan survei atau diskusi non-formal untuk masalah itu. Kamus Bahasa Indonesia pun yang terus menjadi rujukan para penulis atau sesuai pedoman Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI) tidak terjangkau secara bebas, karena edisi cetakannya terus up-date, dan hanya bisa terjangkau di toko-toko buku khusus hingga kadang tidak bisa dijangkau oleh pembaca yang berada di kota/daerah kecil. Ini berdampak pada faktor non-teknis misalnya kendala biaya untuk dimiliki penulis, kecuali ditunjang oleh kemampuan teknologi penulis.
Banyak hal-hal sepele dalam penggunaan kata transformasi sebuah kalimat yang menjebak penulis, hingga sering mengaburkan makna kalimat, misalnya penggunaan kata depan dan/atau kata sambung. Proses ini tidak lagi dilakukan oleh penulis dalam pendidikan formal. Proses ini lebih cenderung pada bekerja sambil belajar(learning by doing). Masalah ini juga sering terjadi pada redaktur media cetak, karena keterbatasan waktu untuk melakukan kurasi dan edit.
Pada masa silam(beberapa tahun lalu), pemerintah pernah mencanangkan program pemberantasan buta aksara untuk anak-anak usia sekolah. Seharusnya program ini terus berkesinambungan mengingat semakin banyaknya proses asimilasi kata yang bertujuan untuk memperbanyak perbendaharaan kosa kata dalam Bahasa Indonesia. Peran literasi untuk mencapai tujuan bangsa yang cerdas, sayangnya belum menjadi komoditas penting. Seharusnya program pemberantasan buta aksara bukan hanya terbatas pada usia anak didik(sekolah) tetapi juga menjangkau orang-orang berusia lanjut terutama di daerah-daerah pedalaman atau terbelakang. Kita banyak menemukan di berbagai daerah terpencil, yang setiap hari hanya bisa menggunakan bahasa lokal dan sama sekali tidak bisa berbahasa nasional. Ini tentu sangat mengurangi minat baca masyarakat, hingga tanpa sadar daerah terpencil tidak mengenal budaya nasional, karena keterbatasan dalam proses belajar membaca dalam Bahasa Indonesia.
Yang terakhir, dengan semakin majunya peran teknologi hasilnya belum berbanding lurus dengan pertumbuhan minat baca buku di kalangan generasi muda, yang lebih berorientasi pada cerita/berita bergambar(video). Mungkin karena peran buku sebagai media peningkatan wawasan sudah mulai dianggap ketinggalan zaman.
Tentang Penulis:
Vito Prasetyo, dilahirkan di Makassar (Ujung Pandang), 24 Februari 1964. Kini tinggal di Malang – Pernah kuliah di IKIP Makassar. Bergiat di penulisan sastra sejak 1983, dan peminat Budaya. Karya-karya Sastra (cerpen – puisi – esai) pernah dimuat media cetak lokal dan nasional, antara lain: Harian Media Indonesia (Jakarta) - Harian Pikiran Rakyat (Bandung) - Harian Republika (Jakarta) - Harian Suara Merdeka (Semarang) - Harian Pedoman Rakyat (Makassar) - Harian Suara Karya (Jakarta) – Harian Radar Malang (Malang) – Harian Radar Surabaya (Surabaya) - Harian Solopos (Surakarta) - Harian Sumut Pos (Medan) – Harian Lombok Post (Mataram) - Harian Duta Masyarakat (Surabaya) - Harian Malang Post (Malang) - Harian Digital Nusantaranews.co - Harian Buanakata.Com – Majalah Puisi – Harian Digital LiniKini (Jakarta) – Harian Waktu (Cianjur) – Harian Haluan (Padang) - Harian Rakyat Sultra (Kendari) – Harian Fajar (Makassar) – Mingguan Utusan Malaysia (Kualalumpur) – Harian Online Malang Voice (Malang) – Majalah SIMALABA (Versi Digital)
Buku Antologi Puisi “Jejak Kenangan” terbitan Rose Book (2015)),“Tinta Langit” terbitan Rose Book (2015) -“2 September” terbitan Rose Book (2015), “Jurnal SM II” (2015) diterbitkan Sembilan Mutiara Publishing 2016. Vito kini sedang mempersiapkan Buku Kumpulan Puisi “Biarkanlah Langit Berbicara” (2016 – 2017) & Buku Kumpulan Puisi “Sajak Kematian” (2017)
Tidak ada komentar