HIKAYAT CAHAYA DAN KAPAL TUA_Puisi Puisi Ahmad Radhitya Alam (Semarak Sastra Malam Minggu)
SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU : EDISI 21
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), cerpen dan cernak (minimal 5 halaman A4) untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam.
kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. Apabila dalam 2 bulan naskah tidak dimuat maka dipersilakan mengirimnya ke media lain.
(Bagi karya yang dimuat malam minggu diberikan honorarium sepantasnya)
HIKAYAT CAHAYA DAN KAPAL TUA
sajak yang bergulir lesap
dengan dinamika indah yang menawan
saat datang rangkaian-rangkaian butir kecil
yang olehnya terbidik suatu titik fatamorgana yang terwujud
bukankah lengkungan-lengkungan cahaya akan sangat indah?
bahkan, fakta senja pun tahu jika merah, kuning, bahkan hitam
adalah raut penggambarannya?
apakah kau benar-benar mengerti tentang irama cahaya?
lagi, dan sekali lagi kau harus mengerti
coba kita kembali ke anomali lama
yang bertabur argumen-argumen hambar
tentang para nahkoda yang membawa kapal tua kita
tentang para penumpangnya yang berbeda-beda
dan tentang satu semboyan yang menggenggam erat kita
apakah sekarang kau sudah tahu?
yang membujur dari empat ujung tombak mata angin;
adalah kita
yang mampu mengikat serpihan-serpihan bumi ini;
adalah kita
dan yang terbujuk oleh opini-opini sang nahkoda,
yang katanya "kerja, kerja, kerja!"
adalah kita
siapakah yang disalahkan kiranya?
pentingkah opinimu wahai sang nahkoda?
bahkan kau belum juga mengerti
seberapa pentingnya negeri ini
2018
SAJAK ORANG RANTAU
hidup di kota sulitlah memang
bernafas di antara rambu kemacetan
sambil menghirup udara metropolutan
impian jauh mengambang-ambang
di langit kelabu yang penuh debu
dan pekerjaan menyita harapan
telah berkoalisi dengan angan
yang bergelut dengan himpitan utang
maupun tagihan awal bulan
aku berharap menjadi kaya
dengan modal otot seadanya
tanpa sadar, tanpa curiga
telah memupuk paradoks harapan
sambil menggali jalan kehancuran
Ruang Imaji, 2017
DI LADANG
di ladang
aku menanamkan bibit pengharapan
tanah digarami
dan dikerat
dalam kasih sayang
impian-impian menjelma angan
tumbuh subur di otakku
mengharap tangkai-tangkai berjibun
memenuhi sisi dahan
pohon pengharapan ini
di tepi sungai
air dialir
dilahap oleh pohon-pohonku
dan bisikan angin
menyisakan dingin di rongga ranting
sang mentari terus berkilau
disinarnya ladangku
menyemai daun-daun asa
yang setia kepada cahaya
untuk melangitkan doa
Kasim, 26 Juli 2017
SUBSTANSI KEHILANGAN
tapak kasat mata melebur di antara daun kering bukit
senandung langkah binasa menemukan pualam di titik kulminasi
nama tak asing terukir apik
namun,
tak ada tanggal kematian
waktu lenyapnya detak jantung tak pernah diketahui
teman lamanya
tidak pernah mati
hanya hilang
jemari penuh kerutan itu merasai dinginnya kehilangan
lara serentak menginjak dada
berkali-kali menusuk tepat jantung
bahunya bergetar
tangis tak sungkan membasahi pipi
sekelebat memori tak mau padam
melahirkan keprihatinan
hanya manusia seusianya yang mengerti
rasa rindu akan sosoknya mengisi hari
betapa sakit melihat anak cucunya
tak mengenal baik
teman lamanya
yang hilang termakan zaman
tersingkir bak barang tua tak guna
tergantikan bak istri pertama
terkubur bak prasasti sejarah yang merupa kebosanan
tubuhnya merosot, bersandar batu dingin
bertuliskan; kebudayaan
2018
NOCTURNO
dia yang selalu menyapa
ketika langit telah padam,
menyulam tawa di luasnya padang bintang
olehnya disibak kabut ilalang pematang
tanpa ada amarah yang diterka
hanya senyum simpul tentang mimpi indah di angkasa
yang terlahir dari cerita masa lalu
indah tanpa kelabu sembilu
bulan merenda sisa-sisa cahya
kian tandas rona silaunya
oleh kabut huluan malam
yang diketam hingga temaram;
legam membakar
tiap sejengkal kegelapan
namun dia tetaplah kuat
walau rindu dan kenangan terus mengerat
bersama secangkir kopi hangat
yang mencoba mencipta dekap
2018
EPISODE KEGAMANGAN
Malam semakin temaram,
ketika rindu kau tanam
dan dendam kau peram.
Sedangkan amarah,
lamat-lamat mulai padam
lalu tenggelam semakin dalam
bersama biduk peraduan
di jangkar kapal kenangan.
Secangkir kopi malam ini
menemani sepi yang semakin menjadi
sebentang hati menyala tanpa ruang
membungkus tubuh sunyiku yang hilang
2018
MENGEJA SENJA
cahya mega telah merupa langit senja
menyongsong waktu menuju temaram
dan surya meghilang redam
: padam
di ujung mata, nun jauh di sana
sementara adzan telah bergema
menyeru para jamaah pergi ke mushola
guna menyongsong maghrib
di waktu yang sempit
bintang telah mudik
bersama rembulan yang menjelma asa
aku mulai mengeja senja
sambil bermandikan cahya pijar
yang mulai disumat untuk menambah warna binar
bersama para kawan
aku riuh berlarian
sambil merapal puji-pujian
menuju ladang pengharapan
tanah sajadah tempat hamba berserah
Blitar, 2017
DALAM TAHAJUD
di malam yang padam
selalu kurapal ritus doa pengharapan
dan dzikir tak pernah berhenti
pada setiap detik kesunyian
mengharap ridho dari Rabb ku
yang maha tahu
kepada angin yang selalu melangitkan doa
kutitipkan impian
menggantung di awan pengharapan
di ranah sajadah
tangan ini selalu menengadah
mengharap berkah dari sang maha pencerah
Blitar, 2017
PERTAUBATAN
kemana aku harus melangkah
menuju tanah berserah
lembah penyesalan
dari segala kenistaan
mungkinkah aku lupa arah
arah menuju jalan kebenaran
atau aku telah terjerumus dalam palung kesesatan
dengan tubuh penuh penyesalan
aku berserah pasrah
melangkah
menuju lorong pertaubatan
sambil tengadahkan tangan dan berdoa
semoga tuhan senantiasa berikan rahmatNya
menerima taubat hamba
yang telah jauh terlupa
hilang dalam kumpalan dunia yang fana
Blitar, 19 Juli 2017
AJAL
dunia terasa gelap seketika
tanpa suara dan rupa warna
ketika itu aku serasa berjalan
pada labirin kosong dimensi lain
sepertinya kulihat jalan entah kemana
dan aku berusaha lari
berlari menuju cahaya
aku menjerit seketika
ketika mendengar petir menggema
sadar di mana aku berada
berdiri pada ajal yang hampir sejengkal
mengunggu maut tiba
otakku terus saja merenungi dosa
dosa selama mengarungi dunia
yang penuh imaji dan fana
aku hanya dapat berdoa
agar selalu mendapat rahmatNya
dan ketika nafas hampir mencapai batas
mungkin kematian
takkan lama lagi
Blitar, 18 Juli 2017
Tentang Penulis :
Ahmad Radhitya Alam, santri PP Mambaul Hisan Kaweron dan siswa SMA Negeri 1 Talun. Bergiat di FLP Blitar, Teater Bara, Sanggar Mlasti, IPNU Ancab Selopuro dan menjadi delegasi Jawa Timur dalam Forum Pelajar Indonesia X 2018. Tulisannya dimuat di pelbagai antologi bersama dan beberapa media cetak serta elektronik.
Tidak ada komentar