HEADLINE

Edisi Selasa, 22 Agustus 2017_ PUISI PUISI NANANG R (Jawa Tengah)




MENUNGGU PENYAIR YANG INSYAF


Banyak di antara mereka yang lupa akan akan sebuah arti,
bahkan ada yang tak memahami apa itu penyair yang sebenarnya, yang mereka tahu adalah tentang buku yang berjudul dengan namanya dan tumpukan majalah, atau koran, yang memuat namanya menjadi semakin mentereng yang menjadikannya lupa atau bahkan telah abai dengan bibit-bibit puisi yang bertebaran, meminta arah atau sekedar siraman agar menjadi subur.

Ada dari sekian pembaca di media online atau sebuah antologi yang menikmati sebuah karya yang berjudul sedikit galau,
dan tata hurup yang sedikit kacau, namun si pembaca tetap menikmatinya hingga baris terahir sehingga hasratnya terketuk untuk menulis, bagiku ini sungguh luar biasa.

Namun terkadang hasrat hanyalah pada garis start dan selanjutnya dia urungkan untuk menulis sebab yang ia temui tak kunjung memberi solusi atau sekedar memberi bimbingan menulis walau hanya sebaris,
yang jiwanya masih lemah.

Terkesan seperti membunuh karakter,
ia, mungkin bisa seperti itu,
sebab banyak di antara mereka yang ingin namanya di kenal walau hanya dengan tulisan,
tapi sayangnya itu hanya sebuah hayalan
sebab mereka enggan berbagi dan memilih menelanya mentah-mentah.

Atau mungkin harus menunggu penyair insyaf
yang menurunkan ilmunya dengan cuma-cuma
dan dia hanya berharap tulisanya lebih di kenal dari ilmu yang ia dapat agar berguna menjadi penerus jejaknya.


ANAK ANAK KUMBANG

Lihatlah anak-anak kumbang,
bermain di air yang begitu tenang
setelah ia hinggap di kelopak mawar
untuk yang kesekian kalinya ia kembali.

Apa kau anggap mereka bayi,
ketika ia sudah berani hinggap di ujung duri
yang sesekali angin menghempaskan,
sedang ia tak jua pergi.

Ia adalah jiwa yang menanti,
setetes sari.

Surabaya, Tanjung Perak, 15 Agustus 2017.


DI ATAS ANGIN

Kau pahami aku setelah malam
menjemput, dan biji-biji yang kupuisikan,
lalu pudar di punggungnya kembali
pada rencana sebelumnya.

Kepada angin, ketika kau rencankan
tak berkesudahan guguran kalender dan masih menunggu yang tak pasti, selalu mengintip kepala hingga lupa waktu untuk memahami lembar majalah atau koran kota berbau elit.

Mungkin akan seperti di atas angin,
ketika bermimpi tanpa harus tertidur
sebab biji tualang kembali tersenyum.

Surabaya, Tanjung Perak 20 Agustus 2017.



TERBAKAR DI JALAN

Aku menyebutnya api,
ketika pagi hingga siang
kaki-kaki kecil riuh menyapu jalanan
sebelum sampai pada pangkalnya.

Wajahnya kian garang.

Aku sebut ini hanya permainan,
menelusuri lorong waktu,
sembari mengasah batin hingga runcing
yang masih di hinggapi ambigu,
wahai matahari sentak saja mereka dengan panasmu,
hingga terbakar di jalan,

Surabaya, Tanjung Perak, 12 Agustus 2017.


BILA AKU BATU

Keras jika kau lihat sekilas, aku laksana batu dan air menyelimuti
dengan hijaunya lumut.

Bila aku batu menerjang
ulu hatimu lalu melunak
maka aku bukan sembarang batu.

Tanjung Perak, Surabaya, 10 Agustus 2017.


DI BAWAH REMBULAN

Seperti separuh aku mengenalmu kemarin,
di bawah sinar rembulan
yang sebenarnya tersudut dunia maya,
dan wajahmu belum sepenuhnya aku teliti.

Ketika daun yang kau ceritakan,
dan air mengendap lalu menjadikan karat
sengaja kau kupas dengan napas yang tak bisa kau sangkal sesaknya semakin dalam.

Surabaya, Tanjung Perak, 10 Agustus 2017.


Tentang penulis:

Nanang romadi tinggal di Banjarnegara Jawa Tengah. Nanang R bergabung aktif dalam sekolah sastra ( KOMSAS SIMALABA)
salah satu karyanya dimuat dalam antologi (EMBUN PAGI LERENG PESAGI)

Tidak ada komentar