HEADLINE

Edisi Jumat, 15 September 2017_ PUISI PUISI SAHRIL S ADAM (Ternate, Maluku Utara)




HABIS  TERPAKAI  LEKAS DIBUANG

Aku lelah menatap dunia yang kian terusik
dari seribu angin yang bersarang
di antara langit kemeja dan dasi
sedangkan janji tak pernah habis menikum ke bumi.

Ya, habis terpakai lekas dibuang
seumpama sutra yang ditenun
dengan berjumlah benang
tetapi terbuang begitu saja.

Ternate, 27 Februari 2017.


TARIAN DILEMA 

Bila nafas ini mampir pada bangkumu
dan memecahkan meja pada laci pikir
haruskah aku mengeja, atau membedah dilema?
dari biji-biji kamus yang terusik hama
berdampil bersama angin selatan
pada lembar puisi dengan bahasa nadi yang telah kupukat.

Sebab-

diammu adalah kamar pribadi
dan cucuran usaha kemarin telah usang
maka lekas-

tutup pintu dan jendela yang mengaga itu
sebab angin telah menggema jadi megah
dari ilalang yang seraya merapatkan barisan.

Ternate, 5 Juni 2017.


LEMBAR  LAMA

Kenapa? lembar lama kembali melarut dalam ingatan
saat seribu kertas mulai terukir tinta kenangan
menumbuhkan benalu berduri
sekali-kali mencekam batin.

Namun di ruang ini
ada yang piawai memainkan angin lalu
menembus celah jendela  
seketika menampar sekejab menghilang
tinggalkan perih yang tampak memar
hingga kini olesan tinta
telah disandra dalam jeruji kata tak bermakna.

Namun-

tak kusikapi dengan kata-kata
selain setengah senyum keheranan  
sebab kulasan tinta abadi
telah mengarungi baris-baris syair
beserta puisi yang mendantangkan klimaks.

Ternate, 08 Mei 2017.
  
                                                                                                       
IRAMA GADUH 

Ketika aura malam perlahan hanyut dalam mata
kain hangat dan bantal berotasi pada dimensi
mimpi—

lantas nyenyak yang didapat
ternyata irama gaduh memantul keras
dari sumber keonaran
makin mengoyak tiang tiang pendengaran.

Roh apa yang menghasud kalian di sana?
serupa serigala lapar yang mengongong
sepanjang purnama hingga lelah saat surya menerkam mata.

Ternate, 23 April 2017.


TELAGA  AIR  MATA  MAWAR

Hentikanlah sayang
laut di lekuk sudut matamu
biar kudayungkan harapanmu ke pulau-pulau.

Hanya kau mawar mekar
subur dari telaga air mata
maka simpan dalam dalam selagi ada
karena aku, masih serupa ilalang
fatamorgana
dari ganasnya padang sahara.

Ternate, 11 Mei 2017.



PELAYARAN TERAKHIR

Dalam penghujung kepasraan
perahu nan jauh hanya menyisakan seruan ego
dari buih-buih kesombongan
yang sengaja ditinggal kenang.

Akan berlabuhkah engkau yang merekrut karib selepas jangkar?
sementara sesal terbangun  serentak
lalu tenggelam dalam puisi
seraya menghapus kata gegabah
dan menulliskan permohon
di setiap baris dengan sedikit olesan bahasa nadi
agar esok gelombang tak berkecamuk.

Imbas nelayan riang memainkan kailnya
namur, umur ini terlilit
raga yang bersemedi pada tembok mercusuar tua  .

Dan-
apabila maafku sampai di ujung megah nanti
tak kubiarkan satu perahu rapuh
atau tak terjamak jadi buah bibir turis luar.

Ternate, 25 Mei 2017.


PIPIT PIPIT PEMIMPI 

Adalah yang ingin hidup sejahtera
makan tak susah tidur pun tak sengsara
adalah kami burung pipit penanti kebebasan
bentang kelepak mengarungi payung bumi
sampai-sampai bunga pun sungkem untuk nektranya.

Amboi-
tapi anak angin mengugurkan
ratusan ras kaumku
terpenjara  di bawah jeruji ini.

Harap menuai pembebasan
sebab yang lain mati konyol
pula pengap siksa menahan
pasrah dan berserah pada-Mu
ya, Robb  derita kami dalam kronis.



SEGENGGAM RINDU

Di sini, aku hanya mendapati
sepotong tawamu
tercipta dari tangan para seniman
jadi pajangan, menghiasi setiap dinding.

Ingin sekali-kali kutitip rindu
di belahan kekata yang terbang bersama layangan
tetapi sirna dimakan angin
berembus dari langit tak berpenghuni
hingga berulangkali rasa ini terseret ke awan mimpi
bersama sang surya yang berlibur di ufuk timur.

Padahal,ya, padahal
aura rindu selalu bertandang
di hulu dada
sambil memohon pada Sang Pencipta
di bawah rintihan air mata penuh pengharapan.

Ternate, 24 November 2016.


AKU BICARA PADA NEGERIKU

Di pagi sedu ini
bersama langit yang mendung
aku bicara pada negeriku
tentang suara yang kandas
dan hari yang tak pernah siang.

Duhai negeriku
apakah nahkoda kapal terlampau linglung dikepung ombak?
dan bimbang mengurus penumpang
jika benar begitu maka tidurlah yang nyeyak
jika tidak gentarkan suaramu dengan
taring-taringmu yang panjang.

Oh.... negeriku bersuaralah yang lantang
jika memang  ini yang tidak  kau inginkan
jika memang mengancam bangsamu sendiri
jangan biarkan bangsa ini, membudak di negri sendiri.

Bimbing negerimu ke jalan kebenaran
tarik kencang busur perubahan negeri ini
kemudian lepaskan ke arah yang tepat
anak panah itu akan mewakili jeritan, tangisan
dari bangsamu yang melarat  dan tertindas
dari manifesto bangsa rakus akan
jabatan dan kekuasaan negrimu.

Ternate, 28 Okttober 2016.






Tentang Penulis:



Sahril S. Adam lahir di Labuha Kab. Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara pada 25 Agustus 1998. Kini ia berstatus sebagai mahasiswa (semester III) Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP-UNKHAIR. Selain sebagai mahasiswa, ia juga tergabung di Komunitas Parlamen Jalanan Maluku Utara. Salah satu puisinya pernah terbit di Majalah Simalaba Edisi Pertama (2017).

Tidak ada komentar