HEADLINE

Edisi Jumat, 15 September 2017_ PUISI PUISI MAULIDAN RAHMAN SIREGAR (Sumatera Barat)


YANG MAHAL ADALAH WAKTU

aku memilih menikahi waktu
sebab buku-buku dan pengarang yang
diam di dalamnya, sepi
belaka, kala waktu tak kunjung dipeluk
tak sua di mata

2016



SAJAK PENJUAL

Orang-orang tak mau membeli waktu.
Mereka numpang mengisi batrai, dan pulang kalau sudah diingatkan.
Padahal, lampu sudah dimatikan dan, kursi sudah kubanting.
Demi menonton bola. Mereka menahan kantukku.
Dia pikir, dia akan jadi sesuatu yang bakal jadi kenangan?
Kota-kota memang sudah penuh dengan orang-orang!

Pariaman, April, 2017



RINDU

Hantu apa yang kau kirim ke
tubuhku. Hingga tiada hari
tanpa menyebut namamu.

21 Mei 2017


HESTI MASUK KORAN

seorang sastrawan mengantuk
dan bicara dalam tidurnya
katanya, kata-kata akan
mendapat tempat!

2017/2/13


KULIAH

Bapaknya mati saat dia diwisuda.
Dia tetap pergi wisuda.
Dikecupnya kening bapak sebelum pamit
Dibelinya boneka biar makin kuat

Mei, 2017


ORANG MISKIN TERAKHIR

Orang miskin terakhir di muka
bumi berkata padaku, katanya,
“kalau nanti kaya, jangan
lupa bercermin. Sebab, tanpa
baju dan celana. Kita sama belaka.”

13 Mei 2017



INDONESIA SEKALI

Indonesia sekali puisi ini
tak dikasihnya tampat bagi yang buruk.
semua tunduk, dan harus benar patuh

2014


HUJAN

saat kata-kata mendapat tempat
semua dibikinnya bungkam
burung hantu yang tersesat siang hari,
serta anak tuyul masa kini,
terserang penyakit “rela melepaskan”
rasa sakit dari kehidupan.
Semua bersembunyi dalam hujan
ada yang menangis
ada pula yang kencang tertawa.

2015


BERTARUH

siapa yang berani bertaruh,
aku Jerman, 500 juta
bila kau tak ada uang,
“kau boleh jual itu istri, anak gadis, dan tanah.”
 kau menang, kau ambil itu 500 juta.

Pariaman, 2014


HIDUP DALAM PUISI

hidup tak pernah seenak tokoh cernak
maka aku lari ke puisi, sembunyi
dari balik angkuhnya kata-kata
asyik, tak dicari
aku tak kembali

Maret, 2017


BACA

Seseorang dari zaman dahulu
yang, kebetulan adalah seorang
penyair. Berkata padaku,
“Hayati...belahlah itu semangka
biar kau kecap manisnya.
Tak ada yang lebih asyik dari
membaca. Biar bisa kau pangkas
dunia.”

2017


KEPADA IBU /2/

Sajak celana kepada ibu
Semoga tak bosan mencuci
sebab ayah kadang lupa
Soekarno-Hatta di bajunya

ODOP, 2016


AKU NAIK MOTOR

Aku naik motor
menuju hatimu
meski jalan-jalan
berlubang, tak
diperbaiki pemerintah

2017


BILA TIBA MASANYA

bila tiba masanya, kejayaan
dan kekuasaan yang meninggi gedung.
akan dipijak perut bumi, tenggelam
bersama jeritan luka yang akan
tiba di masa datang, menjadi mimpi buruk
semesta. Isi bumi kemudian berharap tabah melupakan.
masanya, tentu nanti. bisa di bumi, bisa di kehidupan setelah bumi.

Pariaman, 2014





Tentang Penulis

*Maulidan Rahman Siregar, lahir di Padang, 03 Februari 1991. Peraih Simalaba Awards 2017. Maulidan Rahman Siregar alumni Fakultas Tarbiyah, IAIN Imam Bonjol, Padang. Puisi-puisinya pernah diterbitkan Sumut Pos, Republika, Padang Ekspres, Singgalang, Haluan, Radar Surabaya, Radar Bojonegoro, Tanjungpinang Pos, Rakyat Sumbar, Koran Pantura, Lombok Post, Metro Riau, DinamikaNews, Duta Masyarakat, Mata Banua, Majalah Puisi, Majalah Tubuh Jendela, Buletin Jejak, Majalah Simalaba, Majalah Lokomoteks, dan beberapa media elektronik. Puisi-puisinya juga dimuat dalam beberapa antologi bersama.

Ia pernah diundang dalam beberapa pertemuan penyair seperti, Tifa Nusantara 3, dan Perayaan Ulang Tahun Parmusi, 2016 silam .Juga mengikuti festival baca puisi Petang Kubu Gadang di Padangpanjang, dan Semarak Puisi di Parabek, Bukittinggi. Saat ini bergiat di Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia, dan mengelola sebuah majalah bulanan “Majalah Puisi”. Mengarsipkan karya sastra yang dimuat di berbagai surat kabar di Indonesia pada blog pribadinya: titikrinai.wordpress.com
Selain menulis, juga bekerja sebagai tenaga pendidik di SMK Penerbangan Nusantara Ketaping, Kab.Padangpariaman, Sumatra Barat. Maulidan tinggal di Jln. Penerbangan no.7 Ketaping Selatan, Kecamatan Batang Anai, Kab.Padang Pariaman.

Tidak ada komentar