HEADLINE

(Edisi hari ini_Rabu, 09 Agustus 2017)_ Cerpen Muhammad Rifki_PEMBENCI AIR MATA


***

Di kota ini semua orang tau, airmata adalah menjijikan. Jika ada yang menangis maka dia harus diakhiri. Penjara setiap hari dipenuhi oleh orang-orang sepi. Di kota ini, sepi dilarang. Menangis maka berarti harus disingkirkan. Semua memusuhi airmata, bahkan bayi yang baru lahirpun hanya boleh menangis se-jam. Tak lebih dan tak kurang. Pemerintah selalu berusaha agar orang-orang di kota harus bahagia setiap hari. Di jalan-jalan, mall, rumah sakit, taman bermain, yel-yel bahagia terus diteriakkan. Tak ada hari kesedihan, apalagi patah hati. Di sekolah- sekolah, anak-anak diajari untuk wajib tertawa setiap sehabis pergantian pak. Entah apa maksudnya, tapi itu agar menunjukkan betapa cerianya anak-anak di sekolah. Tak hanya itu, para guru harus punya sertivikasi bisa melawak. 

Memang aneh, tapi beginilah kotaku. Airmata dilarang. Menangis dilarang. Sepi dilarang. 

Malam ini, orang tua yang dianggap gila itu masih memilih duduk sambil menekuk kedua lututnya. Ia tinggal di tempat sampah. Bernyayi nyanyian sedih. Lagu kesedihan yang acapkali ia senandungkan dan menyayat hati untuk didengar. Orang-orang menyebutnya si Pecandu Airmata. Semua orang di kotaku menjauhinya. Seperti seorang ter*r*s, setiap kali ada yang melihatnya, ia dilud*hi. Setiap itu pula ia merasa senang dan semakin menikmati tangisan. 

Dulu, aku pernah menemuinya sepulang sekolah. Dia menatapku yang perlahan mendekat canggung dan tersenyum. Namun senyuman dibalas sampah. Lalu ia cium bau tubuhku dari kaki sampai kepala. Setelah puas ia lalu berteriak nyaring dengan jeritan. Aku semakin takut dan ingin berlari dari sana secepatnya. Namun lelaki tua itu sigap menangkap tanganku. Tatapannya menancap tajam, diputar-putarnya bola mata sampai akhirnya ia tersenyum. 

“Aku ingin kau tetap di sini,” katanya sambil menuntunku untuk duduk.

“Aku sudah lama tak berbicara, di sini orang-orang sudah gila,” ucapnya yang membuat dahiku mengerut. Gila? 

“Kapan terakhir kali kau menangis?”

Entahlah, mungkin tak pernah. Yang kuingat, itu saat masih bayi. Namun itu urung kukatakan padanya dan lebih memilih untuk menggeleng menanggapinya.

“Kupikir semua orang di kota ini sudah gila. Orang-orang makin lama makin bodoh. Setiap hari hanya tertawa dan tertawa, apa tertawa itu membuatmu bahagia?”

Aku bingung menyahut dan sekali lagi memilih diam, orang ini benar-benar tak waras.

“Apa kalian tak bosan setiap hari tertawa? Apa menangis itu salah. Meski semua orang akan membenciku. Meski para petugas pemerintahan akan mengurungku karena airmata aku tak peduli. Hidup perlu airmata. Lama kelamaan kalian akan benar-benar gila. Tawa kalian akan jadi musuh. Ada saatnya, kapan berhak untuk tertawa. Kapan berhak untuk sedih dan bahagia. Mungkin kau takkan mengerti maksudku, tapi suatu saat kau akan sadar tentang ini.”

Kami lalu terdiam. Aku perlahan merenungi maksud orang ini yang masih tak begitu kumengerti. Hingga akhirnya ia pun mengusirku dan berteriak tak terkendali. Aku kaget dan langsung pergi berlari.

Lelaki itu ternyata benar-benar tak waras.

***

Perlahan, terasa ada yang merenggut kesenangan dari kota ini. Tawa-tawa semakin hari berkurang. Orang-orang mulai lesu bahkan sekedar menyeringai senyum. Lawak-lawak pun semakin hambar karena setiap hari kejadian dan lawakan diputar berulang dan mulai menemukan titik jenuh. Begitu terasa rongga kosong untuk bahagia. Semua orang justru memlih diam dan menjadi pembisik. Saling sindir. Dan ini justru melahirkan kesenangan baru. Ya, yang satu memaki, yang satu lagi membalas. Saling membully. Itu yang kini mewabah di kotaku dan menjadi suatu menyenangkan. Tua, muda, remaja, anak-anak mereka saling membully. Kesenangan tawa yang sempat kasat berhenti pun langsung mengalir. Tawa pecah di mana-mana. Namun tawa ini berbeda dengan tawa yang dulu kota ini miliki, tawa ini adalah tawa yang melahirkan kebencian hingga akhirnya menetas-netaskan permusuhan di mana-mana.

Keadaan kian parah setiap hari, kebahagian telah terganti dengan maki. Para pelawak pun seperti kehabisan materi, mereka saling hina dan caci satu sama lain. Menertawakan kebodohan satu sama lain. Dan orang-orang justru tertawa. Di sekolah, guru membully murid yang terlambat. Murid-murid saling bully, pecundang atau dipercundangi. Setiap hari, kota ini seperti punya wajah baru. Wajah-wajah pembenci dan saling curiga serta mengintai di mana-mana. 

Pagi ini, baru saja kulihat seorang ayah sedang mencurigai anaknya yang baru berangkat sekolah, matanya penuh selidik. Karena orang tua itu tau, kemarin hari anaknya menertawakannya sebagai ayah yang pelupa dihadapan teman-teman sekolahnya. 

Berita terakhir yang kubaca di media sosial, keadaan di kantor pemerintahan pun saling tuduh menuduh. Media-media kian jam ramai memberitakan berbagai menteri dengan kabar-kabar jelek tak mengenakkan. Saling menyudutkan.

Ini, membuatku takut keluar rumah.

***

Aku teringat dengan lelaki tua di tempat sampah itu. Dan tampaknya aku mulai memahami maksudnya dulu, ia atau orang-orang di kota ini yang gila. Malam ini juga, aku ingin menemuinya. Aku ingin belajar menangis. 

“Ki, mau ke mana kamu?”

Sebenarnya aku malas mengatakan pada ayah untuk keluar menemuinya, tapi tatapannya memaksaku mengatakanya. 

Lalu, ia justru menertawakanku. Heh!

Malam oh  malam, cepatlah tua. Aku ingin menyingkirkan orang tuaku dalam kesunyian.
Segera!

Anjir, 27 Juli 2017

Tentang Penulis: Muhammad Rifki, lahir di Anjir Pasar, 13 Agustus 1998, tinggal di Desa Anjir Pasar Lama Km. 16 Kab. Batola, Kalimantan Selatan. Untuk mengenalnya bisa melalui akun fb Rifki M

Tidak ada komentar