ROMANSA DI UJUNG SENJA_Puisi Puisi Riepe (Sastra Harian)
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 5 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi majalah Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu) kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SASTRA SETIAP HARI.
(Belum berhonor)
Rembulan redup di sorot matamu. Awan kelabu berarak di
langit-langit hati. Dan hujan ini menghantar seraut wajah
beku, menggoreskan sebuah romantika; aku dan kamu.
Di jalan itu kau mengayun sendiri. Dalam keramaian memotong
tawa, menunduk lesu, terseok lelah, mengunci bibir hingga kelu.
Kaubaca lagi sepenggal cerita tentang luka, kau balut dengan
perca-perca dari serpihan hati yang tersisa. Kaujalin dengan
kasih, dan kaubingkai menjadi nostalgia.
Hidup hanyalah tentang melupakan, atau dilupakan, katamu.
Bagaimana beribu mimpi hanya menjelma sepi pada
akhirnya. Dan takkan ada yang peduli. Tidak juga aku, yang pernah
menjadi kejora cemerlang di kerlip malammu.
Hidup juga tak lebih dari sekedar datang dan pergi; menerima
atau justru ditinggalkan.
Tak ada yang tetap utuh, kauyakin. Bahkan pelangi pun
memudar jika terang tlah meraja. Warna-warni pecah terberai,
dalam spektrum-spektrum kecil monokromatik.
Bagaimana dengan kita?
Pada senja yang membias di batas rindu. Kutemukan kepasrahan;
biarlah semua tapak-tapak yang mengilas, tersusun rapi
dalam jalinan sebuah romansa.
(Pangandaran, 2018)
Semburat kuning menyesak sejauh hamparan netramu
meresap damai pada sepenggal napas yang pedih. Batang-
batang padi bergoyang mengucap selamat pagi, senyum
burung pipit hinggap pada tangkainya merunduk. Bulir-
bulir padat berisi penuh syukur, atas karunia tercurah pada
tetes-tetes embun. Menempel di daun-daunnya menua, lalu
hilang tersapu angin. Hangat mentari membalut jiwa yang
dingin. Karena beku, digenangi air mata menghujan
sepanjang musim.
Kau sebar sabar untuk merabuk; menumbuh bibit-bibit harap
dan menyubur mimpi-mimpi masa depan. Pada setiap rumpun-
rumpunnya menghijau, kau gantungkan setinggi angan-angan
sejumput asa yang terus kau genggam. Penopang untuk langkah
ringkih, tersaruk perih, tertatih meniti tangga kehidupan.
Dengan ketam ikhlas, kau panen segala resah. Mengani-ani
gundah sepenuh pasrah. Lalu berserah atas segala kesah. Butir-
butir bernas pelepas lelah, menghibur hati-hati rebah pada
malam-malam basah, oleh doa-doa memerah. Di sawahmu
kau sunting sang dewi, untuk memangku genuk-genuk agar
tetap berkilau menghias jutaan hari.
(Pangandaran, 2018)
PILKADA MENJELANG
Riuh-gemuruh. Suara gaduh melenguh, serupa langit hendak
runtuh. Genderang ditabuh, kapal-kapal berlabuh, pertanda
perang segera jatuh; kepala-kepala sibuk bertaruh.
Opini – asumsi – spekulasi – persuasi – intervensi – provokasi –
invasi – aksi – reaksi
silih berganti; menghujam hari ke hari
Segala ruang berubah menjadi kalang, pertarungan yang kian
garang
Bersolek dengan citra, jumawa dengan propaganda. Tak peduli
merobek norma, atau berkhianat pada fakta-fakta
Merebut satu tujuan: Kursi kekuasaan!
(Pangandaran 2018)
BERJUMPA KAWAN LAMA
Hai! Berapa lama kita tak jumpa, Kawan?
Satu dasawarsa? Atau empat belas purnama, seperti kisah
Cinta dan Rangga?
Ternyata waktu telah menua, menggerogoti puing-puing
kenangan yang tersisa di benteng terakhir nostalgia: tempat
kita menyimpan segala bentuk peninggalan, yang terbingkai
dari jejak-jejak masa.
Matamu digenangi senja. Banyak cerita menguap
dari ubun-ubun, mengurai liku perih matahari kala gelap
ditutup gerhana. Hatimu kelabu, disesaki gundah terbakar
menjadi abu. Sayatan dalam memanjang di setiap sisi perasaan
mengiris luka, pada setiap tetesan . Namun, kau teguh
menaruh bulan di atas kepala.
Bibirku lesak bersama bintang yang mulai layu. Tak
dapat lagi kutanam bunga-bunga mekar di atas dagu. Semua
luruh sebelum kuncup menjadi kembang. Lalu gugur, disapu
angin pedih-pilu, sekuat badai dan topan.
Kuingin menyelam di kedalaman kalbumu, Kawan. Menyulam
kain jiwamu yang robek, dan merajut benang-benang mimpimu
yang koyak. Lalu, membiaskan kembali warna-warna pelangi
memendar di bening sinar wajahmu.
(Pangandaran, 2018)
BALADA PANGGUNG
Panggung retak berderak-berderak, melakonkan kisah-kisah
murahan, menggelitik kewarasan. Satu persil dalam hidup
menyeruak, sengaja ditaburi toping terasa lebih gurih.
Air mata hanyalah rintik hujan yang ‘kan lenyap kala mentari
kembali tersenyum. Menyerap segala basah, menghapus jejak
mendung menghitam.
Konyol! Menganggap peranmu sebuah lelucon, yang pantas
ditertawai, meski sekedar hiburan usang. Sepenting itukah
harga sebuah pengakuan?
Tak usah memotong lidah. Kau hanya perlu membangun
bendungan, agar air-air busukmu tertahan, tak membanjir di
hati dan pikiranmu.
(Pangandaran, 2018)
TAK INGIN MENJADI TUA
Waktu menjerit di lorong-lorongnya yang gelap. Memanggil
setiap detik yang berdetak beranjak mendekat. Sedangkan titik
akhir adalah pasti, sebuah batas tak terlewati; di sana, takkan
ada penolakan.
Masa mengalir menuju muara, di garis pemisah antara
napas dan hela. Pantai dan laut slalu dituju, dan sungai
adalah alur yang harus ditempuh; berkelok, dalam, beriak, atau
tenang hanyalah sudut pandang.
Dan, larik-larik puisi mengantarku hingga usai
perjalanan. Menyelimuti segala resah pada setiap mimpi terlintasi
meski kaki seperih luka, tak beralas menjejak bara; melepuh,
serupa tekad yang runtuh, saat bertemu garis-garis lengkung di
dalam cermin, tergambar di atas kening.
Ia telah menggilas segalanya. Merombak susunan materi
dalam sistem alphabet, menjadi absurd. Lalu samar, lalu retak,
dan lalu pecah. Berganti keriput tak bisa lagi bersembunyi. Tapi,
tak bisa ditahan! Bilangan hari terus saja berganti!
(Pangandaran, 2018)
SEEKOR MACAN DI KANDANG KAMBING
Bukan mengaum buas, tapi mengembik tak bernyali!
Sebilah cermin lalu dipukulnya hingga lebur tak berujud
Kata-kata menggugat semesta. Bagaimana hujan tercurah
dari langit cerah?
Bayangannya adalah hantu. Merajam perih di poros jiwa
Bagaimana bisa berbeda?
Hanya pilu mengendap di dasar hati
“Pergilah ke dunia luas! Arungi setiap lekukannya! Temui
burung-burung yang terbang, juga ikan-ikan yang berenang!”
Seekor kancil tua itu berdiri di kejauhan. “Temukanlah jati
dirimu!”
Di sebuah sudut gelap, seekor tikus berjingkrak terbahak,
melihat macan berbaju kambing.
(Pangandaran, 2018)
Tentang Penulis :
Riepe. Lahir pada 30 Oktober. Mengaku telah menyukai dunia menulis sejak SMA, tapi selalu kesulitan membuat paragraf pertama. Novel pertamanya berjudul ‘Rumah Sharing’ (Nuansa Aulia, 2008). Beberapa cerpennya pernah dimuat di media, dan menjadi headline di Kompasiana. Puisi-puisinya bisa ditemukan di takanta.id, buanakata, nusantaranews.co, halaman tinta kita, juga tergabung dalam antologi: Anggrainim, Tugu dan Rindu (Kumpulan Puisi Pematangsiantar Penyair Nusantara 2018), Senyuman lembah Ijen (2018), Metafora dari Rahim Batu (2018). Tinggal di Pangandaran. Aktif di COMPETER Bandung.
Tidak ada komentar