HEADLINE

SASTRA, PENULIS DAN LOMPATAN PERUBAHAN | Esai Muhamad Muckhlisin |

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 4 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi media Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu) kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.comBeri subjek SASTRA SETIAP HARI. Program ini juga memberi ruang bagi sahabat pemula dalam dunia sastra agar tetap semangat berkarya (Belum berhonor) Redaksi berhak menyunting naskah yang masuk tanpa mengurangi maksud dan isi dari tulisan


Saat ini banyak alternatif baru sebagai pintu masuk untuk mengakrabi kesusastraan Indonesia. Bila kita datang ke negeri manapun, sama juga persoalan yang kita hadapi. Apalagi jika negeri itu pernah dilanda kekuasaan totaliter seperti Orde Baru, mau tidak mau mereka bergerilya mencari alternatif pengarang baru yang secara struktural tidak terkontaminasi oleh limbah kekuasaan masa lalu. Termasuk pengarang bentukan mereka yang kontra dengan penulis muda yang dianggap sebagai ancaman, karena mereka dibayang-bayangi oleh karya pesanan penguasa yang sudah di ambang kepunahan.

Kadang, melalui pertemanan juga ada baiknya, dan insting ini biasanya dimiliki oleh penulis-penulis baru yang memiliki jiwa wirausaha (writerpreneurship). Tetapi, hal ini mengandung risiko yang serius bagi para penulis lama yang menganggap dirinya telah mapan dan berkedudukan. Apalagi jika negeri itu sangat miskin dari apresiasi sastra, lantas para sastrawannya adem-tentrem-kromo, tak punya strategi apapun untuk menarik perhatian publik agar mengulas karya-karyanya.

Padahal di negeri-negeri Eropa, para penulis dan jurnalis rajin memperkenalkan karya-karya sastra terbaru, berinisiatif menampilkan dalam kolom-kolom harian, majalah maupun jurnal, hingga perkembangan sastra diikuti masyarakat secara luas. Mereka bukan saja membahas, menanggapi hingga menulis kritik, tetapi juga mencatat pencapaian-pencapaian yang dihasilkan dari kreativitas penulis-penulis muda. Dengan beragam perangkat kemajuan teknologi, mudah sekali kita membangun kekuatan jaringan, serta merekomendasikan nama-nama terbaru yang akan kita perkenalkan kepada publik pembaca ke seluruh dunia.

Situasi ini tak mungkin kita hindari. Akibat dari kemajuan transformasi global yang saling bersinambung antara satu dengan yang lainnya. Sebagian seniman kita boleh-boleh saja merasa jengkel, bahkan marah-marah gak puguh, tapi orang-orang di luar sana hanya akan menganggap kita anjing menggonggong. Sedangkan mereka sebagai kafilah tetap melangkah maju, mempercepat langkah, hingga menempuh capaian-capaian terbaru yang tak mungkin Anda bayangkan.

Di negeri ini, kita mengenal beberapa buku tentang tips-tips menulis yang baik. Tetapi, bila kita membaca literatur dalam bahasa Inggris, ribuan kiat dan teknik-teknik penulisan dapat dipilih sesuai selera dan gaya bahasa yang Anda inginkan. Meski pada prinsipnya, kedalaman makna tentang hakikat manusia yang terungkap dalam tulisan, itulah yang membuat karya sastra dinilai abadi. Jadi, tak lepas dari pemikiran yang bernuansa filosofis dan religius. Karena para filosof adalah eksplorator ulung yang jenius mengarungi dan menambang kepribadian manusia secara universal. Bahkan, para nabi mendapat lisensi religiositas dari Tuhan yang membuat karya mereka tak lekang oleh waktu dan zaman.

Saya merasakan bahwa sastrawan dan seniman kita seakan tergopoh-gopoh memasuki kualitas wacana yang lebih universal tentang ulasan karya sastra. Secara implisit ada seniman menyatakan, bahwa penyebab utamanya adalah pesatnya teknologi informasi. Loncatan budaya Indonesia dari masyarakat agraris, bahkan belum juga tegak menjadi masyarakat literer melalui tradisi membaca cetakan (koran, majalah maupun buku) tiba-tiba kita dihantam badai prahara, memasuki era revolusi digital yang seakan memaksakan. Bahkan, kita pun ditantang untuk membaca perasaan dan pikiran kita sendiri, yang membuat banyak pihak kebakaran jenggot seakan belum siap menghadapi kenyataan terungkapnya hakikat dan identitas keindonesiaan.

Bagaimana mungkin pikiran kita disingkap, dan perasaan kita dikorek-korek oleh novel Perasaan Orang Banten (POB), meskipun pada prinsipnya di situlah letak kedewasaan karya sastra, agar pembaca membaca diri, berkaca-diri, kalau perlu menertawakan dirinya sendiri.

Melirik dari karakteristik penulisnya, novel POB memang terasa kalem dan tenang dalam menyikapi perubahan. Tidak arogan dan temperamental, juga sangat jauh dari tuduhan sebagai sastra pendengki dan pendendam. Karena itu, penulisnya cukup cakap menampilkan teknik menulis, menggambarkan wajah politik Indonesia dengan jenaka, polos dan lugu. Tidak terkesan memprovokasi para penulis muda agar terbenam dalam kepedihan dan penderitaan hidup.

Tapi terlepas dari banyaknya buku tentang teknik dan tips-tips menulis, atau bahkan berbagai training tentang penulisan sastra dan artikel, sekali lagi saya nyatakan bahwa memang ada rumus-rumus yang hanya dikuasai oleh penulis yang baik, orang-orang tertentu yang karyanya akan terus dibaca dan dikenang sepanjang masa. Jadi, bukan perkara produktif atau tidak. Juga bukan soal puluhan atau ratusan buku yang telah digarap seorang penulis. Karena pembaca yang baik dan jenius, senantiasa akan terkoneksi pikirannya dengan kualitas bacaan yang baik pula.

Terkait dengan ini, saya terkenang dengan ungkapan filosofis yang tertuang dalam cover novel Perasaan Orang Banten: “Karya yang ditulis berdasarkan hati, hanya akan dapat dinikmati oleh pembaca yang membuka mata hatinya.” 

Tentang Penulis:
Muhamad Muckhlisin adalah esais dan kritikus sastra, pemenang pertama lomba cerpen tingkat nasional (2017)

Tidak ada komentar