HEADLINE

SASTRA BUKAN PROPAGANDA POLITIK | Esai Muhamad Muckhlisin|

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 4 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi media Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu) kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.comBeri subjek SASTRA SETIAP HARI. Program ini juga memberi ruang bagi sahabat pemula dalam dunia sastra agar tetap semangat berkarya (Belum berhonor) Redaksi berhak menyunting naskah yang masuk tanpa mengurangi maksud dan isi dari tulisan.


Orang tua yang kurang berpendidikan, biasanya akan mudah mencari jalan pintas dalam pola mendidik anak-anaknya. Bagaimana agar anak menjadi penurut, patuh, taat, karenanya seorang anak harus bisa dipengaruhi. Agar sang anak menjadi terpengaruh, maka jalan terbaik – bagi yang tak berpendidikan – adalah bagaimana agar anak bisa ditakut-takuti.

Perasaan takut yang terus-menerus ditanamkan dalam jiwa anak, akan membuat daya nalarnya lumpuh. Karena itu anak menjadi pendiam, pemurung, dan kehilangan daya kritisnya. Ketika orang tua menyatakan ada bhuto ijo, kuntilanak, gendruwo, dia percaya bahwa wujud itu seakan-akan ada.

Bukan berarti rasa takut itu tidak perlu, tapi kita tidak boleh menakuti-nakuti anak pada hal-hal yang tidak sepantasnya ditakuti, dan tidak rasional. Kalau kita menyuruh mereka agar hati-hati menyeberang jalan, itu bagus. Kalau kita menyarankan agar jangan mempermainkan pisau atau api, itu juga baik. Karena memang pisau yang tajam atau api yang panas ada peruntukannya, ada pemanfaatannya, bukan untuk sembarang dipermainkan.

Terkait dengan dunia politik, seperti itulah cara kerja para agitator atau propagandis untuk memperdayakan para konstituennya. Bagaimana harus tampil mempesona agar mereka mau menuruti kehendaknya. Bagaimana harus menjungkirbalikkan kesadaran, bahkan sampai ke tingkat kerasukan atau kehilangan akal sehat (trance). Mereka terus-menerus menanamkan benih kepercayaan dalam otak rakyatnya, hingga ke taraf keyakinan yang militan dan menggebu-gebu.

Saya menyaksikan fenomena ini sedang terjadi di sekeliling kita, hingga membuat otak pikiran kita merasa capek dan lelah. Kita dibuat lelah oleh beragam isu-isu miring dan caci-maki yang berseliweran. Masyarakat seakan menjadi bingung dan banyak urusan. Pada awalnya saya menganggap ini lumrah adanya, tapi setelah berdiskusi dan mencari informasi dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, sepertinya ada agenda dan skenario terselubung yang memang menghendaki situasi bangsa seperti ini.

Bagi yang memiliki cukup kecerdasan dan kepekaan, tentu bisa selamat dan mampu menjaga kewarasan otaknya, serta memetik hikmah yang berharga baginya. Orang seperti ini juga bisa menjaga jarak dari gencarnya informasi dan propaganda yang berseliweran di sekeliling kita. Tapi untuk orang-orang awam yang minim pendidikan, tak punya daya kritis untuk menangkal, justru merekalah yang mendominasi peradaban masyarakat, hingga mudah tercebur dalam berita-berita bohong semacam itu.


Kehilangan Daya Kritis


Bagi yang tidak memahami pola pengasuhan yang baik, lantaran orang tua yang tidak berpendidikan tadi, tentu bisa kita maklumi. Tetapi, tidak jarang juga yang berpendidikan cukup tinggi tapi kehilangan daya kritis untuk mencermati fenomena yang ada. Padahal orang yang mudah trance tadi, mestinya orang yang kurang berilmu dan minim pengetahuannya. Kenapa tidak sedikit mereka yang senang dipanggil intelektual, cukup banyak hasil karyanya, justru ikut juga terhanyut pada hasrat politik para juragan, saling berebut mendapatkan secuil kue kekuasaan.

Mengapa mereka mudah terhanyut sebagai mangsa-mangsa empuk bagi para penghasut dan propagandis? Inilah yang disebut gejala khas pada spesies manusia. Jika dia kehilangan daya kritis, pikirannya menumpuk dan menimbun, kesulitan untuk memahami sebuah fenomena, maka akal sehatnya limbung, seakan-akan menggapai cara termudah agar membuatnya tetap berdiri.

Pada titik ini, peran politikus dan penguasa bermain. Bukan memberdayakan potensi rakyat tetapi memperdayakan. Bukan melayani tetapi menguasai, mengendalikan dan meninabobokan. Mereka bekerja untuk menakut-nakuti hingga melumpuhkan daya kritis, sampai kehilangan akal sehat, terpesona pada yang sifatnya kasatmata belaka. Tergiur pada yang sifatnya duniawi belaka. Bahkan, terprovokasi untuk mementingkan sesuatu yang sampingan dan remeh-temeh belaka.


Pikiran Orang Indonesia


Dalam novel Pikiran Orang Indonesia tergambar bahwa sang tokoh diselimuti oleh beragam pertanyaan yang tak terjawab. Pikiran sang tokoh menjadi mumet hingga menggapai-gapai cara dan jalan yang bisa menyelamatkan masa depannya. Urusan yang membelit hidupnya bukan soal the debt trap (jebakan dan tumpukan utang), tapi timbunan persoalan yang tak pernah diberikan solusi oleh para orang tua, guru, hingga pemerintahnya sendiri (di masa Orde Baru).

Pihak penguasa seakan membiarkan rakyatnya terlunta-lunta. Menjadi terasing di kampung halamannya sendiri. Terombang-ambing pada jawaban benar atau salah atau keliru. Sampai akhirnya, para tokoh terperosok menjadi mangsa empuk dari predator-predator dan petualang politik. Mereka dilatih dan dikader untuk memerangi musuh yang tak dikenalnya. Disuruh bertempur melawan orang-orang yang tak pantas diperangi. Dipaksa terjun ke kancah politik, tanpa memahami politik itu apa.

Ditekankan agar menjadi Pancasilais sejati, tanpa pernah memahami apa esensi yang terkandung di dalamnya. Persis seperti tokoh Forrest Gump sepulang dari perang Vietnam, lalu disemati berbagai penghargaan. Tapi kemudian, dia menyampaikan testimoni sambil berkomentar bahwa semua aksesoris penghargaan itu taik kucing belaka.

Saya ingin membandingkan tiga hal dari jenis manusia yang tergambar dalam novel Pikiran Orang Indonesia, dalam kaitannya dengan psikologi manusia Indonesia. Anda dipersilakan menilai ketiganya yang setiap saat ada dan berseliweran di sekeliling kita. Di antara mereka ada yang punya niat-niat baik, tapi tidak sedikit juga yang punya rencana busuk dan bisa mencelakakan hidup Anda.

Pertama, ada orang menepuk pundak Anda kemudian menyapa Anda. Setelah itu dia minta maaf karena disangkanya Anda adalah teman karib yang sudah sejak lama tidak berjumpa. Dia keliru menepuk pundak Anda, tapi tidak ada niatan jahat, karenanya segera dia minta maaf kepada Anda.

Kedua, ada orang yang menepuk pundak Anda agar jangan menginjak genangan air di trotoar. Dan ternyata, genangan air itu adalah lubang yang bisa mencelakakan Anda. Bisa juga ada orang yang menunjukkan jalan ketika Anda bertanya, benarkah ini arah menuju Kota Jakarta? Orang yang ditanya berbuat baik dengan menunjukkan jalan yang benar.

Ketiga, inilah jenis manusia yang secara eksplisit tergambar dalam novel Pikiran Orang Indonesia. Dia tiba-tiba muncul dengan suatu rencana untuk melatih dan mengkader Anda, menjejalkan segala hal agar pikiran Anda bekerja keras memproses informasi yang membuat Anda kesulitan untuk mencerna. Mengajukan pertanyaan membingungkan agar Anda tidak sanggup menemukan jawabannya. Nah, ketika sampai pada puncaknya pikiran Anda merasa capek dan lelah, di situlah Anda akan kehilangan daya kritis hingga menemukan jalan buntu.

Biasanya pada titik inilah politikus dan penguasa bekerja untuk melumpuhkan memori dan nalar sehat Anda. Hingga akhirnya, tidak menutup kemungkinan Anda akan menganggapnya politisi, pengusaha dan waliullah sekaligus. Satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan masa depan Anda.

Orang semacam ini pintar menutupi kejahatannya dengan sedikit amal kebaikan yang dipertontonkan di hadapan Anda. Dia membungkus niat-niat jahatnya dengan berbagai kemasan dan asesoris pernik-pernik yang mempesona. Itulah yang disebut pencitraan, tapi seberapa lamakah usia pencitraan dapat bertahan? *


Tentang Penulis:
Muhamad Muckhlisin. Generasi milenial, pemenang pertama lomba cerpen tingkat nasional (2017)





Tidak ada komentar