HEADLINE

JADI DIRI SENDIRI_Cerpen Daeng Patanga

                                    
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 4 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi majalah Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu) 
kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SASTRA SETIAP HARI. Program ini untuk memberi ruang bagi sahabat pemula Dalam dunia sastra agar tetap semangat berkarya (Belum berhonor)
Redaksi berhak menyunting naskah yang masuk tanpa mengurangi maksud dan isi dari tulisan.



Memang sesuatu yang berbeda selalunya akan menjadi sorotan. Bahkan ini sudah menjadi suatu ketentuan yang telah diresmikan oleh naluri tiap manusia di dalam hukum lingkungan. Akibat dari hukum itu, berjam-jam kutatap kaca yang memantulkan gambarku di dalamnya. Rambut harus mengkilap tertata dengan rapih oleh sisir dan minyak. Harus seperti itu, lantaran itu yang sedang tren. Nda' boleh kalo nda' adil, bukan hanya rambut yang mendapat perhatian, tapi juga di bagian bawah-bawahnya. 

"Apakah baju dan celana yang saya pakai sudah serasi, apakah sudah selaras warna di antara keduanya. Yang paling penting, apakah aku sudah seperti orang yang lainnya?". Itu pertanyaan yang khusus untuk asisten pribadiku di dalam kamar, namanya cermin. Dialah yang harus merestui penampilanku sebelum keluar ke dunia yang sedang  hiruk pikuk penuh dengan sampul. Ia tidak perlu bicara, jawabannya dengan cepat langsung tertangkap olehku.

Hari ini keren, besok yang keren, itu. Dan lusa entah yang seperti apa lagi. Aku mengatakan ini keren, ini seleraku. Besok itu yang keren, juga merupakan selera ku. Jadinya aku bingung terhadap seleraku sendiri yang sering berubah-ubah ini. Jika anggapan penampilan keren yang berubah-ubah itu dilandasi oleh prodak yang juga terus berubah-ubah dan tidak konsisten, kemungkinan besar juga terdapat pabrik yang memproduksi prodak berupa hasrat dan menggiring selera sesuai dengan kemauan pabrik itu setiap harinya. Itu terlihat sepele, tapi aku serius dengan hal ini.

Tidak sampai disini perjalananku mengembarai wajah dunia ini. Sebelumnya selera yang mesti diseragamkan sesuai pasar dan mempengaruhi tingkah laku. Sekarang dunia membutuhkan sang pendobrak yang berani berlawanan arah dengan arus dunia yang diwayangi oleh pabrik ini.

"Kamu dengar gosipnya si Appang?" Kata Ippang.

"Apa yang terjadi dengannya?"

"Tadi telah jadi bahan omongan anak-anak seluruh penghuni kost. Dia kena marah lantaran ketahuan tidak pergi sholat jum'atan. Dia malahan tidur-tiduran di kamar kostnya"

"Baguslah. Biar dia menikmati siraman ruhani dari mulut cerewetnya bapak kost, hhh, aku tak bisa bayangkan"

"Asal kamu tahu aja. Kelakuannya setelah teguran itu, malah semakin bertingkah. Katanya dia mau jadi dirinya sendiri dan tidak mau terpengaruh oleh omongan orang lain terhadap dirinya. Diriku ya diriku, bukan dirimu. Gitu katanya"

"Mau kemana pang?"

"Sudah. Aku mau kuliah dulu, sampai jumpa nanti aja baru kita lanjut gosipnya"

Aku tak habis fikir kepada Appang. Mungkin dia salah satu orang yang berani menampilkan dirinya apa adanya. Yang aku suka dari dia, dia tidak memaksakan dirinya mengikuti kehendak umum. Tidak seperti saya yang hanya bisa menjadi budak dari kehendak lingkungan yang tidak sehat ini.

Yang tak habis fikir lagi si Ippang, kelakuannya juga mulai berubah semenjak menceritakan gosipnya si Appang kepada saya yang memuji-muji keberaniannya menjadi diri sendiri. Ippang kini juga ikut berubah, dan Appang lah yang telah merubah prinsip hidupnya, dia terinspirasi darinya. 

Besoknya aku kembali bertemu dengan Ippang, setelah menyelesaikan mata kuliah masing-masing. Kami di pelataran fakultas ingin melanjutkan percakapan kami mengenai Appang. Belum sempat memulai pembahasan mengenai Appang, aku malah tertarik dengan penampilan Ippang yang tiba-tiba berubah drastis.

"Baju kamu nda pernah kamu cuci ya? Hei, lihat sepatu kamu, memangnya kamu nda punya sepatu lain apa?"

"Ini diri saya kawan, terserah saya toh. Mulai hari ini saya tidak mau lagi menggunakan segala produk kapitalisme"

"Ooh, gitu ya. Tapi tunggu dulu, bukannya semua pakaian yang tertempel pada badanmu sekarang ini juga produk kapitalis?, cuman bedanya sudah lusuh dan tua. Kamu ini gimana sih, yang konsisten dong"

"Hehehe, maksud saya yang mewah-mewah gitu. Kan sama saja dengan yang sederhana, yang penting kan menutup aurat toh?. Pokoknya mulai hari ini saya mau tampil beda deh, itu intinya. Dan saya tidak mau lagi mempedulikan komentar-komentar orang lain yang sama sekali nda ada gunanya itu"

Mungkin si Ippang sudah mulai resah menyaksikan dunia yang hanya menilai sesuatu dari tampilan luarnya. Tapi yang saya fikir, memangnya apa sih yang patut dibanggakan oleh Ippang dari sisi dalamnya?. Sebelumnya Ippang memang tidak pernah terlihat rapih-rapih amat meskipun tidak sehancur sekarang. Bukannya dia menolak memakai produk kapitalis yang mewah karena memang tidak mampu membeli?. Waduh, tunggu sebentar. Ternyata aku ini juga termasuk orang yang menilai seseorang hanya dari tampilan luarnya. Hehe.

Seminggu kemudian. 

"Bukannya saya ingin merendahkanmu, tapi jujur, saya prihatin melihat keadaanmu seperti ini, sampai kapan?" 

Kali ini bukan penampilannya lagi yang dirubahnya secara drastis, bahkan tingkah lakunya, dia berusaha mendobrak yang namanya mainstream itu. Ternyata ia kini jiplakan total dari si Appang. Pokoknya apa yang tidak terdapat pada umum dia lakukannya dengan penuh obsesi. Prinsip yang dipegang teguhnya, menjadi diri sendiri.

"Katanya kamu mau jadi diri sendiri. Appang itu kan bukan diri kamu, dan kamu bukannya dia. Ini bukan dirimu, ini Appang yang berusaha kamu tiru, jangan memaksakan diri"

Makassar 04-2019


Tentang Penulis :
Daeng Patanga, Mahasiswa tinggal Bulu Kumba Sulawesi Selatan.

Tidak ada komentar