HEADLINE

NAMAKU JULI_CERPEN ZHEE LALUNE





Namaku Juli, anak pertama yang gagal jadi seperti apa yang bapak mau. Karena bapak memiliki mau yang banyak yang aku tahu itu yang terbaik untukku, agar aku tidak dicibir orang agar aku tidak dipermalukan oleh orang dan agar aku hebat di mata orang lain. Walau terkadang aku justru bertanya. Itu semua untukku atau agar bapak tidak dicibir orang, agar bapak tidak dipermalukan oleh orang, atau agar bapak terlihat hebat di mata orang, karena memiliki putri sepertiku. 

      Aku tak pernah bisa mewujudkan apa yang bapak inginkan. Hingga akhirnya seperti tali yang menjerat kaki dan tangan serta menggulungku hingga aku sulit bernafas, suatu hari aku berontak dan membebaskan diriku sendiri, walau tanpa sadar aku meletakkan beban putri sulung untuk menjadi hebat pada si nomor dua Luna. Dengan br3ngs3knya aku bahagia sendiri bersama putra putri dan pria bijaksana yang hebat dan hidup dengan bahagia dipenuhi kemewahan.. 
Betapa br3ngks3knya aku, dan beraninya aku untuk bahagia. (maafkan kakakmu adikku yang paling cantik)

Cinta yang mewah, pelajaran yang mewah dan juga waktu yang terasa mewah. Dan pada akhirnya aku tetap tak dapat menjadi seperti apa yang bapak mau. Saking sibuknya aku memikirkan apa yang bapak inginkan untuk hidupku, agar aku terlihat seelegan yang ia mau, terlihat terhormat seperti yang ia bayangkan dan terlihat cerdas seperti orang lain, aku lupa akan cita-citaku sendiri. Aku sibuk dengan mimpi bapak dan lupa pada mimpi serta kertas-kertas putih yang berisi ribuan kalimat cerita serta keinginan untuk membelah dunia dengan semangat, yang terkub*r dalam kalimat-kalimat panjang perbandingan aku dengan anak gadis orang lain yang lebih pintar serta lebih feminim dariku, yang dapat memainkan seribu lagu yiruma dengan piano, atau mereka yang masuk perguruan tinggi negeri yang bonafit  melewati SNMPTN.

Aku mencintai bapak, hingga aku lupa untuk mencintai diriku sendiri.

Berusaha m4ti-m4ti4n untuk mendapatkan pujian dari bapak yang krisis pujian. 

Dan kemudian aku menikah. Sepuluh tahun aku hidup bahagia. Hingga suatu sore di bulan Februari ketika aku dan suami memutuskan untuk keluar bermain badminton di lapangan, membawa Hara pria kecil mungil yang Tuhan titipkan pada kami. Yang hobinya bermain, yang tak memiliki bakat apa pun, dia hanya tahu menggambar yang tak jelas dan mewarnainya dengan asal. Walau begitu kami sudah begitu bangga padanya. dia hidup, bernafas dan berbicara, berjalan serta bermian. Hara tahu bagaimana caranya untuk bahagia. 

Aku tak pernah menanamkan mimpiku padanya. namun sore itu ketika bola ketiga melayang di udara, perhatianku terhenti pada seorang anak kecil seusianya yang pandai mengayunkan raket di jemari mungilnya. Pukulan kuat itu membuatku hening, dan gedung olahraga itu tiba-tiba terasa sunyi. Tanpa sadar, aku menatap Hara yang sibuk bermain robot-robot sambil mengarang cerita tentang bagaiamana robot itu m4t1 dan bangkit menjadi pahlawan dalam benaknya. 

Tanpa aku sadar, aku membenci Hara, hobinya bermain dan tak menjadi sehebat anak orang lain yang justru dapat bermain bulu tangkis dengan tangan mungilnya. 

Aku mulai marah-marah tak jelas di sepanjang perjalanan menuju rumah, namun tidak begitu dengan suamiku, yang tetap mencium Hara dan menggendongnya seakan Hara baru saja memenangkan olimpiade matematika senusantara. 

Dalam benakku aku akan mengajari Hara bermain bulu tangkis agar dia bisa jadi sehebat anak orang yang barusan kulihat. Agar Hara dapat bersaing dengan teman seusianya. Agar Hara tidak dianggap sepele oleh teman-temannya, agar dia memiliki kemampuan khusus untuk dirinya sendiri. Bukan untukku. Kelak dia akan bangga pada dirinya sendiri.  

Sesampainya di rumah aku memandikan Hara dengan sedikit kesal, melihat bagaimana ia masih memegang robot dan juga kertas-kertas yang aku sendiri tak mengerti berisi gambar apa. Aku sibuk membandingkan dia dengan anak orang yang mungkin saja pintar bermain bulu tangkis namun tak mengerti menggambar atau mungkin saja tak sebahagia Hara. Yang selalu disanjung bapaknya,untuk setiap hal kecil yang dia lakukan.

Hingga malam itu anak usia tujuh tahun memelukku erat. 

“Ma, Hara gak bisa main bulu tangkis, Mama gak marah kan?” 

Kalimat yang keluar dari mulut kecilnya membuatku tersedak akan masa lalu. Mengkhianati komitmen untuk tidak menurunkan perasaanku dulu pada anakku. 

Membuatku mengoreksi tentang kemampuan khusus untuk dirinya sendiri, atau agar aku dapat memamerkannya pada teman-temanku, tentang bangganya pada diri sendiri, ataukah agar dia dapat kubanggakan dengan kepintarannya bermain bulu tangkis? 

Aku merasa bersalah,pada dua cubitan yang mampir di tubuhnya hanya karena aku kesal melihatnya yang hanya tahu bermain dan bermain. Merasa bersalah pada sikap cuekku ketika dia lebih memilih menggambar hingga membaut aku kesal.  Aku lupa bagaimana caranya untuk membanggakannya tanpa perlu menjadikannya sehebat orang lain. Bagaimana menyayanginya tanpa perlu melihat apa yang sudah ia kerjakan.

“Mama gak marah, maaf Mama udah cubit Hara. Yang penting Hara senang”

“Iya Ma. Ini robot namanya robot Ultraman.

Hara mulai menceritakan bagaimana ia menyelamatkan dunia bersama robot ultramannya. Dan aku merasakan apa yang dulu pernah bapak rasakan. Seperti menapak tilas, aku seperti melihat sosok bapak jauh di dalam diriku. 

“Kamu lihat itu anaknya si Simbolon bisa bermain piano. Kalau kamu bisa main piano, betapa bangganya bapak” 

Aku mencintai bapak sampai di titik ingin dipuji oleh pria tampan dan pria hebat di duniaku sendiri. Hingga aku berusaha bermain piano tanpa perduli bahwa aku tak memiliki minat pada piano. Hanya sekedar agar bapak bangga padaku.  

Malam itu aku sadar, ada satu bagian yang terlupakan. Bapak lupa bertanya aku ingin jadi apa, tanpa perlu memberikan syarat untuk menjadi apa agar dia bangga. 

Walau aku tahu bapak begitu mencintaiku, menyayangiku dan ingin segala yang terbaik untukku. 

Hanya saja yang terbaik bagi bapak dan mama, bukanlah yang terbaik untukku. 

“Hara mau jadi apa?” tanyaku pada anak kecil yang sibuk memegang robot ultraman yang baru dibelikan papanya. 

“Mama mau Hara jadi apa?” pertanyaan yang pernah aku tanyakan. Dan kali ini aku yakin anakku tidak tertukar di rumah sakit, karena kata orang dia terlalu tampan uttuk jadi anakku. 

“Hara jadi apa pun Mama tetap bangga dan sayang sama Hara, mau jadi guru, pengusaha, atau karyawan kantor seperti Papa. Terserah mau jadi apa. Mama selalu sayang sama Hara”

“Kalau gitu, Hara mau jadi polisi Ma”

Dan itulah yang akan terjadi. Biar dia yang memperjuangkan mimpinya, agar kelak dia dapat bertanggung jawab pada setiap pilihannya. Dan aku?

Aku akan mendukungnya dan menjadi rumah tempat dia pulang ketika lelah, atau ketika gagal berulang-ulang kali, memberitahunya bahwa walau ia sibuk meratapi kegagalannya disaat yang sama aku mencintainya, disaat yang sama aku akan bangga padanya. mengingatkan padanya tentang mimpinya agar dia tidak menyerah.

Aku akan menjadi rumah yang benar-benar rumah untuknya.

Dalam hidup bukan hasil akhir yang penting, namun perjalanan dalam mewujudkan mimpi dalam mencapai garis finish. 

Dan hingga sekarang aku masih mencintai bapak, dengan perasaan bersalah karena hingga pada akhirnya aku tidak pernah dapat menjadi gadis yang dapat ia banggakan pada orang lain. tak ada kehebatan yang dapat dia ceritakan pada teman-temannya atau pada kakak dan abangnya. 

Hingga setiap malam, rasa itu menjadi hantu yang bergentayangan di alam mimpi. Terkadang membuatku menangis, dan lebih sering merindukan bapak. 

Sama seperti malam ini. 

Malam berikutnya dan malam sebelumnya. 

Aku merindukan bapak. 

Tidak ada komentar