HEADLINE

CITRA, SI BINTANG SINETRON_Cernak T. Sandi Situmorang (Semarak Sastra Malam Minggu)

SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU:  EDISI 10  2018

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), Cerpen dan Cernak untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam. Kirim karyamu ke e-mail: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. (Berhonor dan akan diambil satu karya puisi untuk dibuat konten video)

Redaksi juga menerima tulisan untuk diterbitkan setiap hari (selain malam minggu), kirim karyamu ke e-mai: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SASTRA SETIAP HARI. (Belum berhonor)


“Minda, sini!”  Nenek Rubiah memanggil Minda dari teras rumahnya.

Setelah meletakkan majalah di atas meja, Minda mendatangi Nenek Rubiah.

“Ada apa, Nek?” 

“Tolong belikan Nenek ini, ya!” Nenek Rubiah mengangsurkan secarik kertas.

Minda membaca yang tertulis di kertas. Tepung, telur, mentega, pengembang dan lain-lain.

“Nenek mau buat bolu, ya?”

“Besok Citra  datang. Nenek mau buat bolu kesukaannya.”

Minda tersentak. Citra itu cucuk Nenek Rubiah. Dulu, Citra tinggal bersama Nenek Rubiah di sini. Tiga tahun lalu Citra pindah ke Jakarta, mengikuti orangtuanya. Mama Citra merupakan putri tunggal Nenek Rubiah. 

Papa Citra seorang polisi, sering berpindah tugas dari satu kota ke kota lain. Itu sebab Citra tinggal bersama Nenek Rubiah di Medan, agar tidak mengganggu sekolah Citra. Tapi sejak tiga tahun lalu, kemungkinan besar papa Citra tidak akan pindah tugas lagi, akan selamanya tinggal di Jakarta. Makanya Citra dibawa ke Jakarta.

Selama di Medan, Minda bersahabat dengan Citra. Rumah mereka bersebelahan. Dari TK sampai kelas tiga, keduanya sekelas. Minda sedih sekali waktu Citra pindah ke Jakarta.

Sampai akhirnya setahun kemudian, Minda melihat Citra di tivi. Minda tidak kaget Citra menjadi pemain sinetron. Wajah Citra memang cantik. Kulitnya putih dan tubuhnya tinggi.

Yang membuat Minda heran, dalam sinetron itu Citra menjadi anak yang jahat, sombong dan suka menghina orang lain. Ternyata kota besar telah mengubah Citra. Karena Citra yang dikenalnya tidak seperti itu.

“Minda!”

Minda tersentak mendengar panggilan Nenek Rubiah.

“Ya, Nek!

“Nanti, tolong bantu Nenek menyiapkan bolu itu, ya? Citra pasti senang kalau tau kau ikut menyiapkannya.”

Minda tidak menolak tapi juga belum menerima. Ia malas bertemu lagi dengan Citra.  Setiap melihat Citra di sinetron, ingin sekali Minda menonjok mukanya yang cantik  karena sifat jeleknya itu. Minda malu punya teman seperti itu.

“Lihat nanti ya, Nek!” akhirnya Minda menjawab.

***

Pulang sekolah, Minda melihat  tidak ada keramaian di rumah Nenek Rubiah. Mungkin Citra belum datang, kata Minda dalam hati. Begitu masuk rumah, Mama berdiri di depan Minda.

“Tadi Citra datang kemari. Katanya, ia kangen padamu,” lapor Mama dengan wajah penuh senyum.

“Sekarang, mana dia?” tanya Minda dengan bibir cemberut. Bohong Citra kangen padanya.

“Sudah pergi. Dia harus segera pergi ke Parapat. Ternyata, Citra ada syuting film seminggu di Danau Toba.”

“Perannya pasti jadi anak yang kerjanya menceburkan orang ke dalam danau,”  sahut Minda dingin dan segera meninggalkan Mama. Ternyata itu alasan Citra datang ke Medan. Pantas saja.

Sore itu, ketika menyiram bunga-bunga di halaman samping, Nenek Rubiah mendatangi Minda.

“Ada titipan Citra untukmu,” Nenek Rubiah memberikan sebuah kotak berukuran sedang kepada Minda. Kotak itu berwarna biru muda, warna kesukaan Minda.

“Apa isinya, Nek?” Minda menerima dengan gembira. Minda sangat jarang mendapatkan kado, sampai ia lupa jika benci kepada Citra.

“Bukalah.”

Minda membuka kotak itu. Ternyata isinya sebuah gaun berwarna biru. Gaun model kembang itu terlihat mewah sekali, ada payet-payet di dada dan bagian pinggang.

“Ini untukku, Nek?” Minda masih belum percaya.

“Iya!” 

Minda tersenyum lebar sekali dan memeluk gaun itu dengan erat. Sampai kemudian dia ingat jika dirinya membenci Citra sekarang. Senyum di bibir Minda hilang seketika.

“Kau kenapa, Minda?” Nenek Rubiah bertanya.

“Nggak apa-apa, Nek!” Minda berdusta.  Nenek Rubiah tidak akan suka kalau Minda bilang tidak suka pada Citra.

“Oya, hari Jum’at dan Sabtu tanggal merah, kan?” Nenek Rubiah bertanya.

“Iya, Nek!”

“Citra meminta kita datang ke Parapat. Kau, Nenek dan kedua orangtuamu. Citra akan mempersiapkan penginapan kita di sana. Selain melihat Citra syuting, katanya ia rindu dengan jalan-jalan kita ke Parapat beberapa tahun lalu. Kau masih ingat?” kata Nenek Rubiah.

Mulut Minda menganga. Tentu saja ia masih mengingatnya. Waktu itu, dia dan Citra bermain di Danau Toba sampai puas. Ternyata, Citra pun masih mengingatnya.

“Kau mau, kan?”

“Iya, aku mau, Nek!” sahut Minda cepat.

***

Perjalanan Medan – Parapat mereka tempuh sekitar empat jam lebih, dengan mobil dan sopir yang telah disiapkan Citra. Mereka akan menginap di tempat yang sama dengan Citra dan seluruh pemain film lainnya.

Begitu  sampai, Citra menyambut mereka. Citra memeluk tubuh Minda kencang sekali. 

“Ayo, kita cerita-cerita sambil bermain di Danau Toba. Seperti yang dulu kita lakukan. Kebetulan sekarang aku tidak ada syuting,” Citra menarik tangan Minda.

Minda menurut. Mama mengingatkan keduanya agar bermain di tepi danau saja. Citra mencipratkan air ke wajah Minda. Minda membalasnya sambil tertawa lebar.

Citra masih tetap seperti sahabatku yang dulu. Tidak berubah. Berbeda sekali dengan Citra yang kulihat di sinetron, kata Minda dalam hati.

“Kau tahu tidak, Min,” kata Citra kemudian, “Aku langsung menerima tawaran film ini begitu tau akan syuting di Parapat. Selain bisa bertemu denganmu, aku juga suka dengan peranku dalam film ini. Di film ini, aku berperan sebagai anak yang kuat, sopan, dan sangat sayang kepada keluarga. Tidak seperti peranku dalam sinetron selama ini. Aku bosan dan capek selalu diberi peran jadi anak yang jahat. Padahal, kau tahu sendiri aku tidak jahat, kan?”

Kening Minda mengerut. Ia tidak mengerti apa yang dikatakan Citra. Yang Minda tahu, ia salah menilai Citra. Citra masih tetap sahabatnya yang baik hati, sama seperti sebelum ia jadi bintang sinetron.

***

Tentang Penulis

T. Sandi Situmorang. Lahir di Hutaraja, Samosir, 10 Desember. Sekarang menetap di Binjai, Sumatera Utara. Menulis novel, cerpen, puisi dan tulisan ringan. Cerita Anaknya pernah dimuat di Kompas Anak, Bobo, Mombi, Lampung Pos, Suara Merdeka, Analisa, Medan Bisnis, Waspada, dan beberapa media lainnya. T. Sandi Situmorang tinggal di Jl. Sukarno – Hatta Km. 19,3 No. 311, Binjai – Sumatera Utara, 20735






Tidak ada komentar