PENGALAMAN BERHARGA MENUNGGU HUJAN REDA_Cernak Al-Mahfud (Semarak Sastra Malam Minggu)
SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU: EDISI 4 2018
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), Cerpen dan Cernak untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam. Kirim karyamu ke e-mail: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. (Berhonor dan akan diambil satu karya puisi untuk dibuat konten video)
Redaksi juga menerima tulisan untuk diterbitkan setiap hari (selain malam minggu), kirim karyamu ke e-mai: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SASTRA SETIAP HARI. (Belum berhonor)
Pelajaran terakhir baru saja usai. Sekarang aku dan teman-teman berkemas untuk pulang. Namun, seperti yang aku khawatirkan sejak tadi, hujan turun lebat sekali. Sedangkan aku tak membawa jas hujan atau payung. Bagaimana jika hujan tak kunjung reda? Mengapa harus hujan deras saat waktunya pulang dan aku lupa membawa jas hujan? Aku cemas.
“Ayo pulang Sel,” ajak Dewi setelah kami sekelas berdoa untuk pulang.
“Kamu duluan, aku nggak bawa jas hujan. Aku nunggu hujan agak reda”
“Oh begitu, ya sudah. Maaf aku harus segera pulang”
Aku mengangguk mengerti. Dewi pun pulang duluan.
Teman-teman yang lain juga sudah berhamburan keluar kelas. Mereka bergegas pulang meskipun sedang hujan deras. Mereka memang membawa jas hujan atau payung. Jadi tak perlu khawatir akan kehujanan di jalan.
Kini aku berdiri sendiri di teras menunggu hujan reda. Aku perhatikan sekeliling. Pintu-pintu kelas sudah tertutup. Sekolah sudah sepi. Mungkin tinggal aku yang masih di sini. Aku merasa kesepian menunggu hujan seorang diri.
***
Sudah cukup lama aku menunggu, tapi hujan tak kunjung reda. Malahan sepertinya semakin deras saja. Aku menjadi semakin cemas. Bagaimana jika hujan tak berhenti sampai sore nanti?
Tak lama kemudian, tiba-tiba aku melihat Bu Santi datang menuju ke arahku. Hmm, ternyata aku tak sendiri, pikirku. Aku mulai bisa tenang. Bu Santi tadi mengajar di kelasku setelah jam istirahat pertama. Ternyata Bu Santi belum pulang juga. Aku jadi sedikit lega, paling tidak, aku tak sendirian.
“Lho Selly.. belum pulang?”
“Mm... iya Bu, menunggu hujan reda. Ibu belum pulang juga?”
“Oh.. iya sama, Ibu juga menunggu hujan reda. Ibu lupa membawa jas hujan. Selly juga ya?”
“Iya Bu, saya lupa,” ucapku tersipu.
Cukup lama aku dan Bu Santi terdiam di teras kelas. Kami menatap guyuran hujan yang turun deras. Angin yang bertiup kencang membuat air hujan berhamburan ke arah kami.
“Ke dalam saja yuk! Anginnya kencang, nanti basah di sini,” ajak Bu Santi sambil membimbingku masuk ke dalam kelas.
Setelah beberapa saat terdiam di dalam kelas, Bu Santi tiba-tiba berkata. “O ya, tadi Ibu kan menjelaskan tentang macam-macam kalimat saat pelajaran Bahasa Indonesia, kamu sudah paham? Atau ada yang belum jelas? Nanti Ibu jelaskan”
Aku terkaget mendengarnya. Aku tak menyangka Bu Santi masih menawarkan untuk menjelaskan materi pelajaran, padahal sekarang sudah bukan jam pelajaran lagi. “Mmm.. ada Bu,” jawabku ragu. Aku memang belum sepenuhnya paham dengan penjelasan Ibu Santi waktu jam pelajaran. Sebab aku lebih memikirkan cuaca mendung di luar yang membuatku cemas saat pelajaran berlangsung. “O ya, yang mana? Coba buka bukumu lagi, nanti Ibu jelaskan”
Dengan semangat aku membuka tasku dan mengeluarkan buku pelajaranku lagi. Kemudian aku bertanya tentang beberapa materi yang belum kupahami. Bu Santi menjelaskan kembali dengan sabar. Setelah beberapa kali mendengar dan memperhatikan penjelasan Bu Santi, aku mulai merasa lebih paham. Karena Bu Santi hanya menjelaskan kepadaku, aku merasa lebih mudah memahami. Aku bisa bertanya langsung saat merasa kurang jelas. Tidak seperti saat pelajaran di kelas tadi. Aku merasa beruntung bisa belajar langsung bersama Bu Santi.
Terlalu asyik dengan penjelasan dari Bu Santi, tanpa terasa hujan di luar sudah reda. Menunggu sesuatu sambil melakukan aktivitas lain ternyata terasa lebih menyenangkan daripada hanya berdiam diri tanpa melakukan apa-apa.
“Terimakasih Ibu bersedia menjelaskan pelajaran lagi, padahal ini kan sudah bukan jam pelajaran lagi,” ucapku pada Bu Santi setelah memasukkan buku pelajaran kembali ke dalam tas. Bu Santi tersenyum ramah.
“Iya, memang harus begitu. Ibu harus membimbing murid Ibu di mana saja. Lagipula kita harus memanfaatkan waktu luang untuk hal yang bermanfaat, tanpa kecuali saat menunggu hujan reda. Jadi waktu kita tidak terbuang sia-sia,” jelas Bu Santi. Aku mengangguk setuju dengan apa yang baru saja beliau ucapkan.
Kami pulang bersama-sama. Aku senang hari itu. Kecemasanku karena hujan telah berubah menjadi bahagia karena satu pengalaman berharga. Bisa belajar langsung dengan Bu Santi.**
Tentang Penulis
Al-Mahfud, penulis cerita, lahir 9 Maret 1992 di Pati. Tulisannya berupa cerpen maupun dongeng (cerita anak) dimuat di berbagai media massa. Diantaranya Suara Merdeka, Lampung Post, Solopos, Banjarmasin Post, Inilah Koran, Merapi Pembaruan, Padang Ekspres, Analisa Medan, dll.
Tidak ada komentar