HEADLINE

ASMARA SECANGKIR KOPI_Puisi-Puisi Vito Prasetyo (Semarak Sastra Malam Minggu)

SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU : EDISI 25

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), cerpen dan cernak (minimal 5 halaman A4) untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam. 
kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. Apabila dalam 2 bulan naskah tidak dimuat maka dipersilakan mengirimnya ke media lain.
(Bagi karya yang dimuat malam minggu diberikan honorarium sepantasnya)


ASMARA SECANGKIR KOPI

rebah, rebahkanlah tubuhmu
tatapanmu terlalu penat
tembuslah malam itu
menelisik lewat sisa-sisa napas
selesaikanlah hidup di antara mimpi
tak ada lagi matahari menghujam pagi
angin pun tak lagi melekat di tubuh cahaya
kidung renjana enggan bicara tentang cinta

esok mungkin,
mimpi dunia hilang dalam peradaban hina
terbuai oleh keranda jiwa
atau mungkin,
kutukan kodrat telah merobek impian
terhempas di tumpukan sampah
hingga puing-puing malam
terkulai di hamparan kaki langit
disitu, cobalah merengkuh hidup baru

jika hari ini
engkau mereguk secangkir kopi
pahit ampasnya telah menuntaskan hidupmu
dan disitu tatapanmu melekat
meninggalkan peradaban itu
lewat buah nalarmu
– yang sesungguhnya menyesatkanmu

hari ini aku juga telah mereguk secangkir kopi
setelah melewati malamku
saat mimpiku belum sempurna
datang menghampiri malamku
segala waktu kutiriskan
memerasnya sampai menyisakan ampas
hingga rasa kopi itu
membuatku mengerti tentang cermin pahitnya hidup

Malang – 2017


ASMARADANA

menghitung malam
lewat syair tanpa cinta
seakan menyatukan peraduan nada
yang kehilangan jiwa

(2017)

PASIR PANTAI

Anak kecil 
berlari menyusuri pasir putih
riak kecil kadang menerjang kakinya
di pesisir pantai laksana ladang surga
Di sudut matanya membias sebuah harapan
walaupun terkadang perutnya merintih
menahan lapar dan dahaga
karena hidup menjadi suatu pilihan
Masih adakah cinta melekat di dadanya
tatkala esok masih tersisa kebimbangan
atau mungkin ia memiliki makna lain tentang cinta
dan menawarkan saat hidupnya beranjak dewasa
pada sudut-sudut kota yang terpinggirkan
Setiap hari, ombak dan angin berkejaran
merepih dan mencium bibir pantai
tetapi anak itu, semakin larut dalam syair alam
mungkin esok ia tak pernah tahu tentang kecapi dan seruling
Malam pun berlalu hari demi hari
berpeluk mimpi di atas gubuk bambu
lepaslah, kini lepaslah
kantuk dan penat
disaat tubuhnya merebah pada sebuah tikar
dalam kegelisahan sisa malam
Esok penantian cahaya siang
mengiringi langkah hidup anak pantai
awan berarak memayungi teduh
saat asa di dada meniupkan simponi kehidupan
di antara nyiur melambaikan dedaunan
ada bias harapan di ufuk mentari
hingga menggapai semua angan-angannya
dan kulit tubuhnya akan berlapiskan kain sutera

Mungkin, kitapun harus belajar
dari apa yang tidak dimilikinya
tentang penindasan bathin tak teradili
ketika zaman telah larut dalam nalar modern
// anak pantai itu, tetap menjaga warisan leluhur bangsanya
memberikan warna pada sisi bingkai
merajutnya dengan ukiran napas
– sementara kita berada dalam bingkai foto itu
sebagai boneka dalam keindahan seni
tanpa pernah menghirup udara suci

Sebongkah kata disimpannya
untuk diberikannya kepada negeri ini
Anak pantai ingin membuat bangga bangsa ini
saat pantai berubah batu karang
dan di atasnya dibangun hotel mewah
tempat peristirahatan para turis asing
: Anak pantai itu – tak akan pernah menjual bangsanya

Malang – 2017

ADAGIUM

Plato bicara tentang pikiran bijak
Socrates bicara tentang kesucian nalar
sementara kita, banyak bicara
– dan bicara tentang adagium
: (perumpamaan)

(2017)


AKSARA ANAK KECIL

Ingin kusulam aksara yang tersisa
kata-kataku mulai kehabisan napas
kucari temali agar bisa menyambungnya kembali
benang terlalu rapuh untuk mengikatnya
hanya jerami kudapatkan

Lalu kucoba untuk merangkai
semua pikiran kuperas, walau tak  menetes jernih
agar semua orang, atau siapapun
bisa memaknai aksara itu
kutulis lewat sajak atau bait-bait indah
kadang hanya memuaskan segelintir orang

Tanah, langit, ombak bahkan dedaunan
kuhimpun menjadi satu
tetapi orang membacanya sebagai sebuah kegilaan
hingga akupun sering menertawakan diriku
karena pikiran selalu menjebakku
menulis ribuan aksara, bahkan mungkin jutaan
tetap saja tak pernah memuaskan diriku

Aku berjalan keluar rumah
menghirup udara bersih menyegarkan pikiran
seorang bocah kecil datang menghampiriku
Anak Jaman Now
berkali-kali diucapkannya
Aku bingung, tak mengerti maknanya
tetapi seakan menohok kebuntuan nalarku
kucari didalam kamus, tak pernah ada artinya
Sejenak aku tersadar
mungkin esok ada aksara baru terucap
dan kita semua hanya meminjam aksara itu

(2017)

BIARKAN HIDUP BICARA

Berkali-kali aku hanya bicara dengan perasaan
dan berkali-kali aku telah gagal
hingga ujung kakiku seakan ingin melepaskan diri dariku
Aku selalu berpijak pada tanah
sementara aku selalu menatap langit
tak pernah ada jawaban dari atas sana
semua diam --
bagai sabda-sabda cinta kehilangan nafas
sebab nafas telah berpaling dari napas
dan disitu aku terjerat dalam zaman hina
sajak pun telah mengingkari catatan-catatan suci
demi membenarkan sesatnya pikiranku
ketika diriku telah lupa bertasbih pada Tuhan semesta alam
larut dalam syair seruling malam
yang membuai para pendusta bumi
hingga matahari tak pernah meruncing cahaya
Kawanku, Khalil Gibran pernah berkata padaku
saat kita berdoa, hanya setitik napas yang bertemu Dzat Ilahi
sebagian besar telah mengingkari surga
dan jiwa kita itu bersandar pada setitik napas itu

(2017)

BUNGA DUKA

Galilah kuburmu sekali lagi
baringkanlah penat jasadmu
sesungguhnya jiwamu ingin mensucikan diri
basuhlah dengan aksara bersih
biarkan tasbih mengitari pusaramu
bukan dengan bunga duka
karena itu hanya hiasan dunia sesat

Malang – 2017

Tentang Penulis:

VITO PRASETYO, dilahirkan di Makassar (Ujung Pandang), 24 Februari 1964 -- Agama: Islam -- Bertempat tinggal di Malang – Pernah kuliah di IKIP Makassar. Bergiat di penulisan sastra sejak 1983, dan peminat Budaya.Karya-karya Sastra (cerpen – puisi – esai) telah dimuat media cetak lokal dan nasional, antara lain: Harian Media Indonesia (Jakarta) - Harian Pikiran Rakyat (Bandung) - Harian Republika (Jakarta) - Harian Suara Merdeka (Semarang) - Harian Pedoman Rakyat (Makassar) - Harian Suara Karya (Jakarta) – Harian Radar Malang (Malang) – Harian Radar Surabaya (Surabaya) - Harian Solopos (Surakarta) - Harian Sumut Pos (Medan) – Harian Lombok Post (Mataram) - Harian Duta Masyarakat (Surabaya) - Harian Malang Post (Malang) - Harian Digital Nusantaranews.co - Harian Buanakata.Com Majalah Puisi – Harian Digital LiniKini (Jakarta) – Harian Waktu (Cianjur) – Harian Haluan (Padang) - Harian Rakyat Sultra (Kendari) – Harian Fajar (Makassar) – Mingguan Utusan Malaysia (Kualalumpur) – Harian Online Malang Voice (Malang) – Majalah SIMALABA (Versi Cetak dan Digital) – Harian Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta) – Majalah Pewara Dinamika (Universitas Negeri Yogyakarta) – Wartalambar.com
Buku Antologi Puisi: “Jejak Kenangan” terbitan Rose Book (2015)),“Tinta Langit” terbitan Rose Book (2015) - “2 September” terbitan Rose Book (2015) - “Jurnal SM II” (2015) terbitan Sembilan Mutiara Publishing (2016) – “Keindahan Alam” terbitan FAM Publishing (2017) “Ibu” terbitan FAM Publishing (2017)Buku Kumpulan Puisi  “Biarkanlah Langit Berbicara”  (2016 – 2017),Buku Kumpulan Puisi  “Sajak Kematian”  (2017)



Tidak ada komentar