HEADLINE

Edisi Sabtu, 19 Agustus 2017_ CERPEN ENDANG A (Jakarta)_KEBESARAN ALLAH


Tawamu riuh dari kejauhan, menikmati indahnya sebuah hari, tanpa beban yang menyertakan kalimat akhir. Dan di sini aku perlahan membungkus, sajian masa dalam helaian koyak.

Aku bukanlah perhiasan, yang di lombakan pada suatu arena, kemudian kau tukarkan dengan pundi pundi uang, luar biasa, sayang, kali ini serbukmu mengembara dalam sudut terkecil sebuah perjalanan gelap.

Namun sayangku, Allah selalu menyisakan kasih untukku, Allah selamatkan aku dari jurang yang kau tawarkan.

Simaklah kisah miniku di sebuah tempat di pulau Jawa, tepatnya di alun-alun Probolinggo. Sebuah bis menurunkan aku di sana, "kau tau?" Aku tanpa uang di sana, duduk diam dalam tempat asing yang sangat asing. Untuk pulang aku tiada uang, aku terdampar dalam ketiadaan, untuk mencari uang pun aku tak sanggup, sebab kakiku tertinggal di bis itu, aku lupa membawanya serta.

Dari pukul enam pagi aku menunggu bis pengganti, namun saat datang bis terlalu penuh, kenek melupakan keberadaanku yang tak berkaki. Akhirnya aku berada dalam alun-alun untuk waktu yang sangat lama. 

"Kau tau apa yang kurasakan?"

"No" aku bukan si cenggeng  Melly yang bernyanyi lagu melow.

Aku si cacat yang yakin akan kehadiran Allah di sampingku, apapun akan aku hadapi walau pun pahit.

Datang empat orang preman, dia merampas koperku, kubiarkan bahkan ku berikan tas kesayanganku.

"Dear sayang, barang-barangku terlalu berat untuk kubawa kemana pun jadi ku ucapkan terima kasih sudah mau mengambilnya, waktu salat zuhur, dengan bantuan tongkat aku pergi ke mesjid, lumayan jauh untuk kakiku, tapi biarlah, kata guruku, "semakin jauh kaki melangkah menuju mesjid maka sebanyak itu pula pahala yang kau dapat." Hihihihi masih teringat olehku wajahnya saat berbicara, sangat manis dengan lesung pipit di kedua pipinya.

Kemudian aku kembali duduk di alun-alun, saat itu pukul empat sore, aku terlalu lama asik membaca mantra di mesjid sehabis zuhur hingga asar datang barulah keluar, ada rasa malu pada penjaga mesjid yang melihatku penuh pandangan selidik.

Perutku mulai berontak, dan rasa dahaga datang mengelitik, ya sabarlah alat-alat dalam tubuh, yakinlah kita taakan mati di sini oke!

Preman yang tadi datang kembali, mereka agak terkejut.

"Santai mas, aku lagi melepas penat aja di sini, barang-barangku telah aku ikhlaskan kok!"

"Preman itu menghampiriku."

"Kamu gak takut sama kami mbak?"

"Tidak, aku hanya takut sama Allah."

Akhirnya mereka duduk dan bercanda denganku. Mereka membelikan aku makanan.

"Maaf, bukan aku menolak rezeki, perutku memang berontak, tetapi kalau uang haram aku gak mau, maaf ya!"

Mereka terkejut, lalu saling bertanya.

"Siapa yang punya uang halal?" kata pemimpin mereka

"Aku, tapi cuma lima ribu rupiah, gak cukup untuk membeli makanan." Ini uang dari ayahku tadi.

"Cukup, belikan gorengan untukku dan minuman." kataku senang.

"Tapi ....!"

"Sudahlah itu sudah rezekiku hari ini, aku berterima kasih untuk hal itu."

Azan magrib berkumandang, aku bergegas pergi ke mesjid, kali ini di temani kelima preman.

Setelah isa aku keluar dari mesjid, rupanya ada dua preman yang menungguku di luar mesjid. Aku kembali ke alun-alun. Aku meminjam gitar anak jalanan, kemudian bernyanyi.

"Mbak bisa nyanyi?"

"Lumayanlah, untuk menghibur diri kala suntuk."

"Mbak, mau bernyanyi di tempatku?" Kebetulan ada hajatan, mereka lagi butuh penyanyi, sebab penyanyi mereka kecelakaan, uang hasilnya halal, mbak bisa membeli tiket pulang.

"Bolehlah."

Aku bernyanyi di panggung, tadinya mereka mencibirku karena keadaanku, kubiarkan mereka menghina. Aku main gitar dan bernyanyi. Penonton pun menyukainya dan orkestra itu akhirnya mau mengiringgi laguku.

"Alhamdullilah ya ALLAH, karuniamu hari ini membawaku pulang ke Jakarta. Tepat jam 12 malam aku mendapat tiket dan meluncurlah ke Jakarta.

"Adek, di mana kamu? Tanpa dompet pergi? Apakah kamu perlu uang? Adek, kakak kawatir, sangat!"

"Sebuah telpon baru saja kuterima dalam bis."

"Tenang kakak, hidup itu harus bernada kutip ketenangan, barulah kenikmatannya dapat di nilai." sambil tertawa.

"Kamu di mana?"

"Aku OTW JAKARTA."

kemudian hp kututup, telinggaku agak risih dengan omelan kakak. Dear kakak aku baik-baik saja, cuma hatiku yang terluka bukan semangatku untuk berjalan, aku masih kuat menghadapi dunia setelah lima kali mencoba mengakhiri hidup, sayang belum mati kakak, nyawaku masih banyak, ada 70% kakak.

Darah mengucur dari kaki setengahku akibat kelalaianku dalam menjaga tubuh.

Ya Allah ampuni aku yang hampir saja berbuat dosa, sebab rasa sakitku dan keputusasaan membuatku khilap, 

Dear sayangku yang berada jalur pengharapan, sudah berhari-hari sulit mulutku untuk masuk makanan, entahlah setiap aku makan, nantinya akan kumuntahkan kembali, hanya susu yang mampu menerobosnya itu pun hanya segelas sehari tak bisa di paksakan, oh ya ada lainnya air putih, dia mampu masuk tanpa keluar lagi, luar biasa bukan? Si putih mampu menembus batang tenggorokanku, luar biasa kan sayang?

Dear kakak janganlah selalu menangis, aku muak melihatnya. Cobalah belajar menikmati kehidupan, hawanya sedang mekar dalam hari yang terlipat oleh keindahan perjalanan, "ayolah kita nikmati dengan senyum!"

Jangan membuka kotak kesedihan, sebab embun akan merasa tersaingi.
"Ah ngawur, ya memang ngawur, di buat ngawur sajalah kakak."

Semakin hari rupaku selayaknya mayat hidup, putih tanpa ada bercak bercak kemerahan, dear kakak, jangan terlalu mencemaskan kematian, semakin kau cemaskan maka akan semakin dekat, "berdoalah!" sekali lagi kulayangkan kalimat, "Berdoalah" bukan untukku kakak, tetapinya untukmu, sebab jalur hidupmu perlahan banyak pertikaian dan amat rumit, membuatku sedikit risih mengupasnya. Dear kakak, janganlah selalu kau pikirkan harta, lepaskan beban dan kuasailah medan. Kau tau kakak, jangan sampai sebuah harta membajak hidupmu, berhentilah jika penat melanda, jangan maju terus, sebab kau nantinya tak akan bisa menyimak sebuah perjalanan.

Dear teruntukmu lelakiku, aku hanyalah seorang manusia biasa, tak sanggup membuat percikan kedasyatan seperti wanita yang lainnya. Jadi carilah bunga lain, sebab aku tak inginkan kau terjebak macet dalam haluan perjalananku. Aku benar benar ikhlas melepaskanmu, sayang. Namun jika kau memilihku, maka pahamilah letak keberadaanku. Di sini, di ruang gelap tak berspasi.

Entahlah dunia, aku masih mencari jawaban atas sebuah pertanyaan, "Mengapa aku berumur panjang, sedangkan sakitku kronisnya melebihi kantong sakuku yang hampir kosong, mungkin nyawa sakuku sekitar 48 jam, ya di buat menjadi ratusan tahun, bisakah? Entahlah ....!



Tentang penulis:

Dia di berikan nama : Endang A, lahir 30 April 1995. Ia suka menulis puisi dari tahun 2016, dan sering mengikuti banyak event pada tahun 2017, beralamat di jln dukuh 5 rt : 01/0 belakang trisoko, Penyaringan sampah jagorawi.

Tidak ada komentar