HEADLINE

Cerpen Daisy Rahmi _HILANG

SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU:  EDISI 4 2018
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), Cerpen dan Cernak untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam. Kirim karyamu ke e-mail: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. (Berhonor dan akan diambil satu karya puisi untuk dibuat konten video)
Redaksi juga menerima tulisan untuk diterbitkan setiap hari (selain malam minggu), kirim karyamu ke e-mai: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SASTRA SETIAP HARI. (Belum berhonor)



***
          Pagi hari. Para pedagang di pasar masih menyusun jualan mereka. Pemilik kios yang menjual beras, kakak beradik Yuma dan Pradna menata karung-karung beras berjajar. Begitu pekerjan itu selesai, tanpa setahu Yuma, Pradna menyelinap ke bagian belakang toko. Dibaringkannya tubuh ke lantai, kepala berbantalkan telapak tangan. Pandangan tertuju ke atas, melamun. Dengan kesal Yuma membangunkannya. 

          “Bangun, Pemalas. Bantu aku melayani pembeli.” 

         Pradna mengikuti langkah kakaknya ke depan toko. Pembeli yang datang silih berganti membuat keduanya sibuk. Menjelang siang, seorang lelaki tua berjalan menuju kios mereka. Tongkat dari kayu tergenggam di tangan kiri. Sekilas tak ada yang tak lazim. Selalu ada pria yang berbelanja ke pasar meski tidak sebanyak kaum wanita. Sampai tanpa sengaja pandangan Pradna menyapu tanah. 
          Pemuda itu menelan ludah. Yuma sibuk melayani seorang pelanggan. Pasar ramai oleh manusia yang berjalan hilir mudik. Terdengar dengungan suara tawar menawar antara pedagang dan pembeli. Semua sibuk dengan urusan masing-masing. Tak seorang pun mengacuhkan kehadiran lelaki itu. Tak seorang pun melihat apa yang dilihatnya. Degup jantung Pradna makin bertalu saat si orang tua berhenti di depannya.   
          “Beli satu liter beras,” ujarnya.    
          Tanpa menjawab, Pradna mengambilkan yang diminta. Ia mengisi kantong plastik dengan beras yang telah ditimbang kemudian memasukkan plastik itu ke kantong kresek. Diulurkannya pada si pembeli.
          “Berapa?” 
          Pradna menyebut harganya.
          Pak itu mengangsurkan beberapa lembar uang yang diambilnya dari saku baju. Sekali lihat Pradna tahu jumlahnya lebih banyak daripada yang harus dibayar. Tangannya yang tadi memberi pesanan kini menerima pembayaran.
          “Kembaliannya, Pak,” cegah Pradna pada orang tua yang bersiap pergi.
          “Ambil saja,” jawabnya dan berlalu.
          Pradna mengamati sosoknya menjauh. Saat orang tua itu melintas di bagian jalan yang tertimpa sinar matahari, kembali tak terlihat yang seharusnya ada. 
          Yuma menghampirinya dengan sikap riang.
          “Penjualan hari ini sangat baik.”
          Keningnya berkerut melihat ekspresi Pradna. 
          “Ada apa?”
          Yang dipandang balas menatap. Selintas terbersit keinginan untuk bercerita yang langsung diurungkannya. Pradna menggeleng kemudian bergegas pergi. 


***       
          Berhari-hari Pradna menanti kedatangan orang tua itu. Setiap hari ia datang ke toko mereka di pasar bersama Yuma yang heran karena adiknya mendadak rajin membantu. Yang ditunggu tidak pernah muncul. Hampir sebulan berlalu. Pradna mulai yakin kalau ia salah lihat.
          Usai melayani pembeli, ekor mata Pradna menangkap sosok yang ditunggu. Orang tua itu berbelanja di kios yang menjual hasil laut. Pradna tidak melihat kedatangannya. Ini hari penantian ke-23. Pemuda itu cepat-cepat menyurukkan uang pembelian ke dalam laci.
          “Aku pergi sebentar,” gumamnya saat melewati Yuma yang sedang menghitung penjualan hari ini.
          Yuma mengangkat muka.
          “Hei, mau ke mana?” teriaknya.   
          Pradna tak menggubris. Ia berlari kecil ke toko penjual hasil laut. Jarak yang semakin dekat membuat cuping hidungnya mencium bau amis ikan, udang serta kerang. Terselip di antara pengunjung pasar, mata Pradna tajam mengawasi. Orang tua itu disambut ramah oleh wanita pemilik toko. Tak ada lagi tongkat di tangannya.
          “Selamat siang. Anda mau beli apa?”
          “Dua ekor ikan. Tolong pilihkan yang segar.”
          Dengan cekatan perempuan penjual tersebut mengambil 2 ekor ikan dari tumpukan di atas tampah, membungkus lalu menyerahkannya kepada si pembeli yang segera membayar.
          “Ambil saja kembaliannya.”
          “Terima kasih, Pak,” jawab wanita itu gembira.
          Selesai berbelanja ia keluar dari pasar dibuntuti Pradna. Perjalanan mereka menjauhi desa. Makin jarangnya manusia lalu lalang di jalan membuat pemuda itu kesulitan menyembunyikan diri. Selain itu ia juga mulai bosan. Senja menjelang, langit di ufuk barat memerah. Pradna memutuskan berhenti menguntit. Sebuah suara menahan langkahnya.
          “Anak muda, tempat tinggal saya sudah dekat. Jangan pergi dulu. Mampirlah sebentar.”
          Pradna membalikkan badan.
          “Saya memang tidak tahu tujuanmu, tapi saya yakin kau bukan orang jahat.” 
          Tatapan si orang tua berubah. Ia tersenyum.
          “Kau yang mengambilkan pesanan saya waktu itu. Siapa namamu, Nak?”
          “Pradna.”
          “Pradna, kau mau menemani orang tua ini dan singgah di rumahnya?”
          Yang ditanya tak menjawab. Sinar mentari makin temaram di sekitar mereka. Lawan bicara Pradna berkata membujuk.
          “Sebentar saja. Sudah lama saya tidak punya teman bicara.”
          Pradna ragu sesaat sebelum menurut. Keduanya berjalan beriringan. Beberapa menit berselang mereka tiba di depan sebuah rumah sederhana. Letaknya sangat terpencil dan sunyi. Laki-laki itu mendorong pintu yang tak terkunci dan menyilakannya masuk. Tampilan ruangan dalam lebih menyedihkan. Tembok kusam berjamur bahkan beberapa bagian atap berlubang.
          “Silakan duduk,” kata tuan rumah sebelum pergi.
          Pradna duduk di salah satu dari sepasang kursi, satu-satunya perabotan di tempat itu. Tak lama si lelaki kembali lalu duduk berhadapan dengan Pradna. Ia tersenyum.
          “Maaf bila rumah ini membuatmu tak nyaman.”
          Orang tua itu masih bicara, tapi Pradna tak mendengar lagi kata-katanya. Benaknya mulai berkabut. Udara sekitar terasa berat, menekan. Ia sulit bernapas. Satu kata menghujam sebelum kesadarannya hilang.
          Yuma!
          Pradna berjuang, memaksa mulutnya yang kaku berucap.
          “Pulang…,” desisnya.
          Mulut di depannya berhenti seketika. Pemiliknya bergeming.
          “Aku mau pulang,” kata Pradna lebih keras. 
          Tanpa sepatah kata, tuan rumah bangkit dari kursi, pergi ke belakang rumah kemudian kembali dengan dua batang obor menyala di tangan. Diserahkannya salah satu pada si pemuda. Pradna menerimanya dan berjalan bersama orang tua itu menyusuri jalan kembali ke desa. Beberapa saat berselang terlihat titik-titik pelita dalam gelap pertanda keduanya sudah sampai di tepi perkampungan.
          Dua orang berdiri menunggu. Cahaya obor yang dipegang menerangi wajah mereka. Pradna mengenali salah satunya. Laki-laki setengah baya bertubuh tinggi kurus dengan ekspresi wajah cemas dan gundah adalah sang kepala desa. Pradna memanggil, tapi suaranya terhenti di tenggorokan.
          “Mereka belum datang,” gumam si kepala desa.
          Lima menit berlalu. Melihat beberapa titik cahaya di kejauhan, orang yang datang bersama kepala desa berseru lega.
          “Itu mereka.” 
          Keduanya bergegas maju menyambut. Salah seorang dari rombongan yang tiba membawa sesosok tubuh tertutup kain di atas bahu yang kemudian diletakkannya hati-hati ke tanah.
          “Ketemu? Bagaimana keadaannya?”
          Wajah-wajah muram mereka telah menjawab pertanyaan kepala desa.
          “Di mana kalian temukan?”
          “Kami menemukan mayatnya di tengah hutan.”
          Sang kepala desa membungkuk lalu menyibak kain yang menutupi sosok yang terbaring di tanah. Pradna tercekat melihat dirinya yang terbaring di sana. Paras pucat pasi dengan kedua mata terpejam rapat itu adalah wajahnya. Ia berpaling ke samping.
          “Apa… apa yang terjadi?” tanyanya terbata.
          Tangan si orang tua bergerak, membuat lingkaran di udara. Bagai rekaman yang diputar ulang, di tengah lingkaran muncul adegan pertemuan Pradna dan dirinya.
          “Kau ikut dengan sukarela. Saya tidak memaksamu,” ucapnya tenang.
          “Tapi…,” bantah Pradna.
          “Makin cepat kau menerima kenyataan, makin baik.”
          Tanpa daya Pradna memperhatikan sang kepala desa dan mayatnya yang tergeletak di tanah.    
         “Begitu muda…,” desah kepala desa. 
          Ditutupnya kembali wajah itu kemudian memberi perintah pada warganya.
         “Bawa ke balai desa. Kita kuburkan besok pagi.”


Tentang Penulis



Daisy Rahmi kelahiran Manado, 30 April 1976. Daisy tinggal di JL.Rambutan no.39 G, Pejaten Barat - Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12510. Karya-karyanya telah dipublikasikan Majalah Kartini, Inilah Koran, Nova, Jawa Pos, Suara Karya, MayarRa, dll.

Tidak ada komentar