HEADLINE

MENGUKUR ANCAMAN TERHADAP PROFESI WARTAWAN DI ERA PERADABAN DIGITAL JURNALISTIK



Penulis: Riduan Hamsyah (crew simalaba.net)

Hampir pasti. Ancaman itu ada. Bahkan deras dan masif. Demikian yang saya simpulkan dari obrolan kami, bersama Ketua KWRI (Komite Wartawan Reformasi Indonesia) DPC Pandeglang, Asep Setiawan dan beberapa teman jurnalis. Suka atau tidak suka kita memang telah berada di ranah ini, sebuah ruang yang terpojok, dibatasi oleh garis sangat tipis perbedaannya antara jurnalistik dan media sosial. Ini sebuah peradaban ketika manusia di dalamnya (mungkin) tidak lagi membutuhkan karya jurnalistik serta lebih memilih postingan postingan di akun media sosial sebagai badai keberlimpahan informasi.

Sampai di sini, kita sebenarnya mulai berasumsi bahwa, adakah dunia kewartawanan sedang membangun batu nisan di pusara yang menunggu ancaman kepunahan? Ya, sebagian kita boleh menentang kalimat tersebut, tetapi tentu dengan majas yang berkorelasi dengan fakta yang ada, tetapi juga kita bisa lebih jauh memandang kalimat yang sangat bias antara jurnalis dan para pegiat medsos, faktanya publik lebih menerima postingan medsos ketimbang menscroll berita jurnalistik meski kita sama sama sudah berbasis online. Mungkin inilah yang saya sebut 'seleksi alam' pada tulisan pekan lalu.

Bayangkan, saat ini ada 135 juta pengguna Tiktok di Indonesia, itu belum termasuk platform yang lain seperti Youtube, Instagram, Twiter dan sebagainya, hebatnya, para konten kreator tersebut lebih memahami -ai- (artificial intelligence) meski tidak memiliki basic pewarta.

Lalu, bagaimana eksistensi kita sebagai para wartawan saat ini? Tentu cukup menarik untuk memetakan arah dan nasib yang bisa saja pelan pelan tengah mendegradasi kita ke sebuah tempat yang tak lagi beralamat. Era keterbukaan saat ini, menyulap imajiner orang banyak serta informasi telah menjelma sebagai industri, sementara kita masih meraba raba dalam labirin kebingungan yang kronis. Jangan sampai kita menyusul manusia manusia penjaga pintu tol yang keberadaannya tinggal kenangan, telah tergantikan oleh kartu tipis bernama 'e-toll' hasil produk dari bani artificial intelligence. Ini perkara rumit, kawan?! Sementara, hingga saat ini kita masih termangu akibat doktrin deras (rupanya) sukses memprogram alam bawah sadar kita. Dan, setelah terjaga, bisa jadi kita telah berada di hilir jauh.

Kita sepakat, bahwa dunia kewartawanan saat ini semakin sulit, di satu sisi kita ingin bertahan dengan komitment sebagai pegiat berita; menggali, mengelola dan mendistribusikan informasi tetapi di sisi lain (saya ulangi kalimat di atas) ada badai keberlimpahan informasi yang semakin ramai disuguhkan dari sudut berbeda, dan (tentu saja) publik lebih renyah mengunyahnya. Tulisan ini diturunkan agar sedikit mengusik lamunan kita tentang hari yang beranjak siang, tentang rencana rencana sendiri yang semakin tak terpahami, tentang zaman yang terus berderap dalam lompatan ke depan, tentang kebutuhan kebutuhan, tentang kita sendiri yang masih idialis dengan prinsif tetapi belum membangun sebuah konsep serta mindset baru yang lebih konstruktif, SALAM PEWARTA.

Tidak ada komentar