HEADLINE

PULANG KE SEBUAH RUMAH YANG TAK LAGI BANYAK PERCAKAPAN | Sajak Riduan Hamsyah |

Kucukupkan semua hasrat atas jagad buram temaram tubuhmu. Ingin berhenti, menghela nafas dan mulai berkemas. Menghindari jalan jalan ramai. Melipat rencana untuk kukembalikan pada muasalnya. Ingin merapikan hati, juga sela sela jari serta rasa ingin dipuji-permainkan bias cahaya memantul dari ruang paling kelam manusia; aku ingin hijrah!

Tetapi sajak sajakku akan selalu memuja ketulusanmu yang suci itu, mengajakku berlama lama di tempat ramai, menuai banyak dentaman dan guncang hingga aku gemetaran menentukan sikap terkesiap pada hari hari aneh. Jasad yang kotor ini, pastinya. Terus berendam hingga lebam, engkau menyimak setiap retak aku dari dekat, bahkan teramat dekat hingga pernah kuraba dengan sisa sisa bosan. Terkulai. Aku setelah itu. Melihat ruang terbakar hebat dalam diri yang berlanjut porakporanda.

Aku sakit. Berhari hari. Bahkan hingga satu purnama. Lalu kuputuskan untuk diam. Di sebuah tempat keparat, menelusuri labirin ini dengan sisa sisa tenaga seandainya asmamu tak kuhisap, niscaya aku akan semakin sesak terengah sebelum punah. Atau tertelan pusaran pikiran yang dikuasai banyak hikayat peperangan antara jasad jasad yang tak bisa teraba. Sangat ramai. Bahkan nyaris membentuk negara, orang orang ini kemudian secara damai kau suruh pergi dengan isyarat aku tak membutuhkan mereka lagi, sebab perang telah usai dan aku satu satunya pemenang atas perseteruan kian lantang sebagian dari mereka terisak meminta perlindungan, ah sungguh dahsyat.

Hingga aku terhuyung memanggil manggilmu dalam diam, dalam imaji timbul tenggelam. Tetapi aku adalah serdadu yang punya tujuan sekerat baja, sambil menahan rasa sakit yang hebat, gelombang badai bersautan mengurung dari segala arah. AKU kemudian kau raba kembali dengan jemarimu yang kemilau itu, jasad yang sudah terkapar, cuma sisa sisa nafas hampir saja tuntas oleh perang yang lantang dan rupanya diam diam engkau menghendakinya.

Kini di sebuah ruang yang baru, aku hampir pulih, tinggal sedikit saja luka dan sisa memar yang berdenyar berharap semua akan kembali tenang. Angin bertiup pelan. Suara suara diungsikan.

Hai, rumah singgah, sengaja kutulis sajak rindang sebab tak akan ada hikayat sesarat ini sebelumya ketika jalan hijrah telentang di atas pematang kesunyian bayang bayang diri. Melintasi sungai sungai suci. Aku telah menyentuhnya, meski ada sekelumit percakapan yang belum kita tuntaskan atas skandal dunia atas letup letup bencana begitu mengerikan ketika kau memperlihatkan semuanya dari muka jendela. Seleksi alam. Dan, aura kematian. Sampah-sampah berserakan menaburi bumi ini dengan segala silang sengketa yang tak kan pernah berujung hingga bergulung gulung gunung amarah kau hentak, gemeretak, guncang di sana sini tetapi keramaian tetap berjalan dengan dengus nafas jumawa menggelinding meniti tebing menghantam segala sasar terbakar.

Sungguh mengerikan. Ketika sebagian besar dari jagad ini akan mentertawakan aku atas sikap yang tak lagi lazim. Atas lambaian tanganmu yang membuatku pulang ke sebuah rumah, yang tak lagi banyak percakapan.

(Banten di penghujung malam-21022001)

Penulis: Riduan Hamsyah, pekerja seni dan konten kreator


Tidak ada komentar