HEADLINE

SELEMBAR MIMPI | Puisi Puisi Q Alsungkawa |


SELEMBAR MIMPI

Kita di sini saja. Di Bukitnanti, tempat memetak sebidang lahan, tempat mulan kawe dilepas pada ampas hutan. Sedikit menepi dari keramaian Kota yang saban harinya diteror pandemi
tentu bagi kita tak begitu paham dengan pribahasa itu
karena kita hanya mengenal aroma dari secangkir kopi panas
atau sepiring kukus perenggi sebagai fitzanya orang pinggiran yang kita panen sore tadi.

Kita nikmati saja, Shalimah, sebuah rasa yang mungkit sedikit aneh, ketika cuaca tak menentu
memandangi bukit yang dililit mendung, memindahkan keindahannya ke dalam tubuhmu
hingga manta ini berbinar
dan memaksa manusiaku yang paling kaku untuk menyelam ke telaga matamu yang berhiaskan pelangi itu.

Lihatlah mendung itu Shalimah, sebentar lagi menjadi hujan
tentunya ia akan menyapa kita dengan mengirimkan dingin sebagai cinderamata
agar kita berpeluk lebih jauh, menuntaskan sisa-sisa malam
yang pastinya, kita akan membinasakan segala ketidak pastian ini
lalu merakit tunas tubuhku, yang kelak akan lahir dari rahim puisi
dan menyebutnya selembar mimpi.

Sumsel, 11 Juni 2020.

LELAKI YANG BERPUNGGUNG CAHAYA

Ketika gelisah ini adalah firasat sebuah pintu
awal perjalanan menuju punggung cahaya
di sini, udara hambar
denyut nadi menghentikan peredarannya walau hanya sejenak
sebab kelebat dari tapak kaki ini
tak sedikit percikkan cahaya menancap di bukit yang memanjang (GM)
di situ pula sajak latah tak sempat dilepas ke pelataran.

Aku tak berkesempatan membaringkanmu pada peraduan ungu itu
tempat kaki-kaki langit menata seroja
dan tak rela kulerai catatan selamat tinggal
karena itu akan melukai tujuanmu.

Tentunya, hanya bisik-bisik senyap yang kuselipkan pada kantung doa
sebagai pembalut lelah
atau sebagai suluh ketika melintas pada lorong yang dibungkus bibit malam.

Aku sadari kepergianmu bukanlah sebuah kehilangan, tetapi kepergianmu adalah kepulangan kepada yang paling kau rindukan.

Hari ini aku tak menuliskan tentang air mata
sebab tak cukup kekataku untuk mengekalkan itu
tetapi, aku yang menyebutmu lelaki yang berpunggung cahaya.

Sumsel, 30 Juni 2020.

AKU INGIN PULANG SEBAGAI ANAK PELIANG

Aku ingin pulang ke Pekan Baru, menemui jejak di batu-batu
sekian lama kerinduan ini kita binasakan dengan kepura-puraan
padahal dada ini sesak, terengah mengemudikan kebisuan
sesungguhnya pecahan kata yang tak sempat kita pahami
membuat kita mengunci aroma daun sari.

Aku ingin kembali, bukan berarti aku telah memahami muasal kata itu
tetapi kepura-puraan yang kita rawat tak membuat kita bahagia
hanya melahirkan kegetiran dan mencoreng rahim Peliang.

Aku ingin kembali sebagai Anak Peliang, dan menceritakan tentang mendung yang tersesat pada labirin sipit di pelosok bola mata
sesungguhnya jasad ini tak pernah berganti nama
masih tetap sebagai terah Peliang, yang masih terdampar di ranah tualang.

Sumseul, 7 Juli 2020.

Tentang Penulis:Q Alsungkawa tinggal di Desa Ciptamulya Kec. Kebun Tebu- Lampung Barat, Lampung. Ia lahir di Tasikmalaya dan dewasa di Lampung Barat. Tulisannya berupa puisi dan cerpen pernah dimuat di sejumlah media, tergabung juga dalam buku MY HOPE 2017. EMBUN EMBUN PUISI (Perahu Litera)  MAZHAB RINDU (KPS Pandeglang-Banten) EMBUN PAGI LERENG PESAGI (Simalaba) EPITAF KOTA HUJAN (Temu Penyair Asia Tenggara di Padang Panjang) SENYUMAN LEMBAH IJEN (Kemah Sastra Banyuwangi) ANTOLOGI ANGGRAINIM, TUGU DAN RINDU (Pematangsiantar) JEJAK CINTA DI BUMI RAFLESIA (Bengkulu) SEPASANG CAMAR (Semarak Sasta Malam Minggu Simalaba) KUNANTI DI KAMPAR KIRI (Riau) ANTOLOGI PUISI UNTUK LOMBOK. A Skyful Of Rain, antologi Banjarbaru’s Raini Day Literari Festival 2018. BANDARA DAN LABA LABA (Bali). Pringsewu Kita (Lampung). PANDEMI PUISI (Yayasan Dapur Sastra Jakarta) dll. Saat ini aktif sebagai pengurus di Komunitas Sastra (KOMSAS SIMALABA) Lampung Barat.

Tidak ada komentar