HEADLINE

REMAJA DAN SOSIALISASI | Opini Rosni Lim |

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 4 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi media Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu) kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.comBeri subjek SASTRA SETIAP HARI. Program ini juga memberi ruang bagi sahabat pemula dalam dunia sastra agar tetap semangat berkarya (Belum berhonor) Redaksi berhak menyunting naskah yang masuk tanpa mengurangi maksud dan isi dari tulisan.



     Bu Erna tak mengizinkan kedua putranya yang sudah SMA bergaul dengan teman-teman di luar rumah. Sepulang sekolah, kedua putranya yang remaja 15-16 tahunan itu harus berdiam diri di rumah, belajar, mengerjakan PR, menonton televisi, bermain game, dan hanya keluar rumah/jalan-jalan bila bersama ayah, ibu, atau keluarga sendiri. Teman, tidak ada dalam daftar antrean.

    Alasan Bu Erna sederhana saja, dia takut kedua putranya yang menanjak remaja itu bergaul dengan teman-teman yang kurang baik, terkena pengaruh buruk, lalu ikut-ikutan menjadi nakal, bandel, atau jahat.

    Benarkah yang dilakukan Bu Erna itu? Walaupun tindakannya mengekang kedua putranya di rumah adalah tindakan kurang tepat, namun tujuannya baik, supaya putra-putranya itu tumbuh menjadi orang baik. Karena Bu Erna percaya, akan menjadi baik atau buruk kedua putranya kelak, tergantung dari siapa teman atau orang-orang di sekeliling mereka. Karena keluarga sendiri dianggap baik, maka kedua putranya pun diharuskan hanya bergaul dengan keluarga saja. Lalu, karena orang luar/teman dianggap kurang dikenal atau takut membawa pengaruh buruk, maka mereka pun dilarang berteman.

     Wah, kalau kita belajar pelajaran Sosiologi atau Ilmu Pengetahuan Sosial di sekolah, di sana ada dikatakan, manusia itu adalah makhluk sosial. Maksudnya manusia itu tak bisa hidup sendiri. Begitu lahir, dia sudah membutuhkan orang lain. Bayi yang baru lahir, pertama yang dilihat/dikenal/dibutuhkannya adalah ayah, ibu, kakek, atau neneknya. Lalu saudara, abang, atau kakaknya. Kemudian saat dia memasuki usia sekolah, dia pun dibawa ke sekolah dan mengenal/bergaul dengan teman-teman sekolah. Dia mengenal guru, teman sebangku, teman sekelas, sampai orangtua dari teman-temannya.

     Semakin besar akan semakin banyak temannya. Dari teman-temannya itu, dia  belajar banyak hal. Belajar mendengarkan/menyimak, belajar bercerita, belajar berbagi kesenangan, belajar mengalah, sampai belajar memberi. Bila dia tak mengenal yang namanya “teman”, maka dari siapa dia akan belajar semua itu? Dari orangtua atau keluarga sajakah? Belum cukup. Karena ada banyak hal atau pelajaran berharga yang hanya bisa didapatkan dari orang luar/teman.

     Kalau kita lihat apa yang dilakukan Bu Erna itu, hampir setali tiga uang dengan apa yang dilakukan orangtua zaman sekarang. Sepulang sekolah, putra putri mereka diberi les macam-macam. Tujuan tersembunyi orangtua, selain membuat putra-putri mereka pintar, jangan sampai tertinggal dari orang lain, mengikuti perkembangan/tuntutan zaman yang semakin banyak persaingan, juga adalah supaya mereka tidak keluyuran ke mana-mana.     

    Dengan diberi les macam-macam sepulang sekolah, otomatis waktu mereka tak ada lagi untuk bermain, bergaul, atau keluyuran. Jadi setiap hari hanya belajar dan belajar terus, tidak ada lagi waktu luang tersisa. Begitulah sampai mereka remaja dan dewasa. Tak heran, kalau kemudian mereka tumbuh menjadi orang yang tak mau tahu  keadaan di sekelilingnya/sekitarnya, karena mereka tak pernah dajarkan untuk menaruh perhatian. Yang mereka perhatikan hanyalah pelajaran sekolah dan les macam-macam itu, bukan orang-orang di sekelilingnya. Tak heran kalau kesan yang didapat dari remaja-remaja zaman now adalah acuh tak acuh, cuek, tak mau tahu, susah menjawab saat ditanya, asyik sendiri dengan gadgetnya, sampai tak punya rasa empati/simpati terhadap kesusahan orangtua/teman.

    Bila kita bandingkan dengan remaja-remaja zaman dulu, mereka tak perlu dijejali  berbagai macam les sepulang sekolah. Seperti layaknya manusia yang butuh sosialisasi/pergaulan, mereka bebas bergaul di luar rumah dengan anak-anak tetangga atau kadang-kadang saling berkunjung ke rumah teman sekolah. Mereka bepergian bersama ke tempat-tempat yang disukai  seperti mal, kafe, toko buku, sampai bioskop. Waktu bersama penuh dengan kegembiraan dan canda tawa. Bahkan, di saat bergaul dengan teman-temannya/bersosialisasi itu, mereka sudah belajar sendiri pelajaran kehidupan yang tidak diajarkan/didapatkan di bangku sekolah/bangku les.

     Usaha mensosialisasikan remaja-remaja zaman now yang lebih senang berteman dengan gadget atau menyerocos di media sosial daripada berteman dengan tetangga/ berteman di dunia nyata dan bicara dengan teman/orangtua, kadang dilakukan oleh guru di sekolah. Remaja-remaja usia sekolah itu disuruh kerja kelompok. Nah, dengan adanya tugas kelompok yang harus dikumpul seminggu berikutnya, mau tak mau mereka pun berkumpul bersama di rumah seorang teman misalnya, lalu sama-sama mengerjakan tugas itu. Begitu juga dengan orangtua yang “mengurung” putra putri mereka di rumah, harus mengizinkan mereka keluar ke rumah teman untuk kerja kelompok.

     Lalu, ada juga upaya dari guru untuk membuat siswa-siswi belajar bersosialisasi/menyatu dalam kelompok selain di sekolah. Misalnya, ada teman yang kemalangan, orangtuanya meninggal. Siswa siswi itu disuruh menyewa mobil angkutan umum untuk melayat ke rumah duka, memberi tanda dukacita sambil singgah sebentar. Mereka diajarkan untuk turut bersimpati pada kemalangan yang dialami orang lain/teman. Selain itu, bila ada teman mereka yang sedang menderita, misalnya dirawat di rumah sakit akibat demam berdarah atau akibat kecelakaan lalu lintas, mereka disuruh menjenguk ke rumah sakit bersama-sama sepulang sekolah. Tentunya untuk memberi semangat atau dukungan supaya teman yang sedang sakit/mengalami kecelakaan itu termotivasi untuk segera sembuh, bisa ke sekolah lagi bertemu teman-temannya.

     Bicara soal tindakan Bu Erna yang tak mengizinkan kedua putranya bergaul dengan teman-teman sepulang sekolah, sudah sepantasnya diubah. Remaja butuh teman, mereka butuh sosialisasi, membaur dalam kelompok/keramaian. Mereka butuh pergaulan dan  komunitas.

     Kalau sebagai orangtua takut putra-putri kita terkena pengaruh buruk yang diajarkan teman yang kurang baik, kenapa tak memilih teman yang kita rasa baik untuk putra putri kita? Bila dengan teman yang baik saja kita tak mengizinkannya untuk bergaul, dengan siapa lagi dia akan bergaul? Bisa-bisa kelak mereka akan menyalahkan orangtua yang terlalu mengekang kebebasan dan tak memberi kesempatan untuk bergaul, sampai-sampai mereka menjadi orang yang terlalu polos atau lugu di dalam masyarakat.

* * *

Tentang Penulis:
Rosni Lim, tulisannya diterbitkan di media cetak dan online




Tidak ada komentar