HOAKS DARI MASA KE MASA | Esai Muhamad Muckhlisin |
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 4 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi media Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu) kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.comBeri subjek SASTRA SETIAP HARI. Program ini juga memberi ruang bagi sahabat pemula dalam dunia sastra agar tetap semangat berkarya (Belum berhonor)Redaksi berhak menyunting naskah yang masuk tanpa mengurangi maksud dan isi dari tulisan.
Kekuatan sastra sebagai alat perlawanan bukanlah
sesuatu yang baru dalam khazanah literasi dunia. Perlawanan karya sastra
terhadap perbudakan di Amerika Serikat, seperti yang tertuang dalam film peraih
Oscar 12 Years a Slave, juga diangkat dari novel karya Solomon
Northup yang pernah terbit sejak tahun 1853. Hal tersebut menunjukkan betapa
karya sastra memiliki keampuhan daya juang untuk mendobrak kesewenangan dan
ketidakadilan yang diselenggarakan pihak penguasa.
Kendati demikian, di era medsos ini, proses
penyebaran berita bohong, hoaks, dan fitnah, dapat diorganisir secara masif dan
cepat. Ia dapat beredar seperti wabah penyakit manular dimana serum dan
penangkalnya sulit diproduksi secepat penyebaran wabahnya. Sedangkan, karya
sastra, membutuhkan jeda waktu dalam proses penalaran dan pemikiran hingga
mampu diakui oleh masyarakat luas. Di sisi lain, karya cipta untuk menulis
hoaks dan fitnah begitu mudah dan dangkal, tanpa membutuhkan penghayatan dan
perenungan yang mendalam.
Mendobrak
fitnah kolonial
Hanya enam tahun setelah Solomon Northup menulis
tentang nasib perbudakan yang dialami warga kulit hitam di Amerika Serikat, di
tanah jajahan Belanda (Hindia Belanda) muncullah karya sastra berjudul “Max
Havelaar” pada tahun 1860, yang ditulis oleh Multatuli. Novel itu menyangkal
kepercayaan yang sudah baku tentang arus kolonialisme, bahkan menggugat para
intelektual yang mengabdi pada kepentingan Barat, seakan-akan dunia Timur
adalah sah untuk diduduki. Teori dan alasan yang penuh tipu muslihat itu,
didobrak oleh Multatuli melalui karya sastranya, bahwa perlakuan tak senonoh
terhadap bangsa-bangsa Timur yang dianggap liar dan primitif, tak lain
merupakan berita bohong (hoaks) untuk mengesahkan “tugas suci” atas
penyelenggaraan kolonialisme oleh orang-orang kulit putih di Eropa.
Novel Max Havelaar, bagi saya sejajar dengan
gubahan karya sastra dari penulis Banten, “Pikiran Orang Indonesia”
(baca: Membangun Akal Sehat, Kompas 24 April 2018), seakan
menguliti dusta dan fitnah-fitnah kaum penguasa di Indonesia selama 32 tahun
militerisme Orde Baru. Kisah kehidupan Haris yang dikader dan ditatar sebagai
alat negara pada masa itu, menarasikan generasi muda yang menjadi korban
penjajahan dan ketidakadilan yang diselenggarakan para penguasa di negeri ini.
Ketika rakyat Indonesia menonton siaran televisi
yang menunjukkan seorang petinggi militer menyampaikan pernyataan politiknya
bahwa, “Masyarakat perlu tenang, karena keadaan di Timor Timur cukup aman
dan terkendali.” Bagi penulis novel Pikiran Orang Indonesia (selanjutnya
saya sebut ‘POI’), pernyataan politik penguasa itu, tak lebih dari hoaks dan
fitnah sistematis yang dirancang sedemikian canggihnya. Sebuah kabar palsu yang
disusupkan menjadi kepercayaan publik, untuk menutupi kebenaran fakta yang ada
di belakangnya.
Sebagaimana ambisi kolonialisme, dengan fitnah
pula mereka berjuang untuk meyakinkan dunia dan masyarakat di negeri
jajahannya, bahwa misi kolonialisme tak lain dari “misi suci”, hingga
diharapkan masyarakat dunia terus percaya dan memberikan dukungannya.
Perlawanan
karya sastra
Kepercayaan publik pada hoaks kolonial yang
sudah mengurat mengakar selama berabad-abad, akhirnya harus mengalami hukum
alam (sunatullah) yang menjadi keniscayaan bagi kejatuhannya.
Terbongkarnya kebohongan itu, persis laiknya karya Mishima (Jepang) tentang
Kuil Kencana yang begitu lihai menutupi kebobrokan dinasti Samurai selama
berabad-abad, namun kemudian, kuil megah dan mewah yang menjadi kebanggaan
masyarakat tradisional itu, harus menerima kenyataan runtuh dan hancur
berkeping-keping dalam kobaran api yang menyala-nyala.
Novel sejenis Max Havelaar sebagai
kekuatan sastra seakan tidak ada matinya untuk terus melawan hoaks. Karya-karya
seperti itu, mengikhtiarkan perjuangan yang tidak akan pernah berhenti setelah Indonesia
merdeka secara fisik, bahkan setelah kita memasuki era milenial ini. Kita pun
mengenal nama-nama Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, WS Rendra, hingga Wiji
Thukul. Melalui goresan pena mereka, kita semakin menganali karakteristik para
penguasa yang seakan berbeda dengan hakikat pemimpin yang berfungsi sebagai
penjaga amanat dan pelayan rakyat. Di masa kekuasaan Orde Baru, memang tidak
banyak sastrawan yang konsisten memperjuangkan keadilan. Meski demikian, mereka
mampu memperkenalkan kita, betapa timpangnya situasi-kondisi, antara pernyataan
resmi pemerintah dengan akurasi data dan fakta yang harus dipertanggungjawabkan
di ranah publik.
“Masyarakat perlu tenang, karena keadaan di
Timor Timur cukup aman dan terkendali.”
Fakta historisnya, ratusan ribu rakyat sipil
Timor-Timur telah terb***h oleh anarkisme militer Indonesia sejak aneksasi
wilayah teritorial mereka (1975). Hingga akhirnya, kita dipermalukan dengan
kekalahan telak dalam referendum di tahun 1999 lalu. Terkait dengan itu, ketika
majalah Jakarta-Jakarta melaporkan berita tentang kerusuhan di
Santa Cruze (1991), serta-merta majalah itu dibredel, sampai kemudian pemrednya
sendiri, Seno Gumira Adjidarma memilih untuk menulis sastra dalam kumpulan
cerpennya yang berjudul “Saksi Mata”.
Ketika jurnalisme dibungkam maka sastra harus
berani tampil ke depan. Karena pada prinsipnya, karya jurnalistik bicara dengan
fakta, sedangkan karya sastra bicara dengan kebenaran berdasarkan imajinasi dan
hati nurani penulisnya. Meskipun sebuah fakta dimanipulasi bahkan ditutup
dengan tinta hitam, tetapi kebenaran akan tetap tampil ke permukaan.
Boleh-boleh saja buku sastra dibredel dan diembargo, bahkan oligarki
kesusastraan dikuasai oleh rezim pemodal tertentu, tetapi kualitas sastra yang
baik akan menyatu bersama udara, menyibak kabut hingga menembus ketinggian
langit.
Kita mengingat ucapan sang maestro WS Rendra:
"Saya menulis sajak dan puisi, dengan bahasa yang tidak mengawang-awang
seakan hanya dinikmati oleh penulisnya, tapi dengan bahasa yang lugas dan jelas,
meskipun tidak mengurangi kedalaman makna yang terkandung di dalamnya."
Karya
Pramoedya Ananta Toer
Dalam konteks melawan hoaks dan fitnah kolektif,
data-data yang disodorkan Pramoedya begitu teliti dan akurat, seolah
menciptakan benteng pengamannya sendiri. Lewat penuturannya yang naratif dan
kontemplatif, karya-karya Pram mengajak pembacanya agar menyibak langit-langit
pengetahuan seluas-luasnya, agar tak mudah terkecoh atau dikecohkan oleh
pernyataan politis dari pihak penguasa. Dengan kata lain, ketika wawasan
manusia terbuka terhadap segala pemikiran, maka hoaks dan fitnah tidak akan
mendapat tempat dalam ranah kalbu dan hati para pembacanya.
Karya-karya Pramoedya tidak berada di ruang
hampa. Ia merupakan produk sosial suatu masa yang berusaha menyampaikan
kebenaran, menggugat ketidakadilan dengan bahasa yang sastrawi. Lewat
karya-karyanya, ruang-ruang kesadaran dibuka. Perspektif baru dikemukakan.
Seperti halnya membaca novel POI, setiap pembaca diajak berpikir terbuka dalam
bentang wacana yang tidak dogmatis. Ada masanya kehidupan religius ditampilkan,
tapi sama sekali jauh dari kesan primordial dan intoleran. Pada waktunya nanti,
boleh jadi novel POI – sebagaimana karya Pram – tidak hanya menggerakkan
satu-dua orang, tetapi membangkitkan kesadaran serta mengajak bangsa Indonesia
agar introspeksi-diri atas kesalahan dan dosa-dosa kolektif yang telah
diperbuatnya di masa lalu.
Jauh sebelum itu, hanya satu buku berjudul “Max
Havelaar” telah memberikan contoh konkrit, betapa ajaibnya peran dan fungsi
sastra untuk membangkitkan kesadaran jutaan manusia di muka bumi ini. Berkat
buku itu pula, peta politik dunia telah mengubah dirinya, setelah para penguasa
kolonial dipaksa agar mengubah mindset dan pola pikirnya. Para
intelektual dan pemikir progresif di Belanda bergerak untuk memaksa pemerintah
agar menjalankan politik etik di negeri-negeri jajahannya. Mulai sejak itulah,
berkat kekuatan karya sastra, wajah kolonial telah mengalami perubahan.
Selain itu, di samping alat perjuangan untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan, gaya pewartaan dalam karya sastra mampu
menghaluskan perasaan dan menajamkan intuisi pembacanya. Bila kita menikmati
narasi-narasi dari novel POI, nampak bahwa kita – selaku pembaca – seakan tidak
hanya digerakkan oleh nalar, melainkan juga oleh hati kita. Itulah mengapa
karya sastra dengan rupa-rupa alegori dapat membantu pembacanya agar
memperhalus perasaan untuk konsisten mencintai kemanusiaan.
Jika sudah demikian, bagi para pecinta karya
sastra, fenomena hoaks dan fitnah hanya akan menjelma sebagai pendusta kerdil
dan picik, yang tidak ada pengaruhnya dalam benak dan pikiran pembacanya.
Muhamad Muckhlisin, pemenang pertama penulisan cerpen nasional yang diselenggarakan Rakyat Sumbar 2017), aktif menulis esai dan cerpen di berbagai media nasional dan media daring.
Tidak ada komentar