HEADLINE

ANTARA AKU, CINTA DAN PERMEN KARET_Cerpen Adi Zamzam (Semarak Sastra Malam Minggu)

SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU : EDISI 34

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), cerpen dan cernak (minimal 5 halaman A4) untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam. kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. Apabila dalam 2 bulan naskah tidak dimuat maka dipersilakan mengirimnya ke media lain.
(Bagi karya yang dimuat malam minggu diberikan honorarium sepantasnya)


Aku melihat diriku di situ. Di dalam stoples bening bertutup biru. Bulat, licin, dengan aneka warna menggoda. Kadang aku merasa adalah si merah muda yang memancing mata, aku merah menyala yang menggoda liur, atau juga si hijau yang membuatmu lupa pada daun-daun di pekarangan sana.

Saat seorang bocah lelaki menunjuk-nunjuk ke arah stoples itu dengan keinginan yang amat kuat, saat itulah aku mulai menemukan bayang-bayang cecunguk itu.

Gunawan adalah pemuda tampan dan banyak duit, sehingga mudah saja baginya mendapatkan cewek. O, hanya dengan membunyikan klakson moge-nya, berpasang mata gadis akan langsung berbinar-binar mengarah padanya. Hanya dengan melambaikan tangan dari dalam sebuah café, aku yakin beberapa gadis akan langsung terbirit berebut kursi di dekatnya. Tapi entah kenapa dia justru memilihku. Padahal aku adalah satu-satunya yang berwarna ungu violet, yang tersembunyi, dan paling bawah di dalam stoples itu. Aku si paling aneh di antara para gadis-gadis manis itu.

“Kau dapat ini darinya! Gila! Kau pemenangnya, Nun! Kaulah pemenangnya!” suara Nina mengusikku, mengingatkan bahwa di luar sana sebenarnya telah ada sebuah perlombaan konyol di antara para dungu yang cantik. Sebuah buku kumpulan puisi karya Joko Pinurbo titipan Gunawan ditujukan kepadaku.

“Dari mana dia tahu kalau aku suka buku?” terutama puisi? tanyaku, yang sebagiannya tertahan dalam hati.

Aku tak begitu mendengar jawaban Nina kemudian, lantaran sebuah puisi nakal keburu berhasil menculikku ke dalam dunianya yang sublim…

Puisi telah memilihku menjadi celah sunyi
Di antara baris-barisnya yang terang
Dimintanya aku tetap redup dan remang 

Puisi itu seperti membicarakan diriku. Aku seperti tengah melihat diriku sendiri di depan cermin. Seorang gadis, yang menyukai buku-buku dan suasana sepi, yang senang mencungkil quote-quote indah untuk kemudian ditimbun dalam sebuah buku diari, hingga dunia yang redup remang senantiasa tersinari lentera.

Dan ketika aku menoleh ke arahnya di sebuah papasan singkat yang tak terencanakan, dia melambaikan tangan. Membuatku terang sebentar, namun kemudian kembali meremang. Untunglah hanya beberapa mahasiswa yang memergoki adegan sinetron tersebut.

Aku trenyuh ketika ibu si bocah berusaha menolak keinginan itu. Apalagi ketika si bocah mengeluarkan jurus mautnya; menangis. Membuatku semakin trenyuh dan sedikit jengkel ketika melihat ibu penjaga toko yang justru memprovokasinya dengan sebuah tawaran, “Pilih yang mana, Dek?”

Aku seperti melihat kegigihan Gunawan lagi di sana. Ketika ia tiba-tiba saja berubah menjadi sosok lain. Sudut demi sudut gedung kampus pun mulai penuh dengan suara gunjingan tentangnya. Ia terlihat sering memegang buku—terutama buku-buku sastra.

“Aku tahu kau adalah sunyi,” ujarnya dengan senyum, ketika tiba-tiba menjejeriku di bangku perpus.

“Maaf…,” aku pun buru-buru menyingkir, menyelamatkan hatiku dari bising.

Ia mengejarku ke bangku lain. “Tak bolehkah aku menjadi puisimu, agar sunyimu menjadi terang dan riang?” ujarnya tanpa malu. Meski sebenarnya seperti bunyi kentut di telingaku.

Tapi ia tak pernah kapok.

Aku mulai enek melihat segala tingkahnya yang dibuat-buat. Seperti aspartam. Apa ia pikir aku tak tahu apa bahaya aspartam? Lama-lama, aku justru melihatnya seperti kanker.

“Tahukah kau, bahwa sebenarnya Romeo and Julietnya Shakespeare itu tidak original?” ujarnya, pada suatu kunjungan yang tak kunyana. Aku menoleh, mencari maksud-maksud tersembunyi di dalam matanya.

“Oya?”

Wajahnya langsung riang setelah jawaban itu. “Kalau kau pernah membaca Mitologi Yunani, cerita aslinya ada di situ. Semuanya berawal dari kisah cinta Pyramus dan Thisbe, yang menjadi sebab buah prambus yang semula berwarna seputih salju kemudian berubah menjadi semerah d4r4h…”

Dan begitulah. Dia mengatur nada suaranya setenang dan sesimpatik mungkin. Ketika Pyramus dan Thisbe akhirnya nekat menerabas tembok perseteruan keluarga besar mereka melalui sebuah pertemuan rahasia di sebuah hutan.

Thisbelah yang mula-mula teperdaya olah takdir. Dalam gelisah penantiannya di Makam Ninus, tiba-tiba ia melihat seekor singa betina yang kuku-kukunya berlumuran d4r4h. Dengan patah hati yang teramat sangat, larilah ia dari singa itu, hingga mantelnya terjatuh. Dan tentu saja, mantel itulah yang kemudian menjadi korban berikutnya.

Korban selanjutnya tentu saja adalah Pyramus. Pemuda ini menganggap kekasihnya telah bin4s4. Akulah yang sebenarnya telah menghabisimu, ujar Thisbe putus asa. Hingga beberapa menit kemudian ia pun memutuskan mengakhiri hidupnya di bawah pohon mulberry yang menjadi saksi bisu peristiwa tersebut.

“Kau tentu bisa membayangkan endingnya kan? Ketika Thisbe yang tak ingin mengecewakan hati kekasihnya akhirnya memutuskan kembali ke tempat itu…,” lanjutnya dengan nada sedih.

Sepertinya, sejak saat itulah dia berhasil mencuri perhatianku…entah karena alasan apa, aku masih mencari-cari hingga detik ini…apakah ini yang disebut, bahwa cinta tak butuh alasan? Tapi entah mengapa hatiku selalu ingin mencari-cari sebuah alasan, alasan apa yang pantas.

Seperti halnya anak kecil yang akhirnya berhasil mendapatkan permen karet warna ungu violet yang berdiam di dasar stoples itu, dia pun mengunyahku. Aku tak yakin apakah rasa yang melingkupiku saat itu adalah cinta atau bukan. Aku bahkan pernah merasa curiga bahwa aku sedang dipermainkan. Seperti halnya permen karet dalam mulut bocah lelaki itu, apakah ia bisa tahu jika si pengulumnya sedang tersenyum atau enggak? Lantaran ia sudah berada di dalam mulut, baginya itu sudahlah kegembiraan.

Kuakui, memang ada sedikit kegembiraan yang merambati dinding hati. Setidaknya, gadis sepertiku, yang sering diolok-olok hanya akan laku makhluk ‘sejenis’, ternyata laku juga oleh makhluk semacam Gunawan. Ia bahkan rela bermetamorfosis demi diriku.

“Kamu sehat enggak sih? Itu Gunawan lho! Gunawan!” Nina pun berusaha meyakinkan, bahwa bintang baru saja jatuh ke pangkuanku.

Aku memang mulai tersanjung, mulai merasa bahwa diriku beruntung. Meski perasaan itu mulanya tumbuh dari rasa biasa-biasa saja bahkan rasa tak percaya.

Kami pun mulai pacaran. Kalian tahu kan, pacaran?

Kami menonton ke bioskop bersama. Kami ke pameran buku bareng. Ia mengajakku ke pameran lukisan. Kami sering makan bersama. Dia sering menghampiriku di kos-kosan, hingga semua orang pun percaya bahwa kami memang sepasang kekasih.

Hatiku juga sudah mulai terpaut dengannya. Seperti es krim yang leleh akibat cuaca panas. Ketika kesepian, aku mulai senang berkirim SMS untuk mendapatkan perhatiannya. Terutama ketika hati sedang dilanda galau. Rasanya memang sedap sekali saat selalu mendapatkan perhatian penuh. Aku merasa seperti seorang putri. Terlebih ketika dia mengulang dan mengulang tentang pernyataan cintanya kepadaku.

Aihhh…cinta, betapa kau bisa menipu siapa saja.

Iya. Menipu. Kok bisa?

Ceritaku ini belum selesai. Lihatlah bocah lelaki yang tadi merengek minta permen karet itu. Sekarang dia tengah mengunyahnya. Asyik mengunyahnya, dengan penuh semangat, dengan penuh suka cita.

Aku seperti melihat diriku di sana, di dalam mulut itu. Ya, akulah si permen karet itu. Rasa manis dan warnaku yang menggoda itulah yang menyebabkan ambisimu untuk mempermainkanku. Sudut pandang ini aku dapatkan ketika Teguh—salah seorang sahabat Gunawan membocorkan rahasia itu kepadaku.

“B0d0h sekali kalau kau masih mengharapkannya,” ujarnya dengan maksud yang sulit kuterjemahkan. Tiba-tiba, dia tiba-tiba datang kepadaku.

Aku menatapnya tak suka. Apalagi ketika hari-hari berikutnya aku juga mulai melihat sinyal yang sama padanya. Teguh, anak kecil yang menginginkan permen karet.

“Di sana dia sudah punya pacar lagi. Namanya Winda, sama-sama anak pribumi juga. Bukankah dia sekarang sudah jarang membalas segala bentuk perhatianmu?”

Entah dari mana dia tahu.

“Tentu saja aku tahu. Apa kau pikir aku tak paham kepada siapa puisi-puisimu ditujukan?”

Aku bahkan baru tahu jikalau ada yang menguntit puisi-puisiku di koran. Keganjilan itu pun kemudian aku konfirmasikan ke Gunawan. Dengan sedikit perasaan emosi, aku desak ia untuk jujur. Hingga kemudian aku merasa hubungan kami memang akan berakhir di jalan buntu. Bagaimana bisa? Aku menunggu penuh kesepian di kota kecil bernama Jepara, sementara ia telah mendapatkan pendidikan dan penghidupan yang layak jauh di belahan dunia lain sana. Twitter dan Facebook pun hanya menjadi corong harapan semu semata.

Aku sempat menangis. Semalam suntuk. Sebagiannya untuk jalinan kisah yang telanjur terjadi itu, sebagiannya lagi untuk keb0d0hanku sendiri. perasaanku karut-marut setelahnya, tentu saja sebelum aku melihat nasib permen karet di dalam mulut si bocah lelaki ini.

Lihatlah itu, lihat, ketika dia mengunyah dengan segala rasa suka dan nikmat. Ia seperti tengah menikmati sebuah permainan—yang keseruannya mengalahkan peringatan bahaya dari sang ibu. Permen karet itu dikunyah, dilempar ke sana - ke mari oleh barisan geligi nan indah dan lincah, disesaplah manisnya, hingga kemudian hanya sisa sepah yang hambar dan sampah.

Akulah si permen karet yang malang itu. Segumpal rasa manis yang setiap orang ingin mencecapnya meski barang sejenak. Tak hanya Gunawan, aku tahu bahwa Teguh pun tergoda meski aku tak pernah secara sengaja menebarkan pesona. Cinta, mengapa kau begitu mudah diperalat oleh siapa saja?

“Sebenarnya aku sudah ingin memperingatkanmu sedari dulu. Saat itu aku juga menjadi saksi tatkala ia bertaruh di hadapan kami, bahwa kau adalah sasaran termahal dan terbaik, lantaran kami sudah tahu sifat dan karaktermu.”

“Kenapa saat itu kau tak memperingatkanku?” tanyaku dengan nada sinis.

Wajahnya berubah sendu, “Kupikir kau takkan mudah takluk begitu saja. Semuanya benar-benar di luar perkiraanku,” kedua matanya menemui kedua mataku. “Dan setelah sekian lama, sepertinya aku tak tega melihatmu terus-terusan dalam keadaan seperti itu…”

“Terima kasih,” ujarku, ingin segera mengakhiri percakapan yang menyakitkan ini.

Dan setelah jeda waktu yang cukup kemudian, dan setelah hari-hari penyembuhan kekecewaan kemudian, aku terus saja berpikir, hingga kemudian bertemulah aku dengan bocah yang menginginkan permen karet ini.
* * *

Sore hampir saja berakhir dengan gelap yang hampir menutupi semesta langit jingga. Minuman kami juga sudah tandas. Kami masih saja membisu dalam suasana canggung, sebelum akhirnya kuputuskan untuk mengakhiri kebersamaan yang absurd ini dengan mengambil kembali tas coklatku yang tergeletak pasrah di dekat lembar menu makanan.

“Kau mau pulang sekarang?” Teguh terdengar sedikit gugup. Entah mengapa.

“Iya. Hari sudah beranjak gelap.”

“Tunggulah sebentar…”

“Ada apa?”

“Setelah ketiadaan Gunawan, apa kau tak pernah berpikir tentang orang lain? Terus terang, saat Gunawan bergerak mendekatimu, ada banyak hal yang aku pikirkan tentang dirimu. Bahkan hingga sekarang…”

“Apa kau ingin mengajakku menikah?” tatapku serius.

Sudah kuduga, tiba-tiba saja ia langsung membeku, tak berani menemui kedua mataku lagi.

“Maaf, aku bukanlah permen karet. Tapi jika dirimu benar ingin mengajakku menikah, akan aku pikirkan juga dirimu.”

Aku pun beranjak dari meja rumah makan itu dengan ketenangan yang luar biasa.

Kalinyamatan-Jepara, 2016.



Tentang Penulis:

Adi Zam Zam, tulisannya berupa, cerpen, puisi cernak dll tersebar terbit diberbagai media cetak tanah air, sering memenangkan berbagai even menulis. Bersama kawan-kawan, saat ini sedang aktif mengawal berdirinya sekolah kepenulisan ‘Akademi Menulis Jepara’. Antologi terbarunya "Menunggu Musim Kupu-kupu" 2018

Tidak ada komentar