HEADLINE

ORANG ORANG YANG KEMUDIAN DITINGGALKAN_Oleh Remang Bintang


Di tanah ini, tiba tiba ada sekumpulan orang datang memukul lengang. Membawa kata kata remang. Membawa keriuhan. Meniup terompet. Menabuh tiang tiang listrik di pinggir jalan, berteriak, melolong, menghardik siapa saja yang berpapasan sambil memancarkan sorot mata ular. Mendesis. Meliukkan tarian aneh. Tarian liar sekawanan ular.

Tiba tiba pula, di tanah ini, jadi terasa ramai padahal sebelumnya sangatlah sepi. Tetapi bukan ramai oleh rasa damai. Melainkan karena rasa gaduh. Menghentak penjuru dada kami, memaksakan rasa pahit, rasa patah dan mereka (orang orang yang baru saja datang itu) merenggut nuansa sepi yang telah sejak lama kami cintai. Membakarnya. Hingga terbit pesta pesta yang disuguhkan untuk tanah ini. Gemuruh untuk tanah ini. Menggaduhkan tanah ini.

Debu debu mencelat ke udara serupa terhantam kaki kaki kuda. Suara bising menggeletar mengusik seluruh penguhi belukar membuat semak berderak, kantung kantung tempat sunyi membaringkan diri pecah berantakan, isinya berserakan berkeping keping jatuh ke tanah. Menjelma tumpukan tumpukan sampah, aroma bau, mengitari tanah ini bergelantungan di leher saudara saudara kami, di sepasang bola mata kami.

*****
Kami. Ya, kami cuma orang orang tepi, di tanah ini membangun kebun. Menanam kata kata. Mengumpulkan serak pikiran yang lama mengelana sedemikian jauh pada ranah entah pada rasa yang nyaris hilang dari rumpun kami sebagai anak anak yang lahir dari rahim para pekebun pula, sebelumnya. Saudara saudara kami juga sepakat untuk mulai bicara melalui isyarat diam. Menyemai hasrat serta bait bait yang tersusun tata dari selaksa perasaan bergelantungan dalam sejuk jiwa dinamis mengikis sentimen kami semua terhadap nasib jadi cahaya memantul ke udara biasnya bertaburan di wajah kami yang sejak lama telah mencintai gugusan sepi. Kami bukan sekumpulan koloni yang banyak itu. Cuma segelintir jiwa berpilin labirin mengetuk segala mungkin di tengah perajalan ilham yang begitu menikung ke arah licin. Di tempat ini pelan pelan terkunci atau mengunci diri menjadi kepak sayap nyamuk mengelana setiap sudut kalimat larat, kadang pula serak di tenggorokkan setelah berkali kali gagal dimuntahkan. Di tempat ini rasa damai itu pelan pelan mengalirkan kami mengayun kami dengan nuansa ombak kecil saja membasahi tubuh kami dengan ciprat hangatnya menarik tubuh kami untuk berenang dan tenggelamkan pelan di pusara imaji yang lama lelap dalam tidur panjang terlentang.

Sungguh, dahulu, kami mulai merasa damai!

Sebelum sekelompok orang datang membawa keriuhan menggeletarkan banyak kata kata dan kemungkinan yang bisa mengubah segalanya menjadi kota kota berdetak menjadi gelegar safari mengubah peta rencana bereinkarnasi jadi belahan pelabuhan. Orang orang itu menetas dari rahim gunung tempat selama ini wibawa kekuasaan ditancapkan auranya menjalar ke seluruh penjuru lembah mengubah tempat tinggal kami pemukiman kami merupa keramaian pasar tempat orang orang berdagang dan menggantung harga membincang angka angka padahal kami sama sekali belum pernah berpikir dan tak ingin berpikir tentang angka. Hai, apakah sebenarnya angka itu? Siapa pula yang pertama menciptakannya?

Tanah ini berhawa sejuk dengan rasa dingin menusuk membuai orang orang di dalamnya dengan rayuan mimpi sepanjang malam legam dan pagi datang menyuguhkan kabut tipis di depan pintu, mengetuk pintu itu, kemudian terbuka rasa dingin ini mengonyak selimut di rumah menyulapnya jadi salju dan butir butir embun yang beku. Konon, di tanah ini, pernah ada orang orang yang serupa dengan kami, tetapi mereka telah lama pergi dan tak pernah sesekali pun mengirimkan isyarat pulang itu sebab kesunyian telah menjadi tugu-tugu beku di perempatan jalan di lorong lorong kampung di hulu sungai, di perbatasan dengan wilayah kemungkinan. Orang orang telah lama tak pernah lagi melihat larik puisi di halaman surat kabar. Tak ada cerita cerita rakyat yang pernah melegenda itu tak ada anak anak bermain teater jalanan tak ada buku buku dan kisah sebuah bukit yang ditelan kabut pagi serta selaksa dingin yang terkunci. Di tanah ini, sejak kami dan saudara saudara kami mulai belajar berkata kata, tak ada tempat mengungsikannya dan kami telah mempertimbangkan ini sejak jauh hari menyiapkan ruang untuk siar agar hasrat tergurat menemukan muara. Kami benar benar pekebun kata kata yang mandiri yang tak pernah berkeinginan untuk meraih belaskasihan dari siapapun. Kami menulis puisi puisi ragu di daun daun beku menulis cerita cerita lugu di tembok alam membentang sekian lama sudi membaca kami sebagai kemungkinan yang bisa saja tersengat tajam matahari. Kami membangun pemukiman pada halaman buku buku tua mereguk sejarah pujangga baru yang begitu hebat itu mencari cari pintu yang pernah selaksa kali diketuk Khairil Anwar itu melibas jalan bersemak yang pernah terinjak kaki Rabendranat Tagore dan Kahlil Gibran itu, ya, kami mencarinya ke mana saja untuk melengkapi kamus diri dan melengkapi perbendaharaan sejarah tanah ini melanjutkan budaya ini. Kami memang bukan siapa siapa selain dengung di punggung gunung sisa angin yang tertinggal dari kawanannya sisa sisa luka yang dipelantingkan media media kota, yang megah, yang pongah, yang meninggalkan orang orang tepi. Kami Kemudian menjelma sebuah pemberontakan kecil saja. Menjelma sebuah sungai yang kecil saja yang ingin mengalir sendiri menuju laut dan samudera kami sendiri menuju diri kami sendiri menuju karakteristik kami sendiri menuju kesejatian kami sendiri membentuk kampung dan kalangan kami sendiri yang begitu dinamis dan mandiri.


Tetapi orang itu, yang membawa keriuhan itu, yang membawa aroma kekuasaan itu datang dengan kemungkinan lain. Memukul tiang-tiang listrik di tepi jalan membakar kembang api menyalakan ribuan petasan meneriakkan badai dan seperangkat sejarah badai tersebut melepas koloni kemungkinan agar tanah ini bergetar hebat menjadi cahaya membakar segala sudut yang pernah di huni sunyi berkepanjangan membentangkan spanduk spanduk juga ornamen panggung mengundang banyak orang dari wilayah lain untuk minum dari sungai sungai yang selama ini kami minum mencerup telaga tempat selama ini kami mandi sekaligus menyucikan diri. Orang orang itu juga bergerak seperti kilat memusnahkan jalan setapak menggantinya dengan aspal dan beton membelah tebing yang runcing dengan kata kata (yang sebenarnya aneh) di telinga kami tetapi sebagai (pekebun) kami, dan saudara saudara kami, cuma bisa diam tertegun menyaksikan embun yang selama ini beku menemani kami dengan selaksa kedamaian itu pecah berantakan merupa debu debu beterbangan ke angkasa sana menutupi pandangan mata kami ke arah langit ungu mengubur kicau angin yang nyanyi pelan pelan menutup jalan setapak tempat selama ini kami bergandengan tangan dengan kedamaian.

Orang orang itu telah menguburkan sejarah kami yang memang belum sempat menjadi sejarah yang utuh itu. Membuat kami terdiam. Termangu. Sejenak membisu.

Tetapi kami ingin tetap mengalir jadi sungai yang kecil saja jadi angin yang tak pernah diam selalu hendak bergerak jadi suara suara yang tak mungkin pernah dapat dihentikan jadi kalimat kalimat jelek yang selalu ingin meledak di udara terbuka bersama remang remang bintang berpijaran. Kami, dan saudara saudara kami, akan senantiasa mencintai sunyi meski sekelompok orang telah membakarnya memporakporandakannya mengelana bersama senyap ruh belukar tempat burung burung prenjak bermukim mengembarakan pikiran hingga tiba pada kantung kantung bentuk sembunyi mencari kemungkinan yang selama ini kami cari meski pemukiman itu kini sedikit gaduh oleh suara suara orang orang itu meski jalan setapak terkatup meski selaksa panggung dan segenab ornamennya telah di bentangkan meski spanduk spanduk berisi slogan telah dikibarkan di setiap sudut jalan kami ingin terus mengalir (pelan saja) mengemasi sisa sisa sunyi.

Di tanah ini, kami, dan saudara saudara kami, ingin menenggelamkan diri pada senyap yang lindap. Pada udara yang terbuka. Ya, kami ingin hidup, dalam sebuah kesejatian saja.

(Penulis, seorang penikmat puisi, meski ia baru beberapa minggu saja belajar menulis puisi dan tak pernah bercita cita jadi orang yang dikenal)

Tidak ada komentar