HEADLINE

PEREMPUAN YANG TERJEBAK DALAM KENANGAN_Cerpen Adam Yudhistira(Semarak Sastra Malam Minggu)

SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU : EDISI 37

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), cerpen,cernak dan artikel (minimal 5 halaman A4) untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam. kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. Apabila dalam 2 bulan naskah tidak dimuat maka dipersilakan mengirimnya ke media lain.
(Bagi karya yang dimuat malam minggu diberikan honorarium sepantasnya)


Sebagian orang berkata, kehilangan adalah sesuatu yang sanggup mengoyak kewarasan. Dan, mungkin itulah yang telah terjadi pada Katrina. Waktu yang berputar tak pernah bisa menukar ingatannya pada Eymard. Di saat pikiran jernihnya mengalir, ia sering menuturkan cerita-cerita masa mudanya pada Hollie, putri semata wayangnya. Ia menuturkan dengan detail bagaimana ia berjumpa pertama kali dengan Eymard.

Katrina yang ketika itu bekerja sebagai perawat di Berlin, berjumpa dengan seorang tentara muda yang sakit-sakitan karena demam yang ia bawa dari Indocina. Cinta hinggap di hati mereka dengan mudah. Pada sosok Eymard, Katrina menemukan segala yang ia inginkan dan menerima begitu saja ketika laki-laki itu menyatakan niat untuk menikahinya.

“Tapi, saat umurmu belum genap satu tahun, papamu diambil paksa dari kehidupan kita, dan tidak pernah dikembalikan.”

Itulah saat Katrina menghentikan semua ceritanya lalu menutup wajah dengan telapak tangan. Ia akan menangis tersedu-sedu, hingga bahunya bergoncang-goncang. Jika sudah begitu, biasanya Hollie akan memeluknya. Dalam tangisannya, Katrina akan meng*t*k dan menc*c* per*ng yang ia anggap telah mencuri Eymard, cinta paling besar dalam hidupnya.

Bagi sebagian orang, bersetia pada kekasih yang hilang adalah hal kej4m pada diri sendiri, sebagian lagi menyebutnya sebagai keb*d*han. Namun bagi Katrina—yang di hatinya bersemayam cinta yang begitu besar kepada Eymard—ia merasa lebih kej4m jika membiarkan hatinya diisi orang lain. Sejak kepergian laki-laki itu, Katrina memilih hidup sendiri dan membangun kuil di hatinya sebagai tempat untuk terus-terusan mendoakan kepulangan suaminya.

***

Siang itu, Katrina kembali mendatangi Zur Letzten Instanz. Restoran itu masih seperti dulu, hampir tidak ada perubahan yang berarti. Setiap akhir pekan, ia datang dan berharap masih bisa melihat bayang-bayang Eymard di sana. Ia menyukai langit-langitnya yang dihiasi lampu gantung kristal yang selalu menyala. Kursi dan mejanya yang bahkan seperti tak pernah diganti. Suasana itu selalu berhasil membawa Katrina ke masa lalu.

“Restoran ini menyimpan diorama romantik yang tak pernah lekang oleh waktu,” ucap Eymard ketika itu. “Di sini Ludwig von Beethoven pernah menulis simfoni untuk Countess Therese Malfatti.”

“Dan di sini pula, Eymard dan Katrina berkencan pertama kali,” jawab Katrina disusul tawa Eymard yang berderai.

“Kelak, jika kau merindukanku, datanglah ke sini,” ujar Eymard. “Aku pergi kali ini mungkin sedikit lama.”

“Tapi kau akan kembali, bukan?”

Eymard tak memberikan jawaban. Ia hanya menggenggam jari-jari Katrina begitu erat, mengangguk tapi tidak menjanjikan apa pun. Dan sekarang, di tempat yang sama, Katrina duduk seorang diri dengan perasaan hancur. Setelah beberapa saat, ia melambaikan tangan ke seorang pelayan muda yang sedari tadi memperhatikannya. Katrina kemudian memesan menu yang tertera di buku menu. Namun, ketika makanan itu terhidang di depannya, ia tidak bisa menikmatinya. Perempuan tua itu terlihat murung, dan pelayan muda itu langsung mengerti apa penyebabnya. Rutinitas kehadiran Katrina di sana, membuat para pelayan mengenalnya dengan baik.

“Nyonya,” ucap pelayan muda itu tulus, “bagaimana jika saya mengantar Anda pulang? Tampaknya Anda kurang sehat.”

Katrina mengangguk lemah.

“Kau benar,” jawabnya pelan. “Aku memang kurang sehat. Seharusnya aku tidak keluar rumah saat cuaca buruk begini. Baiklah, sebaiknya aku pulang. Mungkin suami dan anakku sudah menunggu.”

Pelayan itu menawarkan diri kembali untuk mengantar Katrina pulang, namun perempuan tua itu menggeleng. Beberapa saat setelah ia membereskan bon yang ia pesan, Katrina menelusuri Weisenstrasse tanpa tujuan yang jelas. Ia tak jadi pulang, tapi memutuskan naik taksi ke arah taman kota Grunewald. 

Salju mulai turun. Katrina membiarkan butiran putih itu menaburi mantel bulunya. Sarung tangan dan boot kulit menjadi penahan serbuan beku yang mengancam tubuh ringkihnya. Ia menengadah, duduk di atas bangku kayu sambil mengembangkan jari-jari tangan, menampung butir-butir salju di telapak dan mulai menghitungnya.

Suasana Grunewald sore itu sepi. Suhu yang membeku membuat orang-orang malas keluar. Hanya ada satu-dua mobil yang berlalu-lalang. Katrina memandangi lampu-lampu kendaraan yang menyala, menelusup di sela rinai salju, tapi tidak menunjukkan isyarat akan berhenti apalagi menunjukkan bayang-bayang laki-laki yang ia tunggu.

Perempuan tua itu mulai dihinggapi perasaan bosan dan mulai mencari-cari sosok Eymard di antara pepohonan, di antara rinai salju, dan di antara bangku-bangku taman yang kosong. Tak menemukan apa yang ia cari, Katrina bangkit dan mulai berjalan menyusuri tepi sungai Havel. Ia menakar seberapa lama lagi waktu yang ia miliki untuk menunggu.

Di sebuah bangku semen yang telah rompal, Katrina menghentikan langkahnya. Wanita itu kembali membentangkan jemarinya, menampung salju yang berguguran dari langit. Ia menghitung butir-butir saju yang lesap di telapak tangannya dengan kesadaran yang mulai pudar. Perempuan tua itu tak ubahnya m4y4t hidup yang tak memiliki jiwa. Tapi mungkin demikianlah cara r4cun kenangan itu bekerja, jika sudah terlampau sangat, ia akan menjelma kekuatan yang mampu membuat jiwa pemiliknya terperangkap. Sore itu, di bangku taman Grunewald, Katrina duduk membeku menunggu kepulangan Eymard.

***

Selama beberapa minggu ini, Hollie sibuk mencari informasi tentang ayahnya dan ia merasa bersalah telah membiarkan Katrina seorang diri tanpa dijaga. Seseorang dari rumah sakit menelponnya dan mengabarkan bahwa ibunya sedang dirawat. Katrina ditemukan petugas kebersihan tergeletak tak sadarkan diri di bangku taman Grunewald.

Hollie memandangi raut penuh kerut yang masih menyisakan kecantikan masa lalu itu dengan air mata. Ia sudah mengerahkan segenap kemampuan untuk membebaskan ibunya dari kenangan itu. Ia menemui beberapa veteran perang yang mengaku pernah satu barak dengan ayahnya, namun hasilnya nihil.

Hollie juga bertanya pada pemerintah akan nasib tentara-tentara yang hilang dalam tugas dan meminta agar pencarian terhadap mereka terus diupayakan demi keluarga. Namun Hollie hanya menerima respon seadanya. Ada juga beberapa yang menjanjikan satu-dua hal dan mengiming-iminginya harapan, tapi tawaran itu tak lebih dari basa-basi politikus belaka.

“Aku tidak akan menyerah,” bisik Holie di telinga ibunya. “Aku akan terus mencari cara untuk menemukan ayah.”

Sedikit pun tak ada reaksi di wajah Katrina. Perempuan tua itu layaknya sedang tertidur lelap sekali. Hollie mengecup kening ibunya, lalu keluar dari kamar rawat.  Terdengar nada panggil berulang-ulang dari telepon genggamnya, dan Hollie mengangkat panggilan itu di koridor rumah sakit.

“Kami dari kantor Kementerian Pertahanan, ada sesuatu yang diduga milik ayahmu yang ditemukan penduduk di pegunungan Albania. Kalau Nona ada waktu, bisakah kita bertemu?”

Kabar itu membuat dada Hollie sesak. Rasa bahagia dan sedih hadir menjadi satu. Dua rasa itu menyusup menciptakan kombinasi ganjil di hatinya. Hollie tidak ingin menunggu lebih lama—sebab mungkin ia tak memiliki banyak waktu lagi untuk menyampaikan kabar ini kepada ibunya. Ia bergegas menemui sang pembawa kabar siang itu juga.

“Dari dokumen lama, kami mendapat petunjuk jika ayahmu termasuk dalam daftar tentara yang ikut terbang dalam Hallifax yang jatuh di pegunungan dekat Martanesh, sekitar 60 kilometer sebelah tenggara ibu kota Albania.”

Hollie terdiam. Matanya berkaca-kaca.

Laki-laki itu memandangi Hollie beberapa lama. “Maafkan, kami,” katanya menghibur, “kami hanya menemukan ini. Kami yakin, benda ini miliknya.”

Kesedihan hanya singgah sekejap di hati Hollie, selebihnya ia bahagia. Ibunya tak akan menunggu lagi. Walau kabar yang ia kemas adalah kabar menyakitkan, namun Hollie memutuskan akan tetap membawanya pulang.

Hollie memegang kotak kecil berbalut beludru merah dengan jari-jari bergetar. Dari dalamnya tercium aroma kesedihan yang pekat. Air mata gadis itu menetes saat membukanya. Sebuah cincin putih berkilauan terselip di dalamnya.

“Hanya ini yang tersisa...” katanya tersendat. Hollie meletakkan cincin itu di genggaman ibunya. Di luar kamar rumah sakit, salju turun begitu deras. Angin membuat gorden tersibak dan bersamaan dengan itu, elektrokardiograf yang terhubung ke dada Katrina mengeluarkan suara denging yang panjang. (*)



Tentang penulis:

Adam Yudhistira,penulis asal Muara Enim, Sumatera Selatan. Cerita pendek, Cerita Anak, esai, puisi dan ulasan buku yang ditulisnya telah dimuat di berbagai media massa cetak dan online di Tanah Air. Berikut beberapa catatan penting dalam dunia kepenulisannya; Pemenang lomba Menulis Kompas Klasika Dongeng Anak Nusantara Bertutur 2014 dan 2015. Pemenang Lomba Menulis Cerpen Green Pen Perhutani Award 2016. Salah satu puisinya terpilih dalam Krakatau Award dan dibukukan dalam Antologi Puisi berjudul Secangkir Robusta. Juara pertama Sayembara Menulis Cerpen Komunitas Sastra Kaliwungu, Kendal. Juara kedua Sayembara Menulis Cerpen Nasional Satu Dekade Shira Media. Juara harapan III dalam Sayembara Sastra Bunga Tunjung Biru 2018. Karya-karyanya juga terangkum dalam puluhan judul antologi; Kencan Pertama yang memalukan (Moka Media, 2014), Perempuan Terowongan Ceger, (Grasindo, 2014), Rentak Kuda Manggani, (Diva Press, 2015), Rung Buaya, (Unsa Press, 2015), Orang Bunian, (Unsa Press, 2016), Parang Ulu, (Antologi Cerpen Dewan Kesenian Lampung, 2018), dll. Buku kumpulan cerpennya Ocehan Semut Merah dan Bangkai Seekor Tawon (basabasi, 2017). Saat ini bergiat di komunitas sastra Pondok Cerita dan mengelola Taman Baca Masyarakat Palupuh.

Tidak ada komentar