HEADLINE

BEBERAPA KATA YANG TERPATAH_Puisi Puisi Muhammad Daffa(Semarak Sastra Malam Minggu)

SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU : EDISI 26

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), cerpen dan cernak (minimal 5 halaman A4) untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam. 
kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. Apabila dalam 2 bulan naskah tidak dimuat maka dipersilakan mengirimnya ke media lain.
(Bagi karya yang dimuat malam minggu diberikan honorarium sepantasnya)



BEBERAPA KATA YANG TERPATAH

Cinta yang gagal dan susah dipahami, atau aroma harumnya tak sempat tersebar ke segala penjuru. Berawal dari beberapa patah kata-kataku melesat bagai hunusan angin menghembus ke jantung cuaca di luar jendela. Makna sudah dikosongkan dari isi. Suara sudah dipisahkan dari bunyi. Warna sudah menjelma benih rindu siap membasuh setiap luka pernah ada dan tumbuh. Yang lebih parah dari musim adalah yang lebih dulu harus disembuhkan sebelum ada hari memekarkan senja di atas kepala. Kata-kataku yang terpatah sudah harus ditulis menjadi kata baru sebelum sempat pudar terangnya mengaji puisi dan menyusun dirinya sendiri sebagai puisi, atau bukan puisi sama sekali. Terpatah adalah kekalahan menurutmu, dan kekalahan adalah awal dari sebuah jeda di titik henti. Mungkin ada sebuah jalan di depan yang luasnya tidak berbanding dengan beberapa kata-kata puisi yang masih simpan dalam kepala. Yang lebarnya tidak bertepi, seakan terus memanjang bagai mengikut perubahan sesuatu, entah apa. 

2016


BUNYI YANG BERKABUT

Sudah mulai larut hari untuk sedemikian berjaga. Kau masih bersunyi dari bunyi memanggil 
Aroma malam mulai terpenjara di lambungmu, bersama bunyi yang sibuk dengan kabut
Betapa renta bagi kedua telinga menangkapnya secara acak, bersijajar dengan ketabahan
Terbangun setengah tegak. Mulai puncak malam hari, sebagian masih ada yang terus berjaga
Sedemikian bunyi beringsut mengikuti mereka yang bersunyi dari riuh, mengejar detik
Betapa renta telah berlalu mendahului mata yang sibuk berjaga atas malam.
Bunyi tak berkabut, tapi kerap mengisi sunyi dengan kabut di sela-sela terpaan
Kabut yang bermula dari sembunyi ratap langit paling malu untuk mengucur air mata

Tangis yang sembunyi di dahan langit tidak semestinya jatuh di ujung malam
Berubah lolong anjing yang terus mengusir bunyi tak berkabut, mengundang bunyi yang berkabut
Kepada kita ada pula ratap yang sembunyi, tidak seharusnya jatuh dari suara
Bunyi mengincar mataku yang berjaga sepanjang malam belum menuju tengah
Titik henti akan menyapa dengan sendirinya atas siapa yang tabah dalam jaga

Sudah mulai larut hari menimbang bunyi yang tak berkabut, tapi terkadang usil menggumam kabut
Agar yang jaga selekasnya menangkap hal di balik itu. entah sunyi, yang bagimu celaka
Atau bunyi yang sebenarnya lebih mampu buat celaka?

2017


BERANDA ENTAH

Ujung-ujungnya kau berbisik ke telinga angin yang membuka cadarnya setelah tak lagi tahu apa arti nasib di beranda cinta pernah ada menyatu.
Angin yang riang, kau temui setiap nyanyian dari merpati itu terlepas menjelma udara di langit
Diam dalam sunyi kita mencium aroma malam yang tiba lekas, teramat lekas dari perkiraan semula
Dinihari menguji bunyi yang kususun dari setangkup rindu mulai punah. Desir ombak di jauh pesisir

Melambung jatuh, tapi tak mengukir semangat mencari di hampar pasir yang membujur.

Setibanya pada almanak itu kau berpikir mengapa ia teramat buta untuk melihat dirinya sendiri
Tergantung seenaknya di kusam tembok. Setelah almanak itu telanjur terbaca

2017

BERHENTI DISEBUT MATAHARI

Jika kau perempuanku,  bersedu karena tubuhku berhenti menguarkan aroma matahari
Maka lautlah air mata
Andai sepintas kau teringat pesan yang kukirimkan dengan beberapa patah kata
Sabdalah terbaca namamu

Bila tubuhku pun berhenti kau sebut matahari 
Terbasuh laut keheningan yang menampar
Maka kitablah engkau, kitablah aku

2017

BERHUTANG MEMBELI KALUNG

1
Jikalau aku boleh berhutang denganmu meski hanya satu kali seumur-umur
Ijinkan aku berhutang, meski dengan uang tiga ribu rupiah. Mahal pun tak,
Karena hanya ingin membeli seutas kalung murah di pasaran dekat kota.

2
Kamu mengejekku dengan senyum yang kecut, juga ocehan yang membuat dinding kepalaku pusing.
Kamu tak mengerti artinya kalung bagi seorang perempuan yang menunggu oleh-oleh.
Ia yang menantikan hadiah dari pacarnya yang sebentar lagi mungkin jadi mantan.

3
Seorang pedagang batu-batu akik dan cincin berukir baja, menertawakanku ketika harga kutawar
“berapa? Lima puluh ribu? Mahal amat!”
“memang segitu harganya, mas. Ini zamannya pembangunan negeri, ngerti dikit lah!”

4
Aku meninggalkan pasar ketika seekor puisi menyusup ke debar yang tenang
Membawa ejekan kawanku yang kepadanya aku berhutang uang
Kata puisi, “dia berkicau tentang rambutmu yang keriting, dan nasibmu yang pelit!”

5
Waduh, negara yang kaya, akulah bocah pengiba sedekah yang giginya rumpang-rumpang
Tetapi tidak pernah letih menimba rezeki dari langitmu yang dipenuhi nubuat tuhan.
Aku mau kaya! Tapi kamu bilang, aku ini takdirnya jadi orang miskin.
Aku ingin membawa sekantong harta yang berlimpah jumlahnya, tapi kamu ejek ringkihku.

6
Haduh, chatting pun tak bisa. Telepon pun tak punya, ah nasib yang malang!
Kamu tahu, kan, cintaku, berapa banyak aku berhutang kepada kawanku yang cewek itu?

7
Kata rahasia, “dia tidak tahu berapa banyak kamu berhutang!”

8
Kujawab, syukurlah. Syukur-syukur kalau cintaku tidak tahu juga tentang perasaanku yang lumpuh
Karena kalung yang harganya selangit tidak bisa kubeli di pasar pada suatu hari yang angkuh.

2017

BUKAN HULU

Maafkanlah, diriku bukan hulu yang mengajarkanmu kebaikan.
Atau petunjuk cukup, yang mengajarkanmu banyak hal tentang cara mengelana.

2017



Tentang Penulis :

Muhammad Daffa, lahir di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 25 Februari 1999. Menulis puisi dan cerpen. Puisi-puisinya dipublikasikan pada Radar Banjarmasin, Banjarmasin Post, Media Kalimantan, Koran Banjar, Tribun Bali, Buletin Jejak, Majalah Santarang, Majalah Simalaba, dan sejumlah antologi bersama: Ije Jela(Tifa Nusantara 3), Hikayat Secangkir Robusta(Antologi Puisi Krakatau Award 2017), Maumang Makna Di Huma Aksara(Kalumpu Puisi Penyair Kalimantan Selatan, Aruh Sastra 2017), Rampai: Banjarbaru Lewat Sajak(Antologi Puisi Penyair Kota Banjarbaru), Negeri Bahari: Dari Negeri Poci 8, dan Senyuman Lembah Ijen(Antologi Puisi Nusantara, Taresi Publisher).
Antara tahun 2012-2013 rutin mengikuti Kelas Menulis Tulisan Berpindah Tangan di Akademi Bangku Panjang Minggu Raya, Kota Banjarbaru, dengan mentor Ali Syamsudin Arsi. Di tahun 2016, Juara 1 dalam Lomba Cipta Puisi Tingkat SMA/MA sederajat yang diadakan oleh Komunitas Teras Puitika, Banjarbaru, Juara 1 FLS2N Cipta Puisi Tingkat Kota Banjarbaru(2016), Juara 1 FLS2N Cipta Puisi Tingkat Provinsi Kalimantan Selatan(2016), yang kemudian membawanya pada FLS2N Tingkat Nasional. di tahun yang sama, memenangkan Penulisan Kreatif yang digagas Dapur Sastra Jakarta, dengan hadiah wisata sastra ke Ubud Writers And Readers Festival 2016. 
Juara 3 Lomba Cipta Puisi Tingkat Asia Tenggara dalam Festival Bulan Bahasa Universitas Sebelas Maret 2017 dengan judul puisi Membaca Hasan, yang mana salah satu dewan jurinya adalah Agus Noor. Juara 2 pada Lomba Cipta Puisi Kampung Buku Jogja#3(2017), dengan judul puisi Tidurnya Buku. Buku kumpulan puisi tunggalnya berjudul Talkin(2017) dan Suara Tanah Asal(2018). Mahasiswa di prodi Sastra Indonesia, Universitas Airlangga, Surabaya.

Tidak ada komentar