HEADLINE

KEHENDAK HUJAN_Cerpen Jeli Manalu (Semarak Sastra Malam Minggu)

SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU : EDISI 24

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), cerpen dan cernak (minimal 5 halaman A4) untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam. 
kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. Apabila dalam 2 bulan naskah tidak dimuat maka dipersilakan mengirimnya ke media lain.
(Bagi karya yang dimuat malam minggu diberikan honorarium sepantasnya)


Anak gadismu mandi hujan, atau, hujan itukah yang memandikannya?—kamu menahan-nahan hati agar jangan marah dulu.

“Telanjur basah, basah sekalian,” katanya, yang langsung berlari ke tengah halaman tanpa peduli kamu mengiyakan atau tidak.

Matamu terus saja mengikuti hujan bagaimana memperlakukan anak gadismu. Dari arah pohon kelapa, hujan membuat siluet seperti selendang diterpa angin pada lengan perempuan. Kadang serupa badai yang membawa tekanan dari pokok rambutan. Lalu putus-putus, mirip  garis putih di pertengahan jalan raya yang hampir habis warnanya. 

Di sekitar kakimu berdiri hujan membuat lubang seukuran kelereng. Ada terperangkap di kulit kacang tanah. Ada juga di tutup botol. Kamu rasakan titik-titik air memercik ke pipi dan tengkukmu. Di sana, di tengah-tengah halaman itu anak gadismu riang. Kamu lihat dia belajar kayang—di kelas olahraga dia selalu ditertawai sebab tidak pernah berhasil melakukannya—alasannya selain pinggang kaku, dia takut jika tangannya jadi lecet menahan badan. Kini seorang anak keluar dari pintu rumahnya, berlari mendekati anak gadismu. Datang satu lagi, dua lagi, tiga lagi. Mereka menampari hujan, masuk ke kubangan air. Kamu menonton sembari berharap tidak terjadi apa-apa kepada gadis dua belas tahun itu. 

Ada yang bilang kebanyakan hewan tak berani pada hujan. Tapi kata orang-orang sekitarmu dulu, hanya kamu yang penakut. Kamu tiba-tiba menyembunyi di teras rumah entah siapa padahal kawan-kawanmu berlari pulang sambil sesekali menengadahkan tangan ke langit basah. Anak lelaki menyepak genangan air. Anak perempuan balik membalas hingga baju menguning dan mereka langsung mandi sekaligus mencuci dinas merah putihnya. Kamu sendiri masih menunggu reda atau semoga ada yang berbelas kasih memberi payung—kamu khawatir seandainya rambutmu kehujanan. Lima menit saja ditembus air maka suhu badanmu akan naik. Sementara jarak tempuh dari sekolah ke  rumah memakan waktu sekitar setengah jam jika jalannya buru-buru. Kalau jalannya harus hati-hati demi menghindari sepatu dari licin, bisa jadi sangat lama. Kepalamu pasti berdenyut. Badanmu ngilu, seperti ada yang menjalar-jalar di dalamnya. Kamu bersin. Dipastikan kamu akan batuk setelahnya.

Mendekati senja kamu melihat ibumu berdiri tepat di hadapanmu. Ia merangkulmu, menggendongmu di bawah payung. Dia terlalu cemas manakala kamu terjerembab ke kubangan. Setiba di rumah dia melepas bajumu. Segera ibumu mengambil umbi kucai dicampur jahe ditambah minyak goreng dan sedikit minyak tanah yang dihangatkan sebentar lalu balurkan ke tubuhmu. 

Daya tahan tubuhmu lemah. Kamu lahir prematur. Ibumu yang sedang hamil tua waktu itu sakit dan kamu mendesak ingin keluar. Orang-orang mengira kamu merupakan bayi pengertian sehingga memilih segera lahir saja. Bahkan ketika kamu lahir sampai usia beberapa minggu, Mak Tua-mulah (kakak ibumu) yang menyusuimu. Kebetulan dia memiliki bayi berusia enam bulan. Kamu dan bayinya minum berganti-ganti. Ketika umur tiga bulan kamu berhenti disusui Mak Tua-mu. Kamu lebih suka minum air putih atau teh manis atau air tajin dicampur gula pasir. 

Pada usia remaja kamu duduk termenung di mulut jendela meratapi kemiskinan. Kakek ibumu miskin, kakekmu miskin, ibumu miskin dan kamu juga miskin. Sungguh kemiskinan yang alami. Dunia setengah gelap saat kamu memikirkannya. Hujan kemudian jatuh. Satu-satu yang pelan, selanjutnya jarum-jarum. Tiba-tiba kamu tergerak untuk mandi hujan. Kamu membuat pernyataan sendiri, pernyataan itu memasukimu. Hujan itulah yang menginginkanku mendatanginya, maka jadilah kehendak hujan.

Begini kamu memikirkannya: kamu duduk termenung di mulut jendela. Tidak bergerak, tidak melakukan apa-apa. Hujan lalu turun. Hujan di halaman rumahmu memukul-mukul daun kembang sepatu. Tanah jadi basah. Debu-debu lenyap. Kamu meninggikan posisi dagu melihat hujan menjadi tirai turun dari antara seng atap rumahmu. Di rumah depan rumahmu, pada salah satu sisi atap rumah itu, ada hujan yang menjadi pancuran. Ukurannya mungkin lima puluh kali lipat tetesan hujan di sekitarmu. Beberapa jam kemudian ibumu berkacak pinggang dengan seikat lidi di tangan kanannya. 

“Kamu main di hujan?” tanya ibumu.  Kamu diam. Matamu memandang tetesan air di ujung celananya yang bergulung. 

“Kenapa main di hujan?” tanya ibumu sekali lagi. 

“Hujan memanggilku.”

“Jangan mengarang.”

“Hujan itu yang memanggilku, Ibu.”

“Jangan mengarang!”

“Hujan memanggilku, jadilah kehendak hujan.”

“Sudah pintar melawan kamu sekarang, ya?”

Saat kamu mengulum jari-jemari, ibumu melidi tanganmu, betismu, tanganmu-betismu-tanganmu-betismu, lalu mengakhiri amarahnya dengan cara memukuli dinding sampai lidi-lidi berpatahan. Kini kamu seakan terlempar begitu saja ke masa lalumu itu. Jaraknya dua puluh lima tahun. Kejadian itu telah berlalu cukup lama. Kamu saat ini dewasa dan menjadi ibu. Apa yang terjadi padamu dulu seolah berulang kepada anak gadismu yang manis. Fisiknya juga mudah sakit meski kamu melahirkan bayi pada usia sembilan bulan—bukan seperti ibumu yang melahirkan dirimu dalam kondisi kurang bulan. Dia memang hanya mudah sakit. Barangkali faktor genetikmu. Lalu, entah apa penyebabnya, kamu mulai bertanya pada sendiri: apakah hujan sungguh-sungguh bisa membuat demam dan juga pilek?

Pintu-pintu rumah di perkampungan kamu lihat membuka. Orang-orang berlarian dari sananya. Saking semangatnya, ada yang melompati jendela. Ada juga yang melepas dinding bahkan ada pula muncul dari atap seng. Perabotan ikut-ikutan mereka bawa. Tikar, bantal, televisi, lemari, meja, kursi, perkakas dapur dan apa saja yang sekiranya mampu mereka pikul, mereka pikul saja sambil menari di bawah hujan. 

Apa yang kamu lihat itu serasa sebuah pesta mengejutkan. Siapa yang tak suka kejutan? Tak perlu susah tidur karena memikirkan ini-itu. Tak perlu belanja, tak perlu membuat dekorasi, tak perlu memesan pengeras suara termasuk artisnya. Kamu kaget mendapati dirimu tertawa. Baru kali ini ada yang namanya pesta hujan. Biasanya pesta dansa, pesta tomat, pesta durian, pesta bakar ikan, pesta topeng, pesta ulang tahun, pesta kawin dan sebagainya.

Pekarangan menjadi semakin ramai. Kamu merasakan air di pergelangan kakimu. Kamu terpukau. Kamu berpikir kalau hujan sedang memanggil. Tidak elok jika hanya sebagai penonton saja. Tidak baik jika sudah diundang tapi tak datang ke hajatan. Maka kamu berlari dan hore ke kerumunan. Kamu tangkap tubuh anak gadismu. Tanganmu dan tangannya membuat lingkaran. Tubuhmu dan tubuhnya berputar menjadi lingkaran. 

“Jangan cemas, Rimbus, anak gadisku yang manis. Hujan itu, bukan hanya hujan.”

Bola mata anak gadismu bersinar-sinar, “Jadi, Mama senang main hujan?” 

“Kata orang-orang, dia berupa gumpalan di atas sana,” kamu menghunjuk langit, 

“gelap dan berat. Tidak kuat menahan dirinya. Ketika bergerak menuju bumi, dia jadi hujan. Lalu hujan itu ingin juga merasakan dirinya sebagai pilek atau flu atau batuk atau demam. Jadilah kehendak hujan.” 

Hujan kian deras. Dari jarum-jarum halus menjadi jarum seukuran jarum rajut. Bentangan selendang bukan lagi hanya dari pokok kelapa, begitu pula dengan badai yang tadinya cuma dari arah rambutan. Pohon pisang, pepaya, mangga, belimbing dan apa saja turut bergoyang. Penduduk bukan hanya seru di tengah halaman. Beberapa menari di atap rumah sambil menjinjing barang-barang. Para perempuan meletakkan bayi dan anak-anak mereka di bahu. 

Kamu dan anak gadismu memegangi pokok rambutan. Dari sana kalian berenang menuju atap rumahmu. Hujan turun sudah berhari-hari lamanya. Selain pilek, flu, batuk dan demam, hujan, ingin pula merasakan dirinya sebagai banjir. 

** 

Riau, Januari 2017

Tentang Penulis :

Jeli Manalu lahir di Padangsidimpuan, 2 oktober 1983. Tinggal di Rengat-Riau. 
Cerpennya pernah tersiar di Analisa, Sumut Pos, Media Indonesia, Majalah Litera, Lombok Pos, Rakyat Sultra, Haluan Padang, Merapi Pembaruan, Padang Ekspres, Banjarmasin Post, Suara NTB, Medan Bisnis, Apajake.com. Kumcer solonya “Kisah Sedih Sepasang Sepatu” akan segera terbit.

Tidak ada komentar