HEADLINE

Cerpen Sulistiyo Suparno_HIKAYAT ORANG JAH4T

SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU:  EDISI 3 2018
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), Cerpen dan Cernak untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam. Kirim karyamu ke e-mail: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. (Berhonor dan akan diambil satu karya puisi untuk dibuat konten video)
Redaksi juga menerima tulisan untuk diterbitkan setiap hari (selain malam minggu), kirim karyamu ke e-mai: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SASTRA SETIAP HARI. (Belum berhonor)



Ayah masuk angin, Seno menggantikannya ronda. Malam Jumat yang dingin, kabut tipis melayang menyelimuti kampung di lereng bukit itu. Seno merapatkan jaket, menyalakan senter, berjalan gegas menuju pos ronda di sebuah pertigaan. 

Beberapa orang berkumpul di pos ronda. Mereka sedang membicarakan Haji Sanip yang wafat pada usia 40 tahun, sebulan silam. Haji Sanip orang baik semasa hidup. Sawahnya luas dan sering membagi-bagikan beras pada orang-orang miskin. 

“Mengapa orang baik cepat mati?” tanya seorang teman.

“Makanya jangan jadi orang baik,” sahut teman lain. “Jadi orang jahat saja seperti Mbah Karmo, panjang usianya.”

Orang-orang di pos ronda terhenyak. Mereka tahu hikayat Mbah Karmo; cerita turun-temurun tentang lelaki jahat yang konon usianya mencapai 100 tahun. Makam Mbah Karmo terasing di puncak bukit, karena warga menolak jasadnya di makamkan di pekuburan kampung.

Orang-orang menatap ke sudut pos ronda; seorang lelaki tua duduk bersila di sana.

“Apa benar begitu, Mbah Kubro? Orang jahat panjang usianya?” tanya seorang teman.

“Dia memang orang jahat,” sahut Mbah Kubro. “Nyaris tak ada kebaikan dalam diri Mbah Karmo, orang-orang kampung merasakan itu. Usianya panjang karena Tuhan memberikan kesempatan untuk bertobat, tetapi Mbah Karmo tak pernah bertobat.”

Orang-orang saksama mendengarkan Mbah Kubro bercerita –meski mereka sudah sering mendengar cerita itu. Imajinasi orang-orang melebur dalam cerita, seolah mereka berada pada masa hidup Mbah Karmo, si lelaki jahat panjang usia.

***

Pada masa itu, semua orang sudah tahu, Mbah Karmo pernah jadi antek kompeni, centeng tuan tanah, copet, jambret, perampok, perompak, jadi germo pun pernah. 

Berkali-kali masuk penjara, tubuhnya penuh bekas luka, tetapi nyawanya masih melekat di raga. Kepada warga kampung, Mbah Karmo membeberkan resep panjang usianya, “Jangan jadi orang baik. Orang baik cepat mati.”

Warga kampung menjadikan Mbah Karmo sebagai teladan. Punya rumah besar, sawah dan ladang yang luas, adalah bukti bahwa pilihan Mbah Karmo menjadi orang yang tidak baik adalah lebih baik daripada menjadi orang baik. 

Bila pagi para lelaki berangkat ke sawah atau ladang, tetapi mereka malas-malasan bekerja. Tengah hari mereka menuju rumah Mbah Karmo untuk menimba ilmu menjadi orang tidak baik dan menanti tugas darinya.

“Gimin, Dalimin, kalian r4mpok rumah Haji Sujak. Dia baru panen durian.”

“Siap!”

“Darto, Kobar, kalian ke rumah Koh Liong. Dia baru menang lotere.”

“Siap!”

“Jangan lupa bawa belati kalian. Belati itu sudah kuisi mantera, kalian akan selamat.”

Warga kampung mengerti mengapa Mbah Karmo selalu selamat, karena ia punya kesaktian. Mbah Karmo pernah berguru ke banyak dukun. Selama ada Mbah Karmo, warga yakin mereka akan selamat. 

Warga yakin usia Mbah Karmo akan sangat panjang, karena lelaki itu tidak pernah menikah. Mbah Karmo pernah cerita bahwa seorang dukun melarang dirinya menikah agar berusia panjang, agar bisa melindungi warga dan kampungnya.

Namun, suatu hari Mbah Karmo kelojotan di ranjang, sampai enam hari. Pada hari ketujuh, Mbah Karmo mati. 

“Apa Mbah Karmo pernah menikah?”

“Tidak tahu.”

Warga kampung gelisah karena kehilangan teladan dan pelindung mereka. Mereka yang sedang mencopet, menjambret, memalak, mer4mpok, semuanya tertangkap petugas keamanan. Warga lain seperti anak ayam kehilangan induk. Kemudian pemerintah merehabilitasi kampung itu dan warganya; mengirim ustaz dan membangun masjid. Perlahan, kampung kecil dan terpencil itu penuh dengan orang baik.

“Orang baik atau orang tidak baik pasti mati,” kata Mbah Kubro mengakhiri cerita. “Makanya, menjadi orang baik adalah lebih baik daripada menjadi orang tidak baik.”

Seorang teman keluar dari pos ronda, memungut batu, mendekati tiang listrik lalu memukulnya sebanyak dua belas kali. Orang-orang ikut keluar dari pos ronda, bersiap keliling kampung.

“Kamu ikut keliling, ndak?” tanya seorang teman.

“Tidak,” sahut Seno. “Aku jaga di pos saja.”

“Usai keliling, aku langsung pulang,” kata si teman.

“Pulanglah. Aku mau tidur di pos saja,” sahut Seno.

Seno sendirian di pos ronda. Meringkuk di lantai, berselimut sarung. Memejamkan mata dan tak lama kemudian terlelap. Seno bermimpi bertemu seorang gadis, mengantarnya ke sebuah makam di puncak bukit. 

“Terima kasih,” kata si gadis dalam mimpi. “Sudah subuh. Kau pergilah ke masjid.” 

Seno membuka mata. Azan subuh sudah terdengar.

***

Tanggal merah, sekolah libur. Ayah belum enak badan. Ayah menyuruh Seno ke ladang, memeriksa pohon durian; siapa tahu ada durian yang sudah matang. Ladang ada di puncak bukit. Untuk menuju ke ladang, Seno melewati pos ronda.

Seno melihat seorang gadis duduk di pos ronda sendirian. Gadis itu tampak mencari-cari sesuatu dan ketika melihat Seno, ia segera berdiri dan tersenyum. Gadis itu menyapa Seno dan mengatakan ia datang dari kota. Gadis itu sedang mencari makam Mbah Karmo.

“Tadi saya naik ojek. Saya minta tukang ojek untuk mengantar saya sampai ke makam Mbah Karmo, tetapi tidak berani. Ia menurunkan saya di pos ronda ini,” kata si gadis.

Selama gadis itu berbicara, Seno tak berkedip memandangnya. Ah, gadis yang memakai celana jins dan kemeja kotak-kotak itu membuat dada Seno berdesir. Gadis itu masih muda, sebaya dengan Seno. 

Seorang gadis dari kota datang sendirian ke kampung, sungguh pemberani ia. Terbitlah kekaguman Seno pada gadis itu. Hei, bukankah gadis itu yang Seno temui dalam mimpi?

“Kamu siapa?” tanya Seno agak gugup.

“Oh, maaf,” gadis itu mengulurkan tangan. “Kenalkan, saya Nirmala. Cucu Mbah Karmo.”

“Mbah Karmo punya cucu?”

“Ya, Mas.”

“Mbah Karmo pernah menikah?”

Gadis itu tertawa menampakan deret gigi putih dan rapi.

“Mas lucu,” katanya. “Kalau Mbah Karmo punya cucu, tentu saja pernah menikah, dong.”

“Oh, ya,” Seno menyeringai dan garuk-garuk kepala.

Angin semilir. Gadis itu merapatkan jaket denim birunya.

“Dingin ya di sini, Mas?” katanya.

“Ya. Apalagi di puncak bukit.”

“Ada apa di puncak bukit, Mas?”

“Makam Mbah Karmo.”

“Oh,” seru si gadis. “Mas mau mengantar saya ke sana?”

Seno mengangguk. Mereka berjalan berdampingan menuju puncak bukit. Sesekali gadis itu memekik hampir terpeleset, Seno sigap memegang tangannya. Pipi si gadis merona merah seraya berkata, “terima kasih” dengan tersipu.

Setengah jam kemudian mereka sampai di puncak bukit. Ada sebuah makam tak terurus di sana; makam yang dikelilingi rumput dan tumbuhan liar lainnya. Seno membantu gadis itu mencabuti rumput. 

Ketika makam telah bersih dari rumput, gadis itu berdiri menatap gundukan tanah di depannya. Hanya berdiri, matanya berkaca-kaca, sesenggukan. Gadis itu mengusap hidungnya yang basah dengan sapu tangan merah.

“Kamu tidak berdoa?” tanya Seno.

Gadis itu hanya tersenyum.

“Saya sudah lega,” kata si gadis. “Saya sudah melihat makam kakek saya.” Gadis itu bercerita betapa ia butuh waktu bertahun-tahun melacak keberadaan kakeknya. Ayah dan ibunya marah bila ia bertanya tentang kakek. Lalu suatu kali ia menemukan postingan di internet tentang sebuah makam terasing.

Gadis itu sudah selesai dengan kerinduannya pada makam kakeknya, ia hendak pulang. “Besok saya sekolah,” katanya. 

“Kamu kelas berapa?” tanya Seno.

“Kelas XII SMA, Mas. Kalau Mas Seno, masih sekolah juga?”

“Ya, kelas XII SMA juga.”

Mereka berjalan meninggalkan area makam.

“Kalau Mas Seno ada urusan, biar saya sendiri saja,” kata si gadis.

“Nanti kamu tersesat. Saya akan mengantarmu sampai pos ronda dan mencarikan ojek untukmu.”

“Ah, saya jadi merepotkan Mas Seno, nih.”

Mereka sampai di pos ronda. Seno menunggu seseorang yang mengendarai motor melintas, tukang ojek atau bukan, lalu akan memintanya mengantar gadis itu sampai ke kota kecamatan.

“Terima kasih Mas Seno sudah mengantar saya,” kata si gadis.

“Sama-sama.”

“Dan, terima kasih juga untuk yang lainnya.”

“Yang lainnya apa?” Seno menyipitkan mata.

“Mas Seno tidak berbuat jahat pada saya. Di sini dan di puncak bukit sana sepi. Kalau cowok lain mungkin sudah berbuat kurang ajar pada saya. Tetapi Mas Seno tidak. Mas Seno orang baik,” kata gadis itu tersipu. 

Gadis itu menyerahkan kartu nama.

“Kalau ada apa-apa dengan makam kakek saya, tolong hubungi saya ya, Mas?” katanya.

Seno mengangguk.

“Kapan-kapan saya akan ke sini lagi, menengok makam kakek. Dan, kalau Mas Seno tidak keberatan, Mas Seno menunggu saya di sini lalu mengantar saya lagi ke puncak bukit,” pinta gadis itu tersenyum dan menatap teduh pada Seno.

Seno gugup.

Seorang tukang ojek melintas. Gadis itu menjabat tangan Seno, berpamitan. Dari boncengan motor tukang ojek, gadis itu menoleh ke belakang dan melambai pada Seno sampai menjauh dan hilang dari pandangan.

Seno melangkah riang menuju ladang pohon durian di puncak bukit. Kartu nama dari gadis itu ia genggam, lalu menyimpannya di saku bajunya. Saat tangannya masuk ke saku baju, Seno merasakan debaran di dadanya belum hilang. Sepanjang perjalanan menuju ladang durian Seno tersenyum-senyum. Bertemu dengan gadis itu, Seno serasa mendapatkan durian runtuh.

“Nirmala,” gumam Seno. “Nama yang cantik, secantik orangnya.”

***SELESAI***

Tentang Penulis




Sulistiyo Suparno, lahir di Batang 9 Mei 1974. Gemar menulis cerpen sejak SMA. Cerpen-cerpennya tersiar di Sumut Pos, Radar Lampung, Analisa, Nova, Suara Merdeka, Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Radar Surabaya, Radar Bromo, Banjarmasin Pos, basabasi.co, apajake.com, malangvoice.com, floressastra.com, dan media lainnya. Pernah pula menerbitkan novel remaja Hah! Pacarku? (Elexmedia, 2006). Bermukim di Limpung, Batang, Jawa Tengah.

Tidak ada komentar