HEADLINE

SENJA YANG SAMA_Puisi Q Alsungkawa (Sastra Pinggir Kota)


FIRASAT SAJAK

Semenjak pintu itu diketuk
aku telah mabuk
mabuk suguhan matamu yang berkaca-kaca
dengan bibir yang tak berdaya untuk berkata-kata
hanya geletar menenggelamkan senyumanmu yang selalu ingin kujumpai.

Begitu dekatnya kematian, bahkan tidak disadari
setipis kebahagiaan yang bersalin rupa
hingga udara terasa pahit
petualangan itu serupa mimpi yang patah di siang hari, karena
sejatinya ruhmu telah terkubur bersama catatan luka.

Aku yang mabuk kata-kata
tak berkewajiban merenggut, atau mengintip ke dalam lamunanmu
meski pun itu
hanya menitipkan firasat sajak ke balik jasadmu.

Lampung Barat, 12 Mei 2019.


BISIKAN DARI PINGGIR KOTA

Bukan untuk disebut penyajak
kami melintas di republik ini
mengusung warna yang setipis ari
warna yang mungkin buram
jika diterjemahkan rupanya
sebab kami enggan mewarnai papan-papan reklame.

Kami hanya sedang menulis di beranda hidup
menuliskan mimpi mimpi kecil, mimpi yang tak pernah menjadi nyata
seperti menyulap kabut menjadi cahaya, atau
mendaulat angin belukar menjelma badai.

Adalah kami
dengan paruh kata yang terbata, melugas makna
sebab hidup musti beranjak
dari peradaban ke peradaban lainnya
mengukuhkan corak warna
dan hanya kami, yang memahami bisikan dari pinggir kota.

Lampung Barat, 3 Juni 2019.


SENJA YANG SAMA

Banyaknya, kau menukar masa lalu
ini, pertanda kau terlahir lagi
dengan sosok lain
sesosok yang menyandera mata.

Tiba-tiba birahi seni berloncatan
untuk merangkaimu, menjelma puisi
dan membacakannya di kelam sepi.

Gelisah ini, bukan tanpa alasan
ingatan bermuara
berputar membentuk keyakinan
maka-

sudut pencarian
mengisyaratkan temaram, lampu.

Ketika cemas ini menjalar
pucuk daunnya melambai
memanggil biji manusiaku
agar lebih jauh mendesak
merangkul esok
ke dalam pangkuan
setelah itu
sepasang mata
menikmati senja yang sama.

Lampung Barat, 2 April 2018.


SUOH DALAM SAJAK

Berkunjunglah ke dadaku
dimana genangan adalah telaga dari air mata penantian
jaraknya tak begitu memakan waktu
sebelum Liwa belok kiri
jalannya sedikit terjal melintasi bukit
membelah belantara hutan
tetapi, kupastikan
letihmu akan terlunasi
hanya dengan sekali tatap. Maka-

kau akan kesulitan caranya berkedip.

Panggil saja aku Suoh
pemilik kecantikan di pelataran Bumi Lampung Barat, tetapi
separuh abad ini
dalam keadaan pulas, terkurung di kelam mimpi berkepanjangan
sebab tak banyak orang orang mencukupi kantung keberaniannya
sekadar mengelus anak rambut di dahi, atau membuatku tersenyum lebih lama lagi.

... ... ..../

Dan ketika pandanganmu menggelinding dari pucuk bukit
tentu sebagian jiwamu hinggap di Danau Asam, bisa jadi ingin berenang di Danau Atar Lebar, yang bila senja menyapa
ribuan kalong memamerkan sayap-sayapnya, berputar-putar sebelum akhirnya pergi
untuk merayakan pesta ranum buah.

Menjelang subuh
kalong-kalong kembali ke
hutan kecil yang etnik tempatnya bermukim di tepi rawa
menjadi daun-daun pohon, menjadi hiasan sepanjang ranting, sesekali melepas jeritan karena tersengat matahari.
Tidak seberapa jauh
hanya puluhan meter saja dari Danau Belibis.
Ya, akulah Suoh, wujud alami, sepotong surga yang tergelincir ke bumi sejuta pohon kopi.

Lampung Barat, 18 Juni 2018.

HILANG DITELAN SUNYI

Di layar pintar setengah ajaib jantungmu berkedip
seperti isyarat sunyi
mengalirkan sebuah kehilangan
pada separuh aroma tubuh yang kerap mengental di sepanjang malam.

Ini bukan tentang kepergianmu
tetapi tentang denyar yang bersalin rupa
dan menghinggapi ranting-ranting sunyi
menaburkan biji-biji kedamaian, ketika damai itu sendiri dipertanyakan.

Hai, adik
jangan kau rapatkan pintu menuju esok
biarkan embun-embun membasuh kekeringan hatimu
sebab ramalan hidup ini
adalah roda yang musti terus bergerak
maka-

jangan katakan jika
hasratmu hilang ditelan sunyi.

Sumsel, 2019.


PUISI YANG SEDANG MERAYUKU

Ada yang pergi dari dadaku, ya, sebaris kekata yang tak sempat menjelma puisi
ia tidak menoleh lagi
dan pastinya sedang kecewa
setelah beberapa helai waktu ia tak kunjung dibelai.

Di beranda hidup
status yang ditinggal citarasa kutuliskan, sekedar untuk mengenang, atau
sekedar mengingatkan-

ingatan yang berulang-ulang ia banggakan.

Ya, inilah manusiaku
terkadang sebagian tertambat di sudut lain, dan
sebagian lagi tak tentu arah. Aku
mulai menikmati dampak kekecewaannya
tetapi aku paham benar
bahwa di lain sunyi
ia akan menjelma kerinduan
sebab sejatinya
ia adalah puisi yang sedang merayuku.

Sumatera Selatan 2019.


Tentang Penulis:
Q Alsungkawa, tinggal di Desa Ciptamulya/Rt 01 Rw 03. Kec. Kebun Tebu- Lampung Barat, Lampung. Ia lahir di Tasikmalaya dan besar di Lampung Barat. Tulisannya berupa puisi dan cerpen pernah dimuat di sejumlah media, tergabung juga dalam buku MY HOPE 2017. MAZHAB RINDU (KPS Pandeglang-Banten) EMBUN PAGI LERENG PESAGI. ANTOLOGI LANGIT SENJA JATI GEDE (Sumedang)  dan yang terbaru EPITAF KOTA HUJAN (Temu Penyair Asia Tenggara di Padang Panjang) SENYUMAN LEMBAH IJEN (Kemah Sastra Banyuwangi) ANTOLOGI ANGGRAINIM, TUGU DAN RINDU (tugu Sastra Pematangsiantar) JEJAK CINTA DI BUMI RAFLESIA (Bengkulu) SEPASANG CAMAR (Semarak Sasta Malam Minggu SIMALABA) KUNANTI DI KAMPAR KIRI (Kampar Kiri-Riau) ANTOLOGI PUISI UNTUK LOMBOK. Lolos di event TIFA NUSANTARA 4. Even A Skyful Of Rain, antologi Banjarbaru’s Raini Day Literari Festival 2018. dll. Saat ini aktif sebagai pengurus di Komunitas Sastra (KOMSAS SIMALABA) Lampung Barat.

Tidak ada komentar