HEADLINE

MENIKAH DENGAN MITOS_Cerpen Fathimah (Sastra Harian)



Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 5 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi majalah Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu) kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SASTRA SETIAP HARI.
(Belum berhonor)


“Bu, sebenarnya aku ini menikah dengan manusia atau mitos sih?”

Orang tua mana yang tidak menginginkan hal terbaik untuk anaknya.  Setidaknya itulah yang menjadi pegangan hidup wanita berumur senja itu. 

Satu-satunya harta yang dia miliki hanyalah anak sulungnya, si kembang desa.

“Kan sudah ibu bilang, jauhi dia! Lelaki sebrang dia itu, kau tau ini kan?”

Si anak hanya menunduk dalam kepahaman yang tidak berujung. Pikirannya kalut, hatinya lebih lagi. 

Renjana yang dia miliki, sudah dia nobatkan pada pilihan hatinya sendiri. Meski menurut sang Ibu ini tentunya melanggar mitos di desa mereka.

Pengabdian apa lagi yang dilakukan seorang anak, selain berbakti pada perkataan-perkataan yang bertuah dari Sang Ibu? Meski terkadang ada mimpi yang harus diinjak.

“Tapi bu, aku sudah terlanjur jauh. Hatiku sudah jatuh pada mas Fazan.” 

“Apa salahnya kau berdiri Nak? Kedangkalan apa yang membuatmu seberani ini mengotori leluhur? Ini larangan Nak, ingat. Larangan!”

“Bu, kita ini hidup jauh dari mereka. Kita hanya mengiyakan mitos-mitos itu dengan praduga!”

Matanya berkaca kali ini. Rasa panas sebenarnya sudah memenuhi seluruh ruangan tamu.

“Kau sudah berani menentang Ibu?!” Hampir saja, bola mata si Ibu copot. Ada rasa gatal pada telapak si Ibu untuk menampar anaknya. Tapi ia teringat hanya ini masa depannya, harapannya yang selalu dijaga.

“Aku bukan mau menentang ucapan Ibu. Aku hanya tidak suka Bu, keluarga kita hanya dikelilingi mitos-mitos saja.”

“Kalau Ibu bilang tidak ya tidak!”

“Tapi bu ....”

  “Sudah. Sana masuk kamar!”

Kali ini tangisnya pecah. Bukannya masuk ke kamar, tapi ia malah lari ke luar. Kemana saja asal itu bisa membuat perasaannya sedikit lega.

“Hey Mita! Mau kemana kamu?”

Apapun yang diperintahkan Sang Ibu saat itu, tidak ia dengar. Hanya untuk kali ini, ia lebih senang menentang semuanya. Berjalan sesuai sekehendak kakinya.

Di atas rumput liar itu, rintik masih saja keluar dari bola matanya yang kecoklatan. Pipinya terlihat seperti buah tomat, tapi dari bibirnya keluar segala bentuk serapah. Bukan kali ini saja, rencana yang ia bangun selalu kandas sebelum terwujud.

 “Aku tahu kamu pasti disini.” Wajahnya terangkat.

 “Mas ....” Bukannya merasa senang layaknya pertemuan-pertemuan lain dengan sang kekasih, tangisnya malah semakin liar saja.

“Masih bersitegang dengan ibu?” ia coba merayu wanitanya itu. Tangannya menggenggam, mencoba memberikan rasa empati dan sedikit kekuatan. 

“Sudah lelah aku Mas.”

“Aku tahu. Tapi Ibu menaruh harapan besar padamu, bagaimana aku tega mengacaukannya.”

“Aku pun menaruh harapan yang besar padamu Mas. Disini, sudah semakin menua, apa aku harus memangkasnya begitu saja?” Mita menunjuk pada jantungnya sendiri.

“Aku sendiri tidak pernah berharap seperti ini, Mit.”

“Mas ayok, kita lari saja. Kemanapun asal itu denganmu Mas.”

Mendengar pernyataan ini, Fazan sedikit kaget. Tidak pernah wanitanya meminta hal senekat ini. Dia sedikit berfikir, tidak mungkin harus berlari dari masalah dengan tindakan konyol seperti itu.

“Jangan Mit. Kasihan Ibu. Betapa kagetnya nanti beliau melihat gadisnya pergi bersama orang lain.”

“Kau bukan orang lain Mas.”

“Aku masih orang lain dari keluargamu. Aku hanya lelaki yang mencoba untuk bisa membawamu Mit. Tentunya dengan cara lelaki, dengan kerelaan dari Ibumu.”

“Kalau begitu, bawa aku Mas. Bawa aku dari Ibu, dari segala mitos konyol ini.”

“Kau sudah tahu sendiri kan, Perjuanganku seperti apa.”

Tak ada lagi ucapan apapun, hanya ada isak tangis dari Mita. Sedangkan pandangan Fazan terpaku pada rumput, yang sudah basah karena air matanya keduanya.

“Sudahlah. Sekarang, lebih baik kau pulang ya. Ibu sudah pasti khawatir padamu.” Tanganya megusap air mata di pipi kekasihnya itu, sedangkan ia sendiri, sebagai lelaki tentunya tak ingin terlihat lebih lemah lagi. Bisa-bisa Mita meragukan totalitasnya dalam mempertahankan hubungan yang sudah lama dijalani.

“Aku malas pulang Mas. Lebih enak disini, adem.” Tangannya terlihat sedikit mencabut rumput, bibirnya terlihat maju sedikit. Fazan hanya tersenyum jika sudah melihat Mita sudah cemberut begini, wajahnya malah menjadi lucu.

“Huss, jangan. Hari sudah senja. Sudah mau malam. Mau nanti diseret kelelawar?”

“Ih, jahat Mas ini.”

“Hahaha. Makanya pulang yah, kelelawar paling suka lihat yang manis duduk di alam terbuka. Biasanya jadi santapan buat makan malam.” 

Mendengar itu, Mita memukul kecil kekasihnya. Wajahnya sekarang lebih terlihat tenang, tentunya ini membuat Fazan lebih bisa berfikir jernih.

“Yaudah aku pulang aja. Tapi ....” Mita tidak meneruskan ucapannya, tapi sepertinya Fazan tahu apa yang Mita khawatirkan.

“Akan aku cari jalan apapun Mit. Untuk bisa bersama kamu, tapi tenanglah, caraku bukan dengan hal pengecut.”

Ya, harapan mulai lagi terbentuk di hati Mita. Matanya menatap langit, hatinya lirih berbisik; Malam pasti berakhir bukan? Aku pasti mendapatkan matahariku sendiri.

Sejak pulang semalam, Mita tidak bertegur sapa dengan ibunya. Bahkan untuk sarapan pagi kali ini, hanya dentingan suara piring serta sendok yang terdengar. Sebelum akhirnya, perkataan sang Ibu yang membuat Mita kehilangan selera makan, mungkin seterusnya.

“Mit. Ibu mau bicara, denger baik-baik. Dan jangan dulu menyela.”

Mita hanya mengiyakan dengan menatap sang Ibu seperkian detik. 

“Ada seseorang yang mau Ibu jodohkan denganmu.” 

Spontan Mita tersedak mendegar hal tersebut, dan cepat-cepat meneguk air dihadapannya.

“A-apa? Tapi kan bu ....”

“Ssstt, sudah ibu bilang diam!” Tanpa membantah, Mita hanya diam dan mencoba mendengarkan penuturan Ibunya, dia hanya ingin tahu apa alasan Ibunya melakukan hal yang benar-benar tidak dia sukai.

“Dia anak dari teman lama Ibu. Anaknya baik, tampan, dan sudah tentu dia masih satu kawasan kanan dengan kita.”

Siapapun yang masih satu daerah dan bukan orang sebrang atau melanggar mitos-mitos konyol Ibu, dia selalu bilang bahwa itu adalah “Kawasan Kanan” sedangkan untuk yang sebrang, Ibu selalu menyebutnya “Kawasan Kiri”. Entah apa maksudnya, Mita sendiri tidak pernah mencari tahu. Dia tidak pernah peduli dengan apapun yang berhubungan dengan bukan zaman sekarang.

“Dia juga anak orang berada. Hidupmu pasti senang.”

“Harta tidak bisa jadi tolak ukur seseorang bisa senang apa tidak Bu.”

“Ibu tahu yang terbaik buatmu. Daripada kamu mengandalkan pria itu, mau jadi apa kamu nantinya.”

“Mas Fazan rela berkorban buatku Bu. Belum tentu lelaki yang Ibu pilihkan begitu kan.”

“Ibu tahu yang terbaik buatmu, mengerti?” Sang Ibu mengaskan kata-katanya, tapi Mita juga tidak pernah mau kalah atas pendiriannya sendiri.

  “Yang terbaik menurut Ibu, tapi belum tentu menurutku.”

“Mita!” tangannya menggebrak meja. Cukup membuat Mita terdiam atas perkataannya barusan, “kamu sudah mulai berani menentang Ibu? Pokoknya Ibu mau kamu ketemu dia, siang ini juga. Kalau kamu nolak, jangan harap kamu bisa ketemu lagi sama pria sebrang itu. Ngerti?” Tanpa mendengar dulu ucapan anaknya, dia bergegas kembali ke kamar. Mengatur pertemuan antara anaknya dengan lelaki pilihan dirinya. Sedangkan Mita, sudah pasti menahan segala kecamuk di dada. Ancaman Ibunya benar-benar membuatnya tidak bisa memutuskan mana yang harus dipilih.

Siang ini, seharusnya agenda jalan-jalan seperti ini menjadi romantis dengan Fazan, tetapi hanya ada raut kecewa. Karena nyatanya Mita malah ditemani Ardi, lelaki pilihan Ibunya itu.

 “Emm, kamu gak laper?” Ardi mencoba mencairkan suasana yang terlihat kaku. Mita bahkan tidak menoleh padanya semenjak dia diajak pergi tadi.

“Gak. Udah makan.” 

“Duduk yuk disana.” Ardi menunjuk sebuah tempat, tepat menghadap sebuah danau. Mita malah teringat Fazan, karena inilah salah satu tempat favorit mereka jika sedang berkencan. Dan Mita berharap, semoga saja Fazan tidak melihatnya untuk kali ini. Tanpa mengiyakan, Mita hanya mengekor dibelakang lelaki yang lebih tinggi darinya itu. Tidak ada niatan untuk menolak, dan untuk bertemu dia tentunya, kalau bukan dari hasil uring-uringan Ibunya pagi tadi.

“Kau ... sudah punya pacar ya?” tanya Ardi sedikit ragu-ragu.

“Kalau iya, memang kenapa?”

“Hehe gak apa-apa sih. Lebih baik, jangan terlalu dalam memendam. Kalau kecewa susah bangkit nanti.”

“Maksudmu apa?” Mita mendelik kesal atas pernyataan Ardi barusan.

“Aku tahu ceritamu sama dia dari Ibumu.”

“Kau kan cuma tahu dari Ibu. Bukan dari aku langsung.”

“Kalau begitu, kenapa tidak kamu ceritakan saja?”

“Apa pentingnya?”

“Aku juga laki-laki Mit. Aku tahu karakter orang-orang sana. Laki-laki berjuang bukan hanya sekedar ucapan, tapi ambil tindakan.”

“Jadi maksudmu aku dengan Mas Fazan hanya sia-sia saja selama ini?”

“Bukan begitu maksudku ....”

“Sudahlah. Ingat ya, seberapa kamu bersikeras meyakinkan Ibuku. Tapi kamu gak akan pernah bisa meyakinkan aku. Camkan itu!”

Mita langsung melenggang pergi, Ardi bahkan tidak mencoba untuk menahan sedikitpun. Hanya memperhatikan Mita yang berjalan cepat-cepat.

“Kamu terlalu naif, Mit,” ujarnya.

***

“Loh, Mit. Ngapain di luar ayok masuk ke dalam.”

Mita hanya menggeleng. Pandangannya hanya memandang kosong ke depan. Rambutnya bahkan terlihat tidak beraturan.

“Ayok masuk. Udara malam gak baik buat kesehatan.”

Pandangannya kini melihat ke atas, bintang-bintang membuatnya teringat kembali dengan guyonan Fazan kali itu, tetang dirinya yang menjadi santapan kelelawar. Tapi, kali ini dirinya menjadi santapan hal yang lebih kejam, takdir dan kenyataan.

“Bu ....” Mita memanggil lirih Ibunya, matanya mulai terlihat berkaca-kaca, 

“Mas Fazan jahat Bu.”

“Iya biarkan.”

Wanita kembang desa ini lebih memilih kehilangan seluruh akal sehatnya, setelah tahu kekasihnya lebih memilih menanggalkan harapan. Dan memilih wanita lain untuk menjadi pendamping hidupnya. Entah pikiran apa yang merusak niat Fazan, dan tega meninggalkan Mita begitu saja. Fazan hanya berkata, bahwa dia sudah kalah dengan mitos yang sulit sekali ditembus.

“Bu ....” Ia kembali memanggil lirih Ibunya, jalannya masih terseret meski sudah dipapah.

“Bu, sebenarnya aku akan menikah dengan manusia atau mitos?” 

Ada yang tercekat ditenggorokan wanita paruh baya ini. Ini sudah kesekalian kalinya Mita hanya bertanya demikian. Sang Ibu sudah kehilangan akal untuk membuat anaknya kembali pada keadaan semula, bahkan dengan cara membatalkan perjodohan dan membiarkan Mita memilih keinginannya sendiri. Nihil. 

Sekarang, ia hanya berpasrah pada takdir. Mengutuk setiap kekangannya selama ini yang selalu dia egokan.

Maafkan Ibu Nak, Maafkan keangkuhan Ibumu ini. 

Malam itu, ia lalui lagi dengan tangisan bersama sang anak.

Tamat.




Tentang Penulis:

Tima Fatimah atau lebih dikenal dengan nama pena Fathimah. Lahir di Desa Wanayasa-Purwakarta. Menyukai semua hal tentang dunia kepenulisan, baik puisi, cerpen ataupun yang lain. 

Tidak ada komentar