HEADLINE

REVOLUSI MENTAL di TENGAH DEPRESI GLOBAL |Esai Hafis Azhari |

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 4 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi media Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu) kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.comBeri subjek SASTRA SETIAP HARI. Program ini juga memberi ruang bagi sahabat pemula dalam dunia sastra agar tetap semangat berkarya (Belum berhonor) Redaksi berhak menyunting naskah yang masuk tanpa mengurangi maksud dan isi dari tulisan

“Orang yang tak tersentuh hatinya melihat bunga-bunga yang bermekaran di musim semi, dan tak bergetar jiwanya mendengar alunan merdu dawai kecapi, maka orang itu telah rusak mentalnya, dan sulit untuk mengobatinya.”

Itu kata-kata seorang ulama dan sastrawan terkemuka Andalusia (Spanyol), Murtadha Az-Zabidi (928-989 M) dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin. Setiap manusia normal mesti akan menyukai segala bentuk keindahan. Jika keindahan bunga-bunga mekar tak dirasakan, juga alunan musik merdu tak bisa dinikmati sama sekali, ada kemungkinan orang itu sedang mengalami depresi atau gangguan mental.

Kemampuan orang untuk meresapi dan menikmati keindahan adalah kodrat yang sangat alami. Bahkan Az-Zabidi menjelaskan dalam kitab tersebut, bahwa orang-orang yang tidak memiliki kepekaan terhadap keindahan, juga tak pernah memahami arti cinta-kasih, maka sama saja dengan sifat batu yang keras, yang hanya bisa dipakai untuk menggerus biji-bijian.

Ibnu Qayyim dalam kitabnya, al-Jawabul Kafi pernah juga menyatakan, bahwa kepekaan akan keindahan-lah yang membangkitkan rasa cinta seorang hamba kepada Sang Khalik. Hal ini paralel dengan hadits Nabi (diriwayatkan Imam Muslim) bahwa, “Allah Maha Indah dan mencintai keindahan, sedangkan kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.”

Sesungguhnya, sempurnanya keindahan hanya milik Allah. Kekaguman pada sesuatu yang indah hakikatnya bersumber dari-Nya, juga memuji sesuatu yang menakjubkan hakikatnya milik-Nya. Karena itu, jika seseorang tersentuh dan merasa nikmat atas setiap keindahan yang ada, maka ia pun mesti mengakui rasa cintanya kepada-Nya. Karena dalam kalbunya, ia menyadari bahwa setiap keindahan hanyalah milik Allah. Sementara, orang-orang yang rusak mentalnya, akan mudah terindikasi dari rendahnya kepekaan, bahkan tumpul sama sekali dalam menikmati keindahan di sekelilingnya.

Seorang sastrawan Amerika Latin, John Steinbeck pernah mengkritisi kualitas kehidupan manusia modern. Ia menyindir soal kesibukan mereka untuk mencari-cari tempat hiburan di sana-sini, yang pada prinsipnya apa-apa yang mereka cari adalah keindahan dan kebahagiaan hidup.

“Ketahuilah,” ujar Steinbeck, “sesungguhnya kebahagiaan itu sudah ada pada diri kita masing-masing, jika kita mau melihatnya.”

Sakit Mental

Sakit secara fisik, seperti terserang bakteri atau virus SARS atau Corona, sebenarnya tidak seberapa ketimbang orang yang mengidap sakit mental. Orang sakit mental memang tidak menunjukkan adanya luka atau infeksi secara medis, namun sikap dan perilakunya bisa membahayakan bagi dirinya, orang lain, bahkan orang banyak.

Mental yang sehat identik dengan ketenangan, kesabaran dan ketenteraman batin. Ia memiliki kepekaan yang tinggi terhadap keindahan, bahkan memahami kualitas keindahan itu sendiri. Sehingga, memungkinkan untuk menikmati atau mensyukuri realitas kehidupan yang dijalaninya.

Sedangkan, orang yang kesehatan mentalnya terganggu, ia selalu mengalami gangguan suasana hati, kemampuan berpikir, serta kendali emosi yang dapat mengarah pada perilaku buruk hingga anarkis. Bahkan, salah satu potret orang yang sakit mentalnya adalah ia memiliki perasaan yang tumpul untuk menikmati keindahan yang sudah diciptakan Tuhan.

Pengidap Narsistik

Salah satu penyakit mental yang juga ingin saya kemukakan, dalam kaitannya dengan generasi milenial adalah “Narsistik”. Gangguan mental yang membahayakan ini seringkali diabaikan oleh banyak orang. Mungkin karena maraknya media sosial dan kurang mahirnya menyaring pengetahuan, narsistik tak jarang dianggap sesuatu yang biasa saja. Padahal, narsistik atau Narcissistic Personality Disorder adalah kondisi orang yang menganggap dirinya jauh lebih penting dari orang lain, memiliki kebutuhan yang tinggi untuk dipuji atau dibanggakan, namun memiliki empati yang rendah terhadap nilai-nilai humanitas dan kemanusiaan.

Sebagian pelaku peledakan bom, seperti Amrozi, Imam Samudra atau Ali Ghufron, dalam suatu wawancara secara terang-terangan mengakui bahwa perilakunya merupakan petunjuk Tuhan, dan para korbannya pun seolah-olah takdir yang sudah digariskan Tuhan untuk menjemput ajal kematian.

Pada banyak kasus, para pengidap narsistik ini sebenarnya memiliki rasa percaya diri yang rapuh dan mudah runtuh, meski hanya dengan sedikit kritikan. Gangguan ini dapat memengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan, apabila tidak ditangani secara tepat, terutama dalam kehidupan bersosial.

Berdasarkan penelitian para psikolog, pola asuh yang keliru dari orang tua (keluarga) seperti kekerasan, diacuhkan dan diabaikan, kelak membuat anak sangat rentan terhadap perilaku narsistik. Sebaliknya, keluarga yang gemar membangga-banggakan leluhurnya, senang dipuji, dimanjakan dan terlampau diistimewakan, juga akan berdampak buruk pada perkembangan anak-cucunya.

Untuk mengantisipasi gejala gangguan jiwa yang lebih akut, dalam kaitannya dengan mental Narcissistic Personality Disorder, saya akan kutipkan untuk pembaca (dari berbagai sumber), mengenai ciri-ciri paling utama yang sepertinya kita perlu mengelus dada sambil beristighfar sebanyak-banyaknya.

Ciri paling kentara pada sebagian masyarakat kita adalah sifat arogan dan ingin menang sendiri. Orang seperti ini selalu merasa dirinya istimewa, dan selalu memiliki kebutuhan ingin dipuji dan dikagumi. Ia menilai diri sendiri terlalu tinggi dibandingkan orang lain secara berlebihan. Ia menganggap dirinya dipandang superior oleh orang lain, tanpa adanya pencapaian prestasi yang membanggakan. Ironisnya, seorang penguasa korup kelas kakap sekalipun, tetap merasa percaya diri, dan menganggap orang lain begitu rendah.

Lebih jauh, yang seringkali menghinggapi para politisi dan penguasa adalah sifat melebih-lebihkan pencapaian dan bakat diri. Ia meyakini diri sebagai seorang yang superior, dan juga meyakini bahwa hanya orang-orang yang sama istimewanya yang akan memahami hal tersebut. Dengan membayar dan membariskan media-media yang mendukung dirinya, ia memiliki pikiran yang dipenuhi dengan fantasi dan imajinasi mengenai popularitas, kekuasaan, kepandaian, kecantikan atau ketampanan, atau mengenai pasangan dan anak keturunan yang dianggap paling soleh dan sempurna.

Ia juga menganggap bahwa dirinya pantas diberi perlakuan spesial, dan bahwa hal itu sebagai suatu hal yang wajar di mata orang lain. Ia juga pintar memanfaatkan jasa orang lain untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Tidak mampu untuk meraba rasa atau menyadari perasaan dan kebutuhan orang lain. Ia merasa cemburu terhadap orang lain, dan juga merasa orang lain cemburu terhadap dirinya.

Di sisi lain, jika Anda ingin serius mencari dan menelusuri jalan kebenaran, sebenarnya yang dibutuhkan simpel saja. Tak perlu pikiran Anda berhamburan pengetahuan. Yang polos-polos saja, jujur dan apa adanya. Juga tak perlu pikiran Anda berjubel dengan ragam informasi. Karena cinta yang sejati, hanya membutuhkan hati yang lapang, bukan retorika dan logika yang berbelit-belit.

 ***

Tentang Penulis:
Hafis Azhari. Penulis novel Pikiran Orang Indonesia dan Perasaan Orang Banten

Tidak ada komentar