HEADLINE

LELAKI PEMANGGUL HUJAN | Cerpen Sirazhy |

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 4 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi media Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu) kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.comBeri subjek SASTRA SETIAP HARI. Program ini juga memberi ruang bagi sahabat pemula dalam dunia sastra agar tetap semangat berkarya (Belum berhonor) Redaksi berhak menyunting naskah yang masuk tanpa mengurangi maksud dan isi dari tulisan.


Mata lelaki itu memerah. Sudah dua hari ia tidak tidur dan setiap ia ingin memejamkan mata selepas maghrib, selalu saja ada seorang wanita dan anak kecil di sampingnya yang menyentuhi kaki kanannya dan kembali ia tidak mampu memejamkan mata. Terus begitu selama dua hari ini dan semalam adalah hari ketiga. Ia sendiri sebenarnya juga tidak pernah mengetahui mengapa hal ini terjadi padanya. Selama kehidupannya baru sekali ini ia mengalami hal yang begitu aneh.

Anehnya lagi, tiap tengah malam ia selalu bergumam sendiri sembari mencari-cari cangkul atau arit yang biasanya ia gunakan untuk bekerja membersihkan apa saja yang mengganggu tanaman yang ia rawat sejak masih benih. Di kamar tidur yang dipersiapkan oleh anaknya, ia selalu melihat sawahnya yang tidak terlalu luas dan ia selalu merasa sedang bekerja seperti biasanya.

“Pak, ini tengah malam,” demikian kata anak perempuannya saat mendapati lelaki itu sibuk dengan kaki pincang seolah ia sedang bekerja di sawah. Hingga keduanya mengakhiri percakapan tengah malam mereka dengan memendam perasaan jengkel di dalam dadanya. Meski biasanya lelaki itu mengalah dan kembali rebah di tempat tidur yang dianggapnya sawah. Lelaki itu merasa tergiris hatinya saat usianya menginjak senja, ia merasa tidak diperlakukan dengan baik oleh anaknya.

Hari masih petang saat ayam berkokok pertanda subuh akan segera luruh. Marsini membangunkan suaminya dan mengajaknya ke dapur. Prasnowo ikut saja mengikuti keinginan istrinya yang cantik itu, terlebih selepas bangun tidur, istrinya akan selalu tampak mengg*d* dan itulah alasan mengapa mereka, meski hidup pas-pasan, memiliki empat anak yang masing-masing terpaut satu tahun.

“Aku makin khawatir dengan keadaan Bapak,” seloroh Marsini yang menyiapkan kopi untuk Prasnowo.

“Memangnya kenapa lagi to Dik?,” jawab Prasnowo.

“Ini sudah seminggu Mas, dan Bapak masih saja seperti ini.”

“Ya mau bagaimana lagi kita? Namanya juga orang tua, sudah sabar saja.”

“Anak-anak kita masih kecil dan masih butuh banyak biaya dan Bapak sekarang seperti ini. Ingin nangis rasanya aku, Mas.”

“Sudah to, Dik. Justru seharusnya kita ini bahagia masih diberi kesempatan merawat orang tua.”

“Persoalannya, aku juga memikirkan kamu Mas, sudah penghasilan pas-pasan ditambah hal seperti ini. Aku merasa tidak enak hati sama kamu Mas. Setiap keluargaku terkena musibah, kamu selalu ikut repot dibuatnya.”

“Sssstt....sudahlah Dik, aku memang harus seperti ini dan aku legowo.”

“Maksudmu apa Mas?.”

“Sejak kecil aku ini sudah terbiasa hidup susah. Kelas dua SD aku sudah harus membanting tulang untuk sekadar membelikan Simbah sarapan sebelum aku berangkat sekolah.”

“Mengapa kau tidak pernah ceritakan hal itu padaku Mas?.”

“Untuk apa to, Dik?, menurutku kesedihan bukan untuk dibagi, toh semua ada hikmahnya sekarang ini. Aku tidak banyak menuntut dari kamu sekalipun soal makanan yang kamu masak itu enak atau tidak. Pokoknya ada, ya aku makan saja.”

“Iya aku tahu itu, Mas. Tapi ceritakan padaku tentang masa kecilmu. Aku ingin tahu.”

Prasnowo menghela nafas panjang. Pandangannya menerawang ke atap rumah sederhana itu. Setelah ia menyeruput kopi buatan istrinya, ia menceritakan panjang lebar kisah masa kecilnya yang ternyata sangat memilukan hingga hati Marsinipun trenyuh. Marsini tidak menyangka bahwa suaminya adalah orang yang begitu pilu perjalanan hidupnya. Ia masih ingat, saat ia dinikahi oleh Prasnowo, saat itu dihadapan penghulu Prasnowo ditanya apakah ia punya mahar untuk diberikan kepada istrinya dan Prasnowo hanya membawa uang lima ribu rupiah di kantong celananya yang ia kenakan saat menikahi Marsini dan Prasnowo ditertawakan oleh penghulu bahwa setelah mereka menikah, Marsini akan diajak makan siomay, sepiring berdua biar romantis, kata penghulu.

Ia ingat benar peristiwa itu. Seketika itu juga, keluarga Marsini merasa dilecehkan oleh Prasnowo, terlebih Ayahnya yang saat itu menjadi juragan jagung terkenal di kampungnya. Ayahnya bahkan sudah melarang anaknya itu menikah dengan Prasnowo sebab ia kere, tapi ternyata sekarang terbukti bahwa Prasnowo memang tidak kaya harta melainkan ia memiliki kesabaran yang diharapkan oleh Marsini dalam menjalani hidup, terlebih seperti keadaan mereka sekarang.

Sejak Ayah Marsini jatuh sakit dan seluruh hartanya habis untuk pengobatan, Prasnowolah yang akhirnya menanggung beban-beban itu. Bahkan setelah Ayah Marsini sakit-sakitan, belum juga membaik, Ibu Marsini meninggal lebih dulu dan menanggung hutang yang teramat besar untuk memodali adik Marsini yang ingin menjadi tentara meski akhirnya tidak diterima dan sekarang menghuni rumah sakit jiwa di kabupaten kecil tempat mereka tinggal.

Prasnowo harus berjualan kelapa dari pagi hingga siang hari, itu untuk kebutuhan ke empat anak mereka. Sedangkan untuk kebutuhan mereka sehari-hari, Prasnowo bekerja serabutan. Kadangkala ia dipekerjakan sementara oleh para juragan tanah untuk sekadar tanam benih di sawah dengan upah lima belas ribu per lima jam bahkan jika esok tidak ada lauk untuk sarapan, malam harinya Prasnowo harus berurusan dengan dingin dan seringkali nyamuk bahkan setan penghuni sungai untuk mengail ikan di malam hari dan dipergunakannya hasil tangkapan itu untuk sarapan mereka sekeluarga.

“Maafkan aku, Mas,” isak Marsini saat mendengar dan sambil membayangkan kehidupan mereka sekarang.

“Sudahlah, Dik, untuk apa disesali? Semua sudah ada yang mengatur, termasuk percintaan kita ini,” sergah Pramono sambil tersenyum agar kesedihan istrinya tidak berlarut-larut.

Hari perlahan mulai terang. Anak terkecil mereka merengek tanda ia mulai terjaga dan sedang mencari ibunya. Sementara Marsini mendatangi panggilan anaknya, Prasnowo bersiap menjual kelapa yang dipersiapkannya sejak kemarin petang. Sebelum berangkat, Prasnowo menyempatkan berpamitan kepada istrinya dan menciumi kening ke empat anaknya yang kembali lelap. Setelah itu, ia sempatkan untuk melihat Ayah mertuanya yang masih terlelap dan ia pamiti lelaki renta itu dalam tidurnya. Tanpa diketahui Prasnowo, Marsini sudah berada di belakangnya dengan airmata yang menetes. Demikian sengit suaminya itu diperlakukan oleh Ayahnya, demikian takzimnya lelaki yang dinikahinya itu hingga di usia senja Ayahnya.

“Lho, kok nangis lagi to, Dik?,” tanya Pramono.

Marsini diam saja dan menghamburkan pelukannya ke dada Prasnowo sambil sesunggukkan. Lelaki lembut itu mengelus kepala istrinya dengan penuh kasih sayang.

“Sudah, jangan menagis lagi.”

“Mas, sebelum berangkat bolehkah aku bertanya?,” jawab Marsini sambil sesunggukkan.

“Apa?.”

“Mengapa kau bisa begitu sabar menghadapi hidup yang seperti ini?.”

Prasnowo memegang dan menuntun tangan Marsini hingga menyentuh dada kirinya. Di permukaan telapak tangan Marsini terasa degup kehidupan yang hangat dan membuat hatinya merasa tenang dan setelah enam tahun mereka menikah, Marsini baru saja menyadarinya.

“Sepantasnyalah aku berterimakasih padamu yang masih menjaga jantung ini tetap berdegup.”

“Terimakasih, Mas.”

“Sadarilah satu hal, Dik, hakekatnya wanita hanya membutuhkan keabadian bukan harta ataupun tahta dan keabadian itu tersimpan di tempat kau merasakan degupku.”

Setelah percakapan yang menenangkan itu, Prasnowo pergi meninggalkan Marsini dan tidak pernah kembali lagi ke rumah tempat istri dan anak-anaknya menunggu.


***

Ibu selalu menceritakan kepadaku segala hal tentang Ayah. Dan menurut Ibu, akulah yang paling mirip dengannya. Ketiga kakakku telah menikah, dan aku kini yang sedang menempuh pendidikan profesi di universitas ternama, selalu menyempatkan diri jika ada waktu luang untuk menemani Ibu yang selalu menunggu Ayah untuk pulang sambil mendengarkan ceritanya yang berulang kali dikisahkannya kepadaku dengan bertabur hujan di kedua mata sayunya.

Aku tidak pernah bosan mendengar ceritanya. Malah, aku semakin ingin menemani Ibu untuk menunggu Ayah pulang ke rumah dan melihat kami sudah jauh lebih baik kehidupannya dibandingkan keadaan Ayah dulu dan saat kami masih kecil. Semakin hari semakin aku bisa merasakan kepedihan hati Ibu jika mengisahkan cerita itu dan selalu membuat mataku basah. Dan, dimanapun lelaki itu berada, aku merindukannya.

Keesokan paginya yang cerah, saat sarapan, Ibu menceritakan padaku bahwa semalam ia bertemu dengan Ayah. Bedanya, kali ini Ibu tidak merasakan kesedihan seperti biasanya, sebaliknya Ibu merasa bahagia saat mereka bertemu.

“Ayahmu tampan sekali sepertimu saat menemui Ibu. Ia juga titip salam untuk kalian semua, terutama kau, Nak, dan mengajak Ibu untuk dibahagiakannya. Satu hal yang selalu ingin Ayahmu lakukan semenjak menikahi Ibu.”

Aku diam dan tidak membalas satu katapun. Aku teramat paham sebuah isyarat. Dan, itu pertanda Ayah akan memanggil hujan untuk yang terakhir kalinya. Dimataku.


Tentang Penulis:
S i r a z h y. Menulis cerita pendek dan puisi. Buku kumpulan puisi pertamanya berjudul Kepulangan Yang Asing, dan sedang mempersiapkan buku kumpulan puisi yang kedua dan buku kumpulan cerpen bersama dua penulis asal Surabaya. Cerpennya sering di muat di media lokal Radar Kediri, Jawa Timur.

Tidak ada komentar