HEADLINE

PULANG | Cerpen Romi Afriadi |

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 4 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi media Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu) kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.comBeri subjek SASTRA SETIAP HARI. Program ini juga memberi ruang bagi sahabat pemula dalam dunia sastra agar tetap semangat berkarya (Belum berhonor)Redaksi berhak menyunting naskah yang masuk tanpa mengurangi maksud dan isi dari tulisan.


Mursalim langsung merasakan dadanya haru seketika, saat pesawat yang menerbangkannya lepas landas, untuk pertama kali dia meninggalkan kota yang sudah enam tahun menjadi tempatnya bernaung ini. Kota yang mengembalikan kepercayaan dan harapan, yang menampungnya saat dia kelimbungan. Dulu, saat pertama kali menginjakkan kaki di kota ini, Mursalim patah hati tersebab kehilangan keluarga dan rumah akibat perang yang membuatnya tak punya tempat untuk pulang. Kembali ke tempat asal tak pernah masuk dalam kamus perencanaannya. Namun kini, bersama sebuah tim sepak bola, Mursalim justru tengah menuju kesana. Ke tempat yang memporak-porandakan hidupnya.
***

Perjalanan kembali ke Aceh, mau tak mau memaksa Mursalim untuk bernostalgia, kendati dalam  ingatannya cerita tentang tempat asalnya itu berisi catatan suram semua. Konflik berkepanjangan antara TNI dengan GAM membuat episode kelam dalam hidupnya terasa sangat menakutkan. Sebuah p***ng yang sampai kini tak bisa dia maknai untuk apa, masing-masing kubu mati-matian menyerukan kebenaran, tanpa memikirkan jiwa tak berdosa melayang tiap hari. Di Aceh ketika itu, harga nyawa tak lebih mahal dari kacang rebus.

Ayah Mursalim di****** oleh GAM karena dianggap mata-mata TNI, saat sedang dalam perjalanan menuju Meunasah untuk shalat Maghrib. Senja b*rd***h itu tak akan pernah dilupakan Mursalim. Dia geram, marah. Tapi tak tahu hendak melakukan apa-apa. Satu per satu keluarganya diintai karena dianggap berbahaya, hingga suatu hari rumah mereka dibakar yang menewaskan Ibu dan dua adiknya. Mursalim selamat karena sedang tidak berada di rumah, dan dia sebatang kara.

Mursalim memutuskan hijrah ke Pekanbaru. Ketika sampai di terminal Bandar Raya Payung Sekaki hari sudah gelap, namun dia tak tahu arah mana yang hendak dituju, gerimis yang turun seolah menambah sendu perjalanannya. Saat malam mulai merapat ke dini hari, Mursalim beristirahat di sebuah teras mesjid, tak jauh dari situ puluhan pemuda sedang asyik menonton siaran langsung Piala Eropa. Akibat kecapaian dia tertidur dan terbangun saat seorang jama’ah yang datang untuk salat Subuh membangunkannya, dia bangkit menuju kamar mandi, sesaat hatinya begitu pilu mendengarkan suara azan menggema. Sudah berapa lama aku tidak menghadap Tuhan, batinnya. Perang begitu banyak menghabiskan waktu yang percuma hingga mendatangkan ketakutan dan trauma dalam jiwanya.

Di Minggu pertama Mursalim di Pekanbaru, dia terus bergerilya mencari pekerjaan, tentu saja hal itu tak mudah di tengah industri pekerjaan yang begitu kejam, apalagi Mursalim hanya punya modal ijazah SMP. Hingga suatu hari di minggu pagi, saat dia terpaku menatap puluhan anak-anak bermain sepak bola, dia memutuskan berhenti, duduk di bawah pohon mahoni yamg rindang. Mursalim larut dan asyik menyaksikan permainan itu. Wajah-wajah polos yang tersenyum bahagia. Hidup yang begitu ringan. Memang harus begitu, nikmati saja Nak, fikirnya. Sebelum kelak waktu mendewasakan dan dunia menjadi begitu kejam dipenuhi oleh orang-orang br*ngs*k. Mursalim semakin tertarik dan terhanyut dalam suasana itu. Dulu, ketika masih kecil dia juga sering memainkan sepak bola meskipun bola yang dipakai hanyalah gumpalan plastik yang dibulatkan. Saat remaja, perang mengambil alih kebahagiaan dan energinya, sepak bola pun otomatis menjauh. Hidupnya berubah, tapi sepakbola tidak.

“Saya ingin bekerja di sini”. Mursalim menemui pelatih sepak bola yang tadi mengajari anak setelah sesi latihan berakhir. “Saya bisa bantu apa saja, mengumpulkan bola, menyiapkan minum atau mencuci perlengkapan latihan. Apapun akan saya lakukan.” Lanjut Mursalim.

Berikutnya Mursalim menceritakan asal-usulnya, penyebab kenapa dia bisa sampai ke Pekanbaru. Entah karena kasihan atau karena tergugah melihat kesungguhan Mursalim, pelatih itu memutuskan untuk menerimanya. Dan sejak itu, sepakbola benar-benar mengubah hidupnya.

***

Pemandangan dari atas udara saat pesawat akan landing benar-benar memukau. Sebuah kubah besar berwarna kehijauan seperti layaknya Masjid membuat banyak turis dan wisatawan memuji gaya dan tampilan dari bandara ini, desain dari Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda semakin mengokohkan Aceh sebagai negeri Syari’ah. Bagi Mursalim sendiri, tampilan itu semakin menguatkan atmosfer Aceh yang sepanjang perjalanan ini merasukinya.

Akhirnya aku kembali berpijak di tanah rencong, menghirup aroma udara yang dulu sering berbau anyir oleh d*r*h. Apakah aku betul-betul sudah pulang? Batinnya berteriak.

Mursalim butuh waktu beberapa menit untuk betuk-betul pulih dari kecamuk pikirannya, dia memutuskan untuk tidak berangkat bersama pemain dan pelatih lain ke Stadion Kuta Asan Sigli, tempat turnamen berlangsung. Karena berniat menemui seorang kawan lama.

Kawan itu bernama Maulana, mereka sudah saling mengenal sejak kecil dan cukup akrab, saat Mursalim dikejar oleh orang-orang GAM, Maulana yang berjasa membantunya termasuk mengatur keberangkatannya ke Pekanbaru.

“Kau pulang juga akhirnya” Maulana memulai pembicaraan setelah sebelumnya saling bersalaman dan basa-basi.

Pertanyaan itu sukses membuat Mursalim terdiam, Sebab, Mursalim sangsi apakah ini betul-betul kepulangan baginya, tanpa ada sanak keluarga yang menanti, bahkan tanpa rumah untuk tempat berteduh, lalu merasa menemukan kehangatan di tempat lain yang terpaut ribuan kilo jaraknya. Apakah ini masih layak disebut pulang?

“Separah apapun kebencianmu terhadap Aceh, itu tetap tumpah darahmu”.

Mursalim merasakan pembenaran dalam nada kalimat Maulana, dia masih merasa bangga menjadi anak Aceh, saat orang menanyakan dari mana asalnya dia tetap menjawab dari Aceh. Mursalim bangga dengan sejarah Aceh yang gemilang dan orang hebat yang banyak lahir dari bumi Aceh. Ketika gelombang besar Tsunami meluluh-lantakkan Aceh hanya enam bulan setelah dia pergi. Mursalim merasakan pilu dan berurai air mata, sesak memenuhi dadanya, tak sanggup melihat tanah kelahirannya mengalami musibah dahsyat seperti itu.

Namun, Pekanbaru juga memberikan tempat yang menyenangkan bagi Mursalim, tempat bersemainya harapan dan asa baru setelah kehilangan banyak keceriaan oleh perang. Mursalim merasakan alasan untuk tetap melanjutkan hidup, dia seperti menemukan secercah sinar dan keluarga baru yang menerimanya dengan tangan terbuka dan dekapan hangat. Kinerjanya di tim sepak bola itu juga memperlihatkan grafik yang meningkat, setahun setelah kedatangannya, Mursalim mengikuti Kursus Kepelatihan Sepakbola Lisensi D nasional, yakni sebuah wadah untuk pelatih pemula dalam mengembangkan pengetahuan dan wawasan.

“Ya sudah, tak perlu kau terlalu memikirkan itu.” Maulana membaca gurat kebingungan di wajah kawannya itu. “Lagi pula pertemuan kita ini tak pantas dirayakan dalam suasana murung.

“Rupanya jauh-jauh ke Riau sana, kau jadi pelatih bola, bagaimana ceritanya itu.? Maulana mencoba mengalihkan topik pembicaraaan.

“Aku juga tidak menyangka, itu benar-benar diluar dugaan, dan sepak bola berhasil mengubah hari-hariku dari kemuraman menjadi tawa.”

“Kita memang tidak tahu tentang jalan hidup, Tuhan mengatur semuanya dengan rapi.”

“Begitulah, Tuhan mempertemukan kita dengan orang baru, keluarga baru, hingga rumah baru.” Maulana menambahkan.

“Dan kau mendapatkan itu dari sepakbola?” Maulana bertanya tangkas.

Mursalim mengiyakan.

“Mungkin karena sepak bola datang di saat yang tepat dalam hidupmu.”

Lagi-lagi Mursalim sepakat.

“Sepak bola biasanya menjauh dari kehidupan manusia seiring mereka dewasa, tetapi bagiku justru semakin terikat dengan sepak bola.”

“Kau beruntung” ujar Maulana. “Setiap anak laki-laki pasti pernah bermain sepak bola, banyak juga yang menjadikan cita-cita jika ditanya oleh gurunya di sekolah, tapi seiring mereka dewasa sepak bola semakin menjauh dari hidup mereka”.

Obrolan mereka hening sesaat. Penumpang pesawat datang dan pergi silih berganti.

“Kapan pertandingan akan dimulai?” Maulana bertanya.

“Besok turnamen sudah mulai, kamu nonton ya...”

“Aku kan tidak suka nonton bola.”

“Bukankah kau tadi mengatakan bahwa setiap anak lelaki pasti pernah memainkan sepak bola, itu artinya kamu pasti punya keterkaitan dengan sepak bola, lagi pula tak ada salahnya kau hadir mendukung temanmu ini.”

Maulana tersenyum, “Besok aku kerja, jika tim asuhanmu lolos ke babak berikutnya, sebisanya aku akan menonton.”

“Baiklah, aku harus segera menyusul rombongan ke Sigli.” Mursalim pamit 

“Oke, aku akan mengantarmu ke Terminal.”

Mereka lalu keluar dari kawasan Bandara, di jalan menuju terminal Mursalim disergap kembali perasaan tak menentu. Tapi sebisa mungkin dia tidak ingin menghabiskan energi memikirkan itu. Mursalim berusaha mengalihkan fokus dengan menikmati suasana perkotaan. Setelah Tsunami melanda, kota ini sepertinya cukup banyak berbenah dan berbagai fasilitas umum sudah berjalan lancar. Perjalanan juga relatif lancar, tidak ada kemacetan berarti yang membuat Maulana leluasa memacu motor bebeknya di jalanan sehingga durasi yang diperlukan untuk sampai ke Terminal tidak membutuhkan waktu yang lama. Sesaat kemudian Mursalim pun menuju Sigli.


***

Turnamen yang diadakan di Stadion Kuta Asan Sigli ini hanya untuk kelompok umur 15 tahun ke bawah, diikuti oleh tim dari berbagai daerah, dan satu-satunya perwakilan dari  Riau hanyalah SSB Bintang Tugu yang dibawa Mursalim dan rekannya. selain dari Aceh, ada dari Medan, Jambi, sampai tim dari negara tetangga. Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Pembukaan turnamen berlangsung meriah dengan menanpilkan berbagai atraksi kesenian dan tari tradisional dan langsung dibuka oleh Pak Bupati

“Turnamen ini adalah salah satu bentuk komitmen pemerintah daerah dalam membangun peradaban yang lebih baik melalui sepak bola, dan akan kita jadikan ini event tahunan, semoga tercipta pemain-pemain handal dalam ajang ini.” Ujar Pak Bupati dalam kata sambutannya.

Penampilan pertama SSB Bintang Tugu dilalui dengan penuh kemenangan meyakinkan. Tim dari Brunei Darussalam digilas 5-1. Modal yang bagus untuk melangkah jauh di turnamen ini. Semangat dan tekad serta usaha dan doa yang dilakukan semua elemen tim akhirnya benar-benar membuat SSB Bintang Tugu Sampai ke final dan Mursalim yang selama turnamen selalu setia mendampingi pelatih kepala merasakan kebanggaan tak terkira.

“Selanjutnya final Mursalim” Kata pelatih kepala sesaat setelah mereka menang adu penalti melawan tim dari Malaysia di Semi Final. “Kita bawa pulang piala ini ke Pekanbaru.”

Malam sebelum final digelar, Mursalim dan pelatih menyiapkan strategi dan taktik dengan sebaik-baiknya. Mursalim sudah tidak sabar menyongsong final esok hari itu, membayangkan atmosfer final yang sengit apalagi lawan yang dihadapi adalah tim dari Aceh sendiri, pastilah banyak pendukung yang memenuhi Stadion.

Perkiraan yang tidak meleset, cuaca yang panas menambah tinggi tensi permainan, sesekali terjadi pergesekan antar pemain yang membuat wasit harus bekerja keras untuk meredam emosi anak-anak muda ini. Pertandingan relatif berjalan seimbang, kedua tim silih berganti melancarkan serangan yang memaksa detak jantung seluruh penonton tak beraturan. Namun dewi fortuna memang lebih berpihak kepada SSB Bintang Tugu yang berhasil menjaringkan sebiji gol di pertengahan babak kedua. Sesaat setelah wasit meniup peluit tanda laga usai seluruh pemain dan official SSB Bintang Tugu merayakan gelar juara dengan penuh kebahagiaan. Tapi tidak dengan Mursalim, rasa kebanggaannya bercampur aduk dengan perasaan lain yang memang sedari awal tidak bisa dia maknai. Di atas rumput Stadion para pemainnya berbagi kesenangan dengan berbagai aksi seperti berjoget, berlari, atau tangisan haru. Sementara Mursalim memilih menepi, masuk dalam ruang ganti sembunyi-sembunyi. Seolah itulah cara baginya merayakan kesuksesan ini.

Ya, bagi Mursalim, menyendiri adalah cara paling tepat untuk merayakan gelar juara ini sekarang, dari dalam ruang ganti yang hening dan sepi Mursalim mengintip parade perayaan kemenangan timnya dengan dada membuncah kendati banyak pertanyaan bergelayut dalam benaknya. Untuk siapa kemenangan ini dia persembahkan? Kenapa disaat dia berhasil meraih kebanggaan di kampung sendiri, hatinya justru merasa lengang dan sunyi? Dulu Mursalim percaya sebaik-baik tempat adalah tanah kelahiran sendiri, surga paling nyaman dan terindah untuk melepas penat sesudah lelah mengembara jauh. Seperti misalnya burung-burung yang kembali ke sarang setelah seharian penuh mengepakkan sayap di angkasa biru. Namun, beberapa hari berada di sini hatinya justru menolak pernyataan itu, mungkin masih tersisa sedikit, tapi tak lagi sama takarannya, meski kini tak terdengar lagi perang meletus di Aceh.

Aceh kini sudah damai, tak pernah lagi terjadi aksi yang m*mb*n*h ribuan nyawa. Gelombang Tsunami bukan saja meluluhlantakkan bumi Aceh, tapi juga memadamkan p*r*ng yang berkecamuk, mungkin itulah yang disebut Tuhan dalam kitab suci; bahwa di balik kesulitan itu ada kemudahan. Di saat manusia tak bisa mencari solusi atas permasalahan yang menimpanya. Tuhan menyiapkan rencana dengan sebaik-baiknya.

“Kringgggg.... kringgggg...”

Bunyi nada telepon seluler membuyarkan kesendirian Mursalim, ternyata  Maulana yang menelepon.

“Selamat atas kemenangan timmu, kau pasti senang sekali juara di kampung sendiri.”

Di luar, parade juara masih terus berlangsung. Matahari hampir terbenam. Saat itulah Mursalim ingin cepat sekali meninggalkan tempat ini.


*** 
Tanjung, 27/10/19


Tentang Penulis:
Romi Afriadi. Alumni Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Suska Riau. Mulai suka membaca ketika kuliah setelah menyelesaikan sebuah novel di perpustakaan kampus, semenjak itu dia ketagihan membaca novel dan karya sastra lainnya.Saat ini, penulis tinggal di Desa Tanjung dengan mengabdi di sebuah sekolah Madrasah Tsanawiyah, dan menghabiskan sebagian waktu dengan mengajari anak-anak bermain sepakbola di sebuah SSB, sambil sesekali tetap menulis apa saja yang menurutnya penting.

Tidak ada komentar