HEADLINE

PARASITE DAN PERASAAN ORANG BANTEN | Esai Muakhor Zakaria |

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 4 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi media Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu) kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.comBeri subjek SASTRA SETIAP HARI. Program ini juga memberi ruang bagi sahabat pemula dalam dunia sastra agar tetap semangat berkarya (Belum berhonor) Redaksi berhak menyunting naskah yang masuk tanpa mengurangi maksud dan isi dari tulisan.



Korea Selatan dan negeri-negeri Asia baru saja merayakan perhelatan akbar atas kemenangan film “Parasite”, sebagai film Asia pertama yang memenangkan Oscar. Banyak sekali media massa dan media daring secara nasional dan internasional masih terus membicarakan film tersebut hingga hari ini. Forum-forum diskusi, dialog dan talk show di channel-channel televisi, bahkan artikel-artikel semakin bermunculan di koran-koran terdepan di seluruh dunia.

Tidak ketinggalan, presiden Korea Selatan Moon Jae-In bersama rakyat Korea Selatan menyambut kemenangan film Parasite dengan penuh suka cita. Juga mengusulkan pembuatan patung khusus sebagai penghormatan kepada sutradara Bong Joon-ho.

Film Parasite memandang sosok manusia selaku gelandangan. Analoginya dengan pewartaan novel Perasaan Orang Banten (POB), keduanya bicara melalui narasi-narasi yang terlampau logis menyangkut manusia-manusia yang hidup di alam bawah sadar. Tetapi seumumnya karya seni, keduanya banyak bicara di wilayah konotasi, bukan denotasi yang kelewat subyektif dan eksak melulu.

Novel POB juga tidak berkecimpung dalam teritorium puisi yang bersifat surrealis. Pada bab-bab awal saja sudah terjadi dialog bahwa hidup ini hanyalah singgah sebentar untuk minum (mung mampir ngombe). Tetapi, pengertian “manusia gelandangan” versi Asia nampaknya berbeda dengan Timur Tengah, yang memang citra gelandangan itu sudah mengakar dalam tradisi Hibrani, serta perjalanan 40 tahun yang dipimpin Nabi Musa, dari tanah Mesir, Laut Merah, hingga padang pasir dan bukit Sinai.

Tetapi wilayah Asia, baik Nusantara, Korea hingga Jepang lebih mendekati keyakinan dasar Hindu-Budha dari negeri India, yang menafsirkan hakikat hidup adalah “maya”, penipuan yang keji, penghalang menuju kesempurnaan, bahkan kutukan dan malapetaka. Dengan demikian, kita bisa sandingkan dengan Parasite, mengenai empat tokoh penting dalam satu keluarga yang menganggap bahwa aksi tipu muslihat untuk mengelabui orang kaya (simbol kapitalisme) adalah lumrah dan wajar saja.

Di sisi lain, filsafat kehidupan yang “maya” dari negeri India, tak pernah dianut secara keras di tanah Jawa. Lihat saja tokoh-tokoh dalam novel POB yang cenderung nyantai berdendang di bawah nyiur-nyiur, dengan koral-koral laut berikut keindahan ikan-ikan hiasnya. Fenomena jimat batu yang mengundang malapetaka dala film Parasite juga tak dihadapi secara serius dan tegang, tetapi dianggap guyonan mistik yang rupanya sulit juga dihilangkan dari keyakinan kosmik masyarakat Asia, baik Korea maupun Indonesia.

Di sinilah nilai universalitas dalam film Parasite maupun novel POB. Sifat-sifat ketimuran yang cenderung membanggakan paternalisme dan nepotisme (mementingkan keluarga sendiri), sampai-sampai mampu mengadaptasi filsafat Sartre (Prancis) bahwa neraka adalah orang lain. Tetapi dalam Parasite dimodifikasi sedemikian rupa menjadi: “Neraka adalah keluarga lain”.

Penyakit mental dan spiritual yang banyak diidap manusia kota di negeri-negeri industri maju begitu mencolok dalam film Parasite maupun novel POB. Saya menduga bahwa sutradara dan pengarang novel tersebut adalah orang asing di negerinya sendiri. Nasib keluarga miskin dalam Parasite dilukiskan dengan penuh simpatik meski dibalut dengan humor-humor satiris. Hal ini mengingatkan kita pada puisi klasik Indonesia karya Hendrawan Nadesul yang berjudul sepanjang gerbong kereta: “Akan Jadi Bagaimana Nasib Anak-anakku Kalau Nanti Juga Hanya Ada Semangkuk Bubur Jagung Untuknya, Seperti Pagi Ini Aku Tengah Mengunyahnya.”

Dalam novel POB dijumpai beberapa tokoh penting yang merasa kesepian dalam kesendirian. Bukan hanya kesendirian secara fisik tetapi lebih mendalam lagi, secara kultural dan eksistensial. Tak terkecuali orang yang setiap hari menjaga masjid (seperti Tohir) justru terjangkiti kesepian secara spiritual, karena kehilangan kembang desa yang menjadi impian dan dambaannya (Jamilah).

Tokoh Taufik Ibrahim (sang penyair) jika konsisten dengan kepenyairannya, dia tergolong pemuda sukses di Kampung Jombang. Tetapi, hawa nafsu seniman kadang bicara lain. Bahkan bertolakbelakang dari idealisme karya-karya yang digoreskannya. Taufik adalah gelandangan tulen, wadah pembiasan terbaik dari posisi dan status tokoh, dalam kesadaran antinomi eksistensial. Penyair tak ubahnya sebagai makhluk Tuhan, manusia terbuka dengan pilihan tak terbatas. Ia tak memiliki ikatan batin dengan dunia perwayangan Jawa maupun filsafat Maya dan Mukswa. Seharusnya.

Konon para seniman Indonesia – seperti disindir film Parasite – meskipun kebanyakan mengaku beragama Islam dan Kristen, serta berketuhanan Yang Maha Esa, toh tetap saja tak mau melepaskan diri dari ikatan jimat-jimat, dewa-dewi, perdukunan, hingga puasa di kuburan keramat yang sebenarnya tidak ada dalam kosmos Islam. Begitupun seniman beragama Kristen, baik yang Katolik maupun Protestan, sulit juga melepaskan diri dari hantu-hantu kuntilanak, gendruwo, thuyul, serta ketakutan adanya hukum karma yang sebenarnya tidak ada dalam alam teladan iman dan cinta kasih Yesus.

Tetapi, realisme dalam POB maupun Parasite bukanlah sejenis individualisme liberal ekstrim.  Ia hanya menggugat mentalitas manusia kota yang terkontaminasi limbah kebudayaan industri maju, berikut segala impian, harapan dan angan-angan kosong tak bermakna. Keputusasaan keluarga marjinal, ketika rencana dan harapannya gagal, tak ubahnya dengan ayunan tangan pelayar yang perahunya sudah oleng, meskipun mencoba untuk menyanyi “heroik” setelah kapal Titanic-nya tenggelam.

Dalam POB, keyakinan pada monotheisme pengarang sangat menonjol, terutama pada penokohan Kiai Muhaimin yang sanggup introspeksi, berkaca diri, lalu meluruskan orang-orang yang menyimpang dari jalan yang benar. Beda dengan keluarga marjinal dalam Parasite, seakan terjebak dalam absurditas, karena pada diri mereka masih mendambakan hedonisme. Dalam filsafat Hindu, keluarga itu seakan-akan terkutuk dalam jaringan Maya.

Dari perspektif lain mengenai dunia bawah sadar, terutama pada tokoh Tohir dalam POB, setelah diajak minum minuman keras oleh Sodik, tiba-tiba ia mabuk sempoyongan. Maka, keluarlah segala unek-unek, angan-angan, dan harapan-harapan kosong dalam pikirannya. Di sini kita disentakkan oleh analisis Sigmund Freud yang penemuannya masih terus dikorek-korek oleh pakar biokimia, psikologi, neurosains hingga hari ini.

Lalu, persoalan mendasar muncul, bagaimana jika satu tetes bahan kimia mampu membuat orang yang menderita hiperseks menjadi normal? Pertanyaan lebih tendensius lagi muncul: bagaimana jika gara-gara satu tetes bahan kimia di mangkuk bubur kacang ijo, mampu membuat seorang Nyi Hindun yang solehah, tiba-tiba menjadi liar dan maniak daging?

Faktor kesadaran dan ketidaksadaran (alam bawah sadar) berikut penemuan-penemuan terbaru para ilmuwan inilah yang menggoyahkan sendi-sendi keimanan dan religiositas para seniman dan budayawan Indonesia. Sehingga mereka kurang konsisten dalam berkarya, dan selalu hilir mudik antara kepercayaan timur dan barat, tuhan dan dewa-dewi.

Oleh karena itu, kami selaku generasi milenial dapat memahami mengapa novel POB tidak ragu-ragu menokohkan sosok seniman (penyair) yang terhanyut oleh alam bawah sadarnya. Karena memang tidak jarang (untuk tidak mengatakan: banyak) seniman-seniman kita yang karakteristiknya pantas menjadi bahan analisis, baik secara psikologis, antropologis, neurologis, maupun kajian sastrais seperti yang terungkap dalam novel tersebut.

 *** 

Tentang Penulis:
Muakhor Zakaria. Kritikus sastra, genrasi milenial, dosen perguruan tinggi La Tansa, Banten Selatan

Tidak ada komentar